Buntut Konvoi Viral: Pemimpin Khilafatul Muslimin Ditangkap dan Terancam 20 Tahun Penjara

Pemimpin Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baraja ditangkap di Lampung.

Republika/Ali Mansur
Di kawal ketat, pimpinan Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Baraja telah tiba di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (7/6) sekitar pukul 16.15 WIB.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Febrianto Adi Saputro, Muhyiddin

Baca Juga

Jajaran Direkrorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya akhirnya menangkap pimpinan tertinggi dari Khilafatul Muslimin bernama Abdul Qadir Baraja. Penangkapan Abdul Qadir Baraja menyusul viralnya video konvoi anggota Khilafatul Muslimin di jalanan Jakarta beberapa waktu lalu.

"Ya betul Polda Metro Jaya menangkap pimpinan Khilafatul Muslimin atas nama Abdul Qadir Baraja," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Endra Zulpan, Selasa (7/6/2022).

Abdul Qadir Baraja ditangkap di Lampung dan tiba di Jakarta pada Selasa sore. Menurut Zulpan, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya juga telah menetapkan Abdul Qadir Hasan Baraja sebagai tersangka atas kegiatan organisasinya. Yang bersangkutan langsung dilakukan penahanan di Polda Metro Jaya. 

"Terhadap tersangka, dengan penangkapan hari ini statusnya sudah ditetapkan tersangka," ujar Zulpan.

Zulpan menjelaskan, Abdul Qadir Hasan Baraja dijerat dengan Pasal 59 Ayat 4 juncto Pasal 82 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas). Kemudian juga disangkakan dengan Pasal 14 Ayat 1 dan 2, dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

"Di mana ancaman yang dikenakan terhadap tersangka minimal 5 tahun, maksimal 20 tahun. Langsung ditahan," tegas Zulpan. 

Seusai ditangkap di Lampung, Abdul Qadir Baraja tiba di Polda Metro Jaya, Jakarta, sekitar pukul 16.15 WIB. Abdul Qadir Baraja dikawal ketat oleh sejumlah personel dan penyidik Polda Metro Jaya. 

Dari pantauan Republika, Abdul Qadir Baraja turun dari mobil Toyota Hiace mengenakan baju putih dengan gamis berwarna biru, serban dan sarung berwarna cokelat serta peci putih corak hijau. Setelah keluar dari mobil dia melambaikan tangan dan mengucapkan salam.

"Assalamualaikum," ucap Abdul Qadir Baraja menyapa awak media dan rekan-rekan yang turut hadir di Markas Polda Metro Jaya.

 

 

Anggota Komisi III DPR RI, Santoso, menilai konvoi atribut khilafah di wilayah Cawang, Jakarta Timur beberapa waktu lalu bukti aparat keamanan 'kecolongan'. 

"Adanya konvoi dengan membawa atribut khilafah yang dilakukan oleh organisasi masyarakat dengan nama Khilafatul Muslimin menandakan bahwa aparat keamanan termasuk intelijen di dalamnya kecolongan. Harusnya sudah dapat diamati pergerakannya dan segera mencegah agar tidak melakukan konvoi seperti yang sudah dilakukan di wilayah Jakarta Timur," kata Santoso kepada Republika, Selasa.

Politikus Partai Demokrat itu menegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar negara Indonesia sudah final. Karena itu menurutnya dipastikan rakyat akan menolak jika ada pihak-pihak yang akan mengubah Pancasila sebagai dasar/ideologi NKRI.

"Jika rakyat menolak maka aparat keamanan yang mendapat mandat untuk melaksanakan ketertiban memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan sesuai hukum yang berlaku kepada pihak yang ingin mengganti Pancasila di bumi NKRI," ujarnya.

Selain itu, ia berharap aparat keamanan dapat bertindak secara terukur sesuai peraturan perundang-undangan. Aparat hukum tidak boleh abuse of power dan bertindak tanpa ketentuan hukum positif di Indonesia. 

"Peran pemerintah juga harus dikuatkan melalui lembaga-lembaga yang menangani pencegahan radikalisasi serta penguatan sikap bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia yang mempersatukan komponen yang ada serta melindungi semua golongan, etnis, agama , budaya dan lain-lain yang hidup di Indonesia," tuturnya. 

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Fatwa, KH Asrorun Niam juga telah merespons kasus konvoi motor yang membawa atribut khilafah di Cawang, Jakarta Timur. Terkait isu khilafah ini, menurut dia, Komisi Fatwa MUI telah memberikan penjelasan secara proporsional. 

"Kalau terkait kasusnya saya belum tahu, belum mendalami. Tetapi soal isu khilafah, MUI melalui Ijtima Komisi Fatwa memberikan penjelasan secara proporsional," ujar Niam saat diwawancara di Kantor MUI, Jakarta Pusat, Selasa (31/5/2022). 

Menurut Niam, masyarakat Indonesia tidak perlu antipati. Tetapi di sisi yang lain, juga tidak boleh memaksakan diri untuk menerapkan sistem khilafah di Indonesia.

"Ketika kita sudah memiliki komitmen untuk menggunakan sistem pemerintah Republik dengan dasar Pancasila dan juga UUD NKRI tahun 1945, itu bagian dari ijtihad yang bersifat syar'i juga," kata Niam. 

Faktanya, tambah Niam, dalam hidup berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, selama ini tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam. "Sholat juga bisa, zakat juga difasilitasi melalui UU Zakat, haji juga difasilitasi, puasa difasilitasi, mau kurban juga difasilitasi dan juga dijamin ketersediaan hewan kurbannya," jelas Niam. 

 

 

Sebelumnya, peneliti Puslitbang Bimas Agama Kementerian Agama (Kemenag), Abdul Jamil Wahab mengungkapkan tiga lembaga atau organisasi yang mengusung khilafah, yaitu Hizbut Tahrir, ISIS, dan Khilafatul Muslimin di Lampung.

“Ketiga-tiganya ini memang mempunyai satu gagasan bahwa dunia itu hanya dikuasasi oleh satu kekuasaan saja, yang pemimpinnya itu disebut khalifah,” ujar Abdul Jamil.

Menurut dia, ide atau pandangan yang diusung ketiga organisasi tersebut bisa disebut sebagai global state, yaitu sebuah dunia yang hanya memiliki satu kekuasaan. Karena itu, menurut dia, hal itu bertentangan dengan nation state atau negara kebangsaan.

Nah, kedua pandangan ini tidak bisa disatukan, karena pada dasarnya dua entitas yang berbeda,” ucapnya.

Dia menjelaskan, masyarakat Indonesia sendiri, khususnya yang tertarik dengan ide khilafah tersebut pada umumnya hanya melihat sepintas tentang sejarah Islam. Di mana, setelah wafatnya Rasulullah kemudian dilanjutkan oleh khulafaur Rasyidin.

“Jadi memang ada historisnya, di mana dunia Islam pernah menerapkan sistem khilafah. Itu adalah informasi dalam sejarah dan itu dibawa atau diperkenalkan kepada masyarakat saat ini seolah-olah itu adalah mutlak sebagai negara yang ada di dalam dunia Islam,” katanya.

Padahal, menurut dia, kepemimpinan khilafah itu sejatinya tidak mutlak. Karena, sistem bernegara dalam kehidupan umat Islam sangat banyak, ada yang berbentuk kerajaan seperti Arab Saudi dan ada juga yang dalam bentuk republik seperti Mesir, Iran, dan Indonesia.

“Itu semuanya adalah juga berangkat dari ajaran Islam. Artinya, sekali lagi bahwa ide khilafah itu keliru kalau dipandang sebagai sesuatu yang mutlak. Karena pada prinsipnya di dalam kehiduapan masyarakat Islam banyak mengenal bentuk-bentuk pemerintahan negara-negara,” jelas Abdul Jamil.  

 

Geger Pembakaran Bendera HTI - (Infografis Republika.co.id)

 

 
Berita Terpopuler