Pelonggaran Masker Jadi Tanda Transisi Pandemi ke Endemi di Indonesia Dimulai

Pelonggaran masker dan pencabutan kewajiban tes covid jadi program transisi endemi.

Republika/Thoudy Badai
Pekerja melintas di pelican crossing kawasan Sudirman, Jakarta, Selasa (17/5/2022). Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo melonggarkan kebijakan aturan terkait pemakaian masker yakni memperbolehkan tidak mengenakan masker di luar ruangan apabila tidak dalam kondisi kerumunan, hal tersebut menyusul kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia saat ini terkendali. Republika/Thoudy Badai
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Fauziah Mursid, Dian Fath Risalah, Febrianto Adi Saputro

Baca Juga

 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (17/5/2022) mengumumkan pelonggaran kebijakan pemakaian masker di luar ruangan atau area terbuka. Kewajiban tes PCR maupun antigen bagi pelaku perjalanan dalam negeri dan luar negeri yang sudah divaksinasi dua kali atau vaksin lengkap juga dicabut dan mulai berlaku hari ini, Rabu (18/5/2022). 

"Pemerintah memutuskan untuk melonggarkan kebijakan pemakaian  masker. Jika masyarakat sedang beraktivitas di luar ruangan atau area terbuka yang tidak padat orang maka diperbolehkan untuk tidak menggunakan masker," kata Presiden Jokowi dalam keterangan persnya secara daring, Selasa.

Namun, Presiden Jokowi mengatakan, untuk kegiatan di ruangan tertutup dan transportasi publik tetap harus menggunakan masker. Jokowi juga meminta untuk masyarakat yang masuk kategori kelompok rentan seperti lansia, memiliki riwayat penyakit komorbid untuk tetap menggunakan masker.

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan salah satu pertimbangan pelonggran penggunaan masker. Yakni, kemampuan imun orang Indonesia terhadap varian Omicron cukup baik berdasarkan survei serium dan kasus menurun dari varian yang sama sub-varian B2 Omicron. 

Pemerintah pun memandang kasus Covid-19 relatif sudah terkendali. Terlebih, selama ini ternyata kenaikan kasus Covid-19 disebabkan karena adanya varian baru dan bukan karena adanya hajat besar seperti lebaran dan tahun baru.

"Yang menarik di Indonesia dan India (varian) BA2 sudah dominan. Beda dengan China dan AS, kita tak mengamati kenaikan kasus yang tinggi. Jadi relatif Indonesia dan India imunnya terhadap varian baru cukup baik," kata Menkes Budi dalam pernyataannya secara daring, Selasa.

Budi mengungkapkan, 93 persen masyarakat Jawa dan Bali telah terbentuk antibodi yang berasal dari infeksi atau vaksinasi berdasarkan survei yang dilakukan Kemenkes pada Desember 2021. Kemudian, sebelum mudik lebaran dijalankan atau lada Maret 2022, kembali dilakukan survei dan hasilmya 99,2 persen masyarakat Jawa dan Bali telah memiliki antibodi.

Namun, tidak hanya jumlah masyarakat yang memiliki antobodi lebih banyak, tetapi kadar antibodi yang lebih tinggi.

"Pada Desember 2021, disebutkan rata-rata kadar antibodi mencapai 500–600. Kemudian, pada Maret 2021 kadar tersebut meningkat hingga 7.000–8.000," ungkapnya.

Budi mengatakan, pelonggaran masker juga menjadi bagian dari program transisi dari pandemi Covid-19 menjadi endemi di Indonesia. Namun, ia juga tetap mengimbau masyarakat tetap berperilaku hidup sehat.

Baca juga : UAS Ditolak Masuk Singapura, Sekjen DMI: Ini Kasus Serius

"Transisi tersebut, selain dari data saintifik, adalah pemahaman masyarakat bahwa tanggung jawab kesehatan ada di diri masing-masing. Sekuat apa pun negara mencoba mengatur masyarakat untuk berperilaku hidup sehat, lebih baik kesadaran itu ada di masing-masing individu," tuturnya.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, elaborasi arahan presiden akan dituangkan dalam beberapa perubahan kebijakan pengendalian Covid-19 terkait pelonggaran masker dan pelaku perjalanan dalam negeri dan pelaku perjalanan luar negeri. Pemerintah pun tetap akan menggenjot vaksinasi dan kampanye hidup sehat masyarakat.

"Nantinya masyarakat diharapkan tetap waspada siaga dan adaptif dengan berbagai perubahan yang ada ke depannya," ujar Wiku, Selasa.

 

 

 

Anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo, menyambut baik keputusan pemerintah yang melonggarkan aturan keharusan bermasker di ruang terbuka. Namun, ia mengimbau masyarakat untuk tetap memakai masker saat beraktivitas di dalam ruangan.

"Karena potensi di ruang tertutup itu penyebarannya masih ada saya kira kewajiban di ruang tertutup yang ber-AC, di ruang ber-AC harus saling kita jaga, harus saling mengingatkan kembali sampai ada keputusan dari pemerintah sampai benar-benar mengizinkan tidak bermasker," kata Rahmad kepada Republika, Selasa.

Ia meyakini keputusan pemerintah tersebut didasarkan masukan ilmuwan. Apalagi, sejumlah negara juga ada yang sudah tidak mewajibkan pemakaian masker.

"Banyak negara juga diterapkan di ruang publik tidak wajib bermasker tapi di ruang tetutup terutama di ruang ber-AC ya masih diwajibkan bermasker karena sirkulasi udara juga terbatas hanya berputar-putar di ruangan sehingga potensi untuk proses penyebaran virurs itu tetap masih ada," ujarnya.

Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman meminta pemerintah tetap berhati-hati dengan kebijakan pemakaian masker. 

Baca juga : Wagub Riza: DKI Segera Menyesuaikan Kebijakan Soal Masker

"Harus sangat hati-hati ya. terutama dalam menarasikan ini dalam artian jangan sampai membangun euforia atau percaya diri yang berlebihan yang akhirnya membuat kita abai dan nantinya akan merugikan kita sendiri," kata Dicky kepada Republika, Selasa.

Menurut Dicky, masker adalah satu perilaku yang selain mudah murah juga efektif dalam mencegah penularan penyakit yang ditularkan oleh udara, seperti halnya Covid-19. Apalagi, bila penggunaan masker dikombinasikan akselerasi atau peningkatan cakupan vaksinasi menjadi suatu kombinasi yang sangat signifikan berkontribusi dalam memperbaiki situasi pandemi.

"Dengan menggunakan masker itu menurunkan potensi penularan yang kita tahu itu terjadi terutama karena main mouth of transmition dari Covid-19 itu lewat udara," kata Dicky.

Menurutnya, kebijakan pemerintah yang tetap mengimbau penggunaan masker di dalam ruangan adalah pilihan yang tepat. Sebab, cakupan vaksinasi Covid-19 dosis ketiga di Indonesia belum mencapai 50 persen.

"Kita harus bijak dan tidak terburu-buru. Saya sependapat dengan sikap presiden sebelumnya di mana kita akan bertahap. Karena kita ada masa transisi sampai 6 bulan," ujarnya.

Kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia saat ini menurut Dicky, memang jauh lebih baik dan aman. Namun, alangkah baiknya, pemerintah tidak terlalu cepat berlakukan pelonggaran protokol kesehatan, karena hal itu berisiko terlalu besar menimbulkan lonjakan kasus.

Dicky pun memberikan contoh di negara-negara yang sudah melonggarkan aturan pemakaian masker umumnya telah memiliki cakupan vaksinasi dosis tiga atau booster lebih dari 70 persen.

Baca juga : Sholat Jamaah Bebas Masker, Dradjad: MUI Jangan Kebablasan

"Katakanlah Australia mulai melakukan pelonggaran tidak memakai masker di luar ruangan, itu juga karena cakupan dosis 3 dan vaksinasi sudah di atas 70 persen. Sedangkan Indonesia kan belum. Jadi saya kira ini harus berhati-hati, terutama melihat situasi setempat," tegasnya.

 

Tiga Skenario Pandemi Menuju Endemi - (infografis republika)

 

 
Berita Terpopuler