Ulama Vs Korporasi Bisnis 2024, Mungkinkah?

Kekuatan material maupun sosial merupakan basis kekuatan penentu suksesi Pemilu.

Istimewa
Research Director of IndoNarator, Harsam.
Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - - Pemilu 2024 akan dihiasi pertarungan berbagai kekuatan kelompok dominan. Dua di antaranya yang diprediksi bakal adu kuat tak lain kelompok ulama versus korporasi bisnis. Bagaimana menjelaskan hal ini? 

Tak dipungkiri lagi bahwa kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pemilu 2019 adalah berkat dukungan para ulama. Ini dapat dibuktikan melalui sejumlah bukti yang tidak terbantahkan.

"Kita tentu masih ingat bagaimana para kiai dan ulama se-Jakarta Pusat yang dengan suara bulat mendeklarasikan diri mendukung pasangan Cawapres Jokowi-ma’ruf pada Rabu, 7 November 2018 bertempat di kediaman Ma’ruf Amin, Menteng Jakarta," kata Research Director of IndoNarator, Harsam dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Selasa (17/5/2022).

Dukungan yang sama datang dari ulama-ulama dari Jakarta Barat. Kemudian, gelombang dukungan ulama juga datang dari Jawa Barat, meskipun wilayah Jabar sendiri sejatinya merupakan kantong suara pasangan Prabowo-Sandi.

Terkait dukungan ulama dari Jabar ini, kata Harsam, bahkan diakui Jokowi sendiri saat berorasi di Pusbandai, Cikembar, Sukabumi pada 12 April 2019. Ia menyebut, perolehan suara di Jabar berkat peran ulama, kiai, khabib dan tokoh agama.  

Tidak hanya itu, dua provinsi yang jadi lumbung suara Jokowi-Ma’ruf, Jawa Tengah dan Jawa Timur juga berkat peran dan dukungan ulama. Ini dibuktikan berdasarkan riset yang dilakukan Sihidi, Roziqin, & Suhermanto dalam Pertarungan Populisme Islam dalam Pemilihan Presiden 2019 (2020).

"Berdasarkan temuan mereka, bahwa kemenangan Jokowi-Ma’ruf di di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena menguatnya dukungan Nahdatul Ulama (NU) dan kaum nasionalis," ujar dia. 

Hanya saja, mayoritas ulama pendukung Jokowi-Ma’ruf di kedua wilayah itu tergolong ulama garis moderat. Ini bertolak belakang dengan ulama pendukung Prabowo-Sandi yang mayoritas merupakan kelompok islam puritan (garis kental). Berbeda dengan Joowi-Ma’ruf, basis suara Prabowo-Sandi justru Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Barat dan Banten. Daerah-daerah yang disebutkan terakhir itu, berdasarkan kategorisasi Sihidi, Roziqin, & Suhermanto (2020) tergolong dalam kelompok islam puritan.

Dikatakan Harsam, fakta menarik lainnya yang perlu dicermati ialah peran penting korporasi bisnis atau para konglomerat di balik suksesi Pemilu, termasuk Pemilu 2019 silam. Sebagai gambaran, kata dia, kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019 tidak terlepas dari dukungan para konglomerat, mulai dari Erick Thohir, Hary Tanoesoedibjo, Surya Dharma Paloh  dan lainnya.

Dukungan serupa juga terjadi pada pasangan Prabowo-Sandi. Sosok Hashim Djojohadikusumo, Sandiaga Uno, Tommy Soeharto adalah deretan konglomerat yang ikut menyokong cost politik Prabowo-Sandi.

"Kedua fakta empirik di atas menarik untuk dicermati pada Pemilu 2024 mendatang. Namun, pencermatan kali ini bukan difokuskan pada pengerahan dukungan politik, melainkan pada potensi pertarungan terbuka di antara kedua entitas sosial," ujarnya. Lantas, seperti apa pertarungan dimaksud dan apa yang melatarinya?

 

Ulama vs korporasi bisnis

Dikatakannya, pertarungan ulama dan korporasi bisnis pada momentum Pemilu 2024 sukar dihindari. Prediksi ini bukan tanpa dasar. Sebagaimana telah disinggung di depan, kata dia, baik para ulama maupun konglomerat merupakan dua entitas dengan pengaruh besar terhadap elektoral politik.

"Jika kekuatan korporasi ada pada basis material (finansial), maka kekuatan ulama ada pada basis sosial (massa)," katanya. 

Kedua sumber kekuatan baik material maupun sosial merupakan basis kekuatan penentu suksesi Pemilu. Karena itu, ada adagium, siapa yang ingin memenangkan kontestasi elektoral, maka ia mau tidak mau harus memiliki kekutan baik sosial maupun kapital/material/finansial.

Dengan demikian, ucap Harsam, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, jika keduanya tidak dimiliki seorang kontestan utamanya kontestan RI 01, maka sudah dipastikan ia akan kalah dalam hal apapun.  Khusus peran ulama, bukan rahasisa lagi bahwa ulama merupakan tokoh agama dengan jumlah pengikut yang besar sehingga dapat memberikan pengaruh terhadap pemberian suara (voting).

"Ulama adalah figur dengan basis massa yang pasti karena mayoritas adalah pemilik pondok pesantren atau memiliki jamaah dalam jumlah yang besar, ' ucapnya. 

Selain itu, pengaruh ulama juga tidak bisa dipandang sebelah mata karena ulama kerap menjadi subjek yang didengar, dituruti, dan diikuti setiap perkataan ataupun tindakannya. Maka itu, tidak heran apabila suara ulama sangat menentukan. 

"Bisa dibayangkan, untuk jumlah anggota Nahdlatul Ulama (NU) saja, berdasarkan survei yang dilakukan LSI Denny JA  sebanyak 108 juta orang atau sekitar 49,5 persen dari 87 persen penduduk muslim di Indonesia. Dengan jumlah anggota sebanyak itu, tidak heran jika NU kerap jadi magnet bagi para kandidat untuk kepentingan kalkulasi suara di Pemilu," katanya. 

Lalu, bagaimana dengan pertarungan ulama versus korporasi bisnis? Sebetulnya, kata Harsam, untuk menjelaskan potensi “perang terbuka” kedua kekuatan ini cukup mudah. Bahwa secara historis, ulama merupakan tokoh sentral umat muslim dalam memperjuangkan nasib kelompok islam marjinal.

"Terkait marjinalisasi islam ini dengan cukup terang dan lugas diulas secara historis oleh Kuntowijoyo dalam An Evolutionary Approach to the Social History of the Umat Islam in Indonesia (1985). Dalam makalah tersebut ia menjelaskan proses marjinalisasi dan periferalisasi Islam di Indonesia telah terjadi bahkan pada masa negara agraris patrimonial Mataram," katanya. 

Menurutnya, proses peminggiran kekuatan saudagar muslim dan juga kekuatan Islam pada umumnya terus berlangsung pada era kolonial Belanda hingga fase Indonesia merdeka. Problem histrois ini, kata dia, menempatkan kekuatan ulama dan Islam Indonesia pada umumnya berada pada posisi subordinat terhadap kekuatan pebisnis Tionghoa.

"Tarikan sejarah ini pula yang hingga kini masih terasa dalam dinamika sosial, politik dan terutama ekonomi," ucapnya. 

Harus diakui bahwa pertarungan latensi antara ulama, saudagar muslim dan kekuatan Islam vis-a-vis korporasi bisnis yang mayoritas didominasi oleh nonpribumi adalah permasalahan klasik yang terjadi hingga kini. Pada momentum Pemilu, keduanya sebetulnya terlibat dalam perseteruan hebat, hanya saja gesekan ini seolah tak tampak karena sifatnya yang latensi. Namun, kemungkinan perang terbuka kedua pihak akan terjadi pada Pilpres 2024. 

 

Perang antara ulama dan korporasi bisnis belakangan, ungkap dia, mulai terlihat pada prosesi pemilihan Ketua Pengurus Besar NU (PBNU) 2021-2026 pada Muktamar ke-34 di Lampung. Kala itu terdapat dua calon yang maju, mereka adalah Said Aqil Siradj (petahana) dan Yahya Cholil Staquf.

Jika ditelaah, kata Harsam, kedua figur memiliki latar belakang berbeda, terutama Said Aqil Siradj yang notabene memiliki relasi kuat dengan bisnis korporasi. Dengan demikian, majunya Said Aqil Siradj pada suksesi ketum PBNU kemarin sebetulnya sebuah gambaran tak kasat mata terkait perang antara korporasi bisnis versus NU. 

Di samping itu, kata dia, pemicu lain perang antara ulama versus korporasi juga terletak pada janji pemberian konsesi lahan dari presiden Jokowi pada saat Kongres Umat yang diadakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 10-12 Desember 2021. Janji tersebut hingga kini belum ditepati. Sementara, pada kesempatan lain korporasi bisnis justru terus mengembangkan bisnis mereka dengan menyerobot lahan warga.

Sebagaimana merujuk hasil evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2018, bahwa sebanyak 40,46 juta hektare lahan di kawasan hutan dikuasai oleh usaha besar, sedangkan masyarakat hanya 1,74 juta hektare. 

Di samping itu, berdasarkan hasil sensus pertanian pada 2013, sebanyak 1,5 juta petani kaya atau sekitar 6,16 persen dari total rumah tangga petani di Indonesia hanya menguasai lahan seluas 8,63 juta hektare atau rata-rata 5,37 hektare per petani. Ini sangat timpang bila dibandingkan dengan 14,2 juta petani gurem (55,30 persen) yang hanya menguasai 2,67 juta hektare atau rata-rata 0,18 hektare per petani.

"Bertolak pada fakta-fakta di atas bukan tidak mungkin ulama yang merasa dipermainkan dengan janji-janji pemerintah soal konsesi lahan akan mengambil jalur perlawanan dengan kelompok korporasi bisnis yang hari ini sangat leluasa dalam penguasaan tanah di Indonesia. Dengan demikian, bukan tidak mungkin Pemilu 2024 akan menjadi pertarungan sengit antara kelompok ulama dengan kelompok oligarki dalam menegaskan kepentingan kelompoknya, " ujarnya. 

Hal penting lain yang tidak bisa dipandang sebelah mata terkait perseteruan ulama dan korporasi bisnis ini yakni soal “blank cheque”. Kasus yang disebutkan terakhir ini menarik untuk diulas. Seperti diketahui, blank cheque dalam pengertian sederhananya merupakan sebuah situasi di mana kesepakatan telah dibuat secara terbuka namun tidak jelas dan rawan disalahgunakan.

"Kasus ini melibatkan korporasi-korporasi besar di Tanah Air dengan melibatkan para oknum birokrat, atau pejabat pemerintah," ujarnya. 

Menurutnya, bijakan karet untuk eksportasi batubara, pemberian lisensi, konsesi, dan aneka kemudahan bagi kelompok korporasi bisnis menunjukkan dengan jelas betapa negara lebih cenderung melayani kepentingan penguasa modal dari pada mengakomodir kepentingan umat. 

Di tengah segala keistimewaan dan kemewahan yang didapatkan korporasi bisnis, kata dia, umat justru berada di posisi marjinal dalam segala aspek. Pengonsentrasian sumber daya (resources) di tangan para konglomerat membuktikan bahwa kepentingan umat sama sekali belum terakomodir. 

 

"Inilah penyebab utama ulama versus korporasi bisnis pada Pemilu 2024 akan datang dalam rangka perjuangan kepentingan umat," ucapnya. 

 
Berita Terpopuler