Pemakaman Utusan Kesultanan Aceh di Gereja Belanda dengan Syariat Islam

Kesultanan Aceh menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda

Salah satu sudut di negara Belanda. Kesultanan Aceh menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda
Rep: Andrian Saputra Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, — Kesultanan Aceh menjadi mitra penting dalam hubungan perdagangan dan politik sejumlah negara seperti India, Persia, dan Turki.

Baca Juga

Kekayaan sumber daya alam dan komoditas-komoditas unggulan yang dimiliki Aceh juga menarik negara-negara Eropa berdatangan untuk menjalin hubungan bisnis dengan Kesultanan Aceh. Termasuk Kerajaan Belanda. 

Abad ke-16, Kerajaan Belanda makin getol melobi Kesultanan Aceh agar bisa menjadi mitra dalam perdagangan komoditas unggulan Aceh. Pada 1599 dua orang bersaudara diutus kerajaan Belanda yakni Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman untuk menjalin hubungan dengan Kesultanan Aceh.  

Namun demikian kala itu Kesultanan Aceh menolak kehadiran utusan kerajaan Belanda. Kesultanan Aceh pun tak berkenan menjalin kemitraan dalam perdagangan dan politik dengan Belanda. 

Hal itu pun menyulut pertikaian antara rombongan utusan Belanda dengan Kesultanan Aceh. Bentrokan pun tak dapat dihindarkan hingga  Cornelis de Houtman tewas setelah terjadi bentrok dengan Kesultanan Aceh. Sedang saudaranya Federick de Houtman ditahan. 

Penolakan Aceh terhadap utusan-utusan Belanda itu bukan tanpa sebab. Menurut J der Vires dalam majalan Eigen Haard 1896 yang kemudian ditulis dalam buku Di Negeri Penjajahan oleh Herry A Poeze menjelaskan ada propaganda Portugis di balik penolakan Kesultanan Aceh terhadap kedatangan Belanda.  

Kala itu Portugis berupaya menghambat masuknya Belanda dengan menghasut Kesultanan Aceh. Propaganda itu dimaksudkan agar Portugis bisa memonopoli perdagangan rempah-rempah di Aceh.

Portugis menggambarkan kepada Kesultanan Aceh bahwa orang-orang Belanda adalah perompak yang tak memiliki tanah air dan suka menjarah. Portugis menghasut Kesultanan Aceh agar tidak mempercayai orang-orang Belanda karena berbahaya dan tak bisa dipercaya.  

Sementara meski upaya menjalin mitra dengan Kesultanan Aceh menewaskan utusannya, Belanda tak patah arang. Belanda terus berupaya mengirimkan utusannya ke Aceh untuk berdiplomasi meski selalu gagal. Namun pada awal 1601, Belanda berhasil memperbaiki hubungan dengan Aceh. 

Di tahun itu, Belanda mengirimkan utusannya untuk menyampaikan surat dari pangeran Maurits kepada Sultan Aceh.  Saat itu Kesultanan Aceh dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah dari Dinasti Darul Kamal.  

Baca juga: Keutamaan Membaca Surah Al-Kahfi pada Hari Jumat

Dalam surat itu, Sultan Maurits menjelaskan pada Sultan Aceh bahwa mereka telah dibohongi Portugis yang menyatakan utusan-utusan dari Belanda merupakan perompak. Bersamaan dengan sepucuk surat itu, pangeran Mauritius juga menghadiahi Sultan Aceh senjata dan uang emas.  

Diplomasi itu surat pangeran Mauritis pun berhasil meluluhkan Sultan Aceh dan menjadi titik balik yang menguntungkan Belanda untuk menjalin mitra dengan Kesultanan Aceh.  

 

Kesultanan Aceh pun membebaskan utusan Belanda yang di tahan yaitu Federick de Houtman. Selain itu Sultan Aceh juga memerintahkan sejumlah pejabatnya untuk pergi ke Belanda, selain untuk memberikan hadiah balasan pada pangeran Mauritis juga untuk mencari informasi tentang negeri kincir angin itu.

Salah satu yang paling utama yakni membuktikan pandangan yang berkembang di Aceh tentang orang kulit putih hanya Portugis dan Spanyol serta orang-orang Belanda bukanlah seroang perompak.  

Sultan Aceh pun mengutus tiga orang, yakni duta besar Abdul Zamat, laksamana raja yaitu Seri Mohamat dan Meras San atau Abdul Hamid atau dikenal Sri Muhammad yang merupakan keponakan Sultan Aceh pergi melawat ke Belanda. 

Utusan kesultanan Aceh itu pun tiba di Belanda pada akhir Juli 1602. Namun, duta besar Kesultanan Aceh, Abdul Zamat meninggal di Meddelburg pada Agustus di usia ke-71 tahun setelah mengalami luka akibat pertempuran dengan kapal guling musuh selama dalam perjalanan menuju Belanda.  

Pemakaman Abdul Zamat di Belanda dengan menggunakan syariat Islam itu pun begitu besar, mungkin menjadi upacara pemakaman orang Aceh dengan tata cara Islam terbesar yang meninggal di Belanda, sebab diikuti banyak rakyat Belanda.  

Pemakaman Abdul Zamat dihadiri pembesar-pembesar kerajaan Belanda. Menariknya pemakaman yang dilakukan berdasarkan syariat Islam itu berlangsung di Gereja Saint Pieters dengan upacara yang khidmat.

Upacara pemakaman utusan Kesultanan Aceh itu pun sampai-sampai membuat kota Middelburg maupun Vlissingen menjadi kosong karena penduduknya menyaksikan peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya itu. 

Sementara itu, dua utusan Sultan Aceh yakni Seri Mohamat dan Meras San bisa berjumpa dengan raja Maurits. Utusan Kesultanan Aceh itu disambut baik Belanda.

Baca juga: Amalan Sunnah yang akan Didoakan Puluhan Ribu Malaikat

Seri Mohamat pun memberikan surat hadiah balasan dari Sultan Aceh seperti keris, perkakas dari emas, kamper serta sebuah burung kakak tua. Selama berada di Belanda, Seri Mohamat dikenalkan dengan berbagai hal tradisi dan kebudayaan di Belanda semisal pertarungan pasukan berkuda dengan senjata lengkap.  

 

Lebih dari 15 bulan utusan Kesultanan Aceh itu tinggal di Belanda untuk mengenal berbagai hal tentang negara itu. Pada Desember 1603, Seri Mohamat dan Meras San pulang kembali ke Aceh.     

 
Berita Terpopuler