Adab yang Harus Dipenuhi Guru dan Murid dalam Proses Menuntut Ilmu

Islam menekankan pentingnya adab bagi guru dan murid selama proses menuntut ilmu

ANTARA/Prasetia Fauzani
Sejumlah santri belajar ilmu mengaji kitab kuning di Pondok Pesantren Kapurejo, Kediri, Jawa Timur (ilustrasi). Islam menekankan pentingnya adab bagi guru dan murid selama proses menuntut ilmu.
Rep: Muhyiddin Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA —Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk belajar adab terlebih dahulu baru menuntut ilmu. Adab dulu baru ilmu, itulah yang seharusnya dilakukan oleh para penuntut ilmu. Pentingnya adab ini banyak diajarkan dalam buku berjudul “Adab di Atas Ilmu.”    

Baca Juga

Buku ini diterjemahkan dari kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim wa Adab al-Mufti wa al-Mustafti yang ditulis oleh Imam Nawawi, seorang ulama besar Mazhab Syafi’i.   

Dalam bab ketiga buku ini, Imam Nawawi membahas tentang etika atau adab seorang guru atau Muallim, baik dalam belajar maupun mengajar.

Pertama, menurut dia, ketika belajar seorang guru harus menjadikan ridha Allah SWT sebagai tujuan belajarnya. Ia tidak boleh berniat mencari kesenangan duniawi. Misalnya, memeperkaya diri atau ingin dikenal.   

Kedua, seorang guru harus senantiasa berperilaku baik. Artinya, segala tindak-tanduknya harus sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Menurut Imam Nawawi, seorang guru juga harus hidup sederhana sehingga bisa menguasai dirinya agar tidak teperdaya dengan dunia.  

Dalam buku ini, setidaknya Imam Nawawi mengungkapkan tujuh adab yang harus dimiliki seorang guru dalam belajar dan ada sekitar 33 adab yang harus dimiliki seorang guru dalam mengajar. Di antaranya, seorang guru atau orang berilmu hendaknya tidak malu berkata jujur ketika ia ditanya tentang hal yang ia belum ketahui jawabannya.   

Sedangkan adab seorang murid atau muta’allim dijelaskan Imam Nawawi dalam bab selanjutnya. Di antara penjelasannya, Imam Nawawi menukil pernyataan Imam Malik yang menyatakan, “Seseorang tidak akan benar-benar dapat menguasai suatu ilmu sampai ia merasakan hidup dalam kesusahan.”

Baca juga: Keutamaan Membaca Surah Al-Kahfi pada Hari Jumat

Pada bab kelima, Imam Nawawi kemudian mengupas tentang etika bersama antara guru dan murid. Di antaranya, menurut dia, guru dan murid tidak boleh melupakan tugas dan kewajibannya masing-masing. Guru ataupun murid tidak diperkenankan untuk menanyakan hal-hal yang menyusahkan atau membuat bingung dengan tujuan untuk merendahkan.   

Sebab, menurut Imam Nawawi, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan tujuan-tujuan tersebut tidak layak untuk dijawab. Dalam sebuah hadits telah disebutkan bahwa Rasulullah SAW melarang menanyakan masalah-masalah yang tidak ada manfaatnya.    

Melalui karyanya ini, Imam Nawawi ingin menegaskan tentang pentingnya adab. Dia banyak mengajarkan tentang adab yang harus dimiliki oleh seorang guru maupun murid. Karena, jika memiliki adab, sepintar apapun orang itu semua pengetahuannya akan gugur dan tak dapat dijadikan rujukan rujukan, serta takkan pula memproduksi kebaikan-kebaikan.  

Bahkan, amal ibadahnya pun tak bernilai apa-apa bila tidak dihiasi dengan adab. Hal ini karena adab merupakan pondasi agama. Dalam sebuah hadits juga telah disampaikan bahwa Nabi SAW diutus hanya untuk memperbaiki adab-adab (yang baik).  

Adab sangat penting dalam Islam. Karena itu, Abdurrahman bin al-Qasim pun mempelajari masalah-masalah adab sampai 18 tahun lamanya. Sedangkan mempelajari ilmu lainnya hanya dua tahun.

Ibnu al-Mubarak juga merelakan waktunya 30 tahun untuk mendalami masalah adab. Begitu juga ulama-ulama terdahulu lainnya, mereka juga mendahulukan adab daripada ilmu.

 

Siapa Imam Nawawi?        

Imam Nawawi, seorang ulama besar Mazhab Syafi’i. Dia dilahirkan di Desa Nawa, Suriah pada bulan Muharram 631 Hijriyah.   

Berkat penguasaan dan kepeduliannya terhadap ilmu-ilmu agama, sang Imam memperoleh gelar “Muhyiddin”, yang artinya sang penghidup agama. Gelar ini diberikan karena Imam Nawawi mendedikasikan seluruh hidupnya untuk belajar, menulis, dan mengajarkan ilmu-ilmu agama.   

Baca juga: Amalan Sunnah yang akan Didoakan Puluhan Ribu Malaikat

Seperti mayoritas ulama yang bermazhab Syafi’i, dalam mazhab akidah sang imam termasuk Al Asy’ariyah atau pengikuti Imam Abu Hasan al-Asy’ari, sang pendiri Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). 

Jejak langkah sang imam dalam menuntut ilmu merupakan bukti cintanya terhadap ilmu pengetahuan. Dari sang Imam, umat Islam akan mengerti bahwa belajar ilmu tidak boleh terhambat oleh faktor usia dan tidak pernah mengenal kata usai.  

 

Imam Nawawi wafat pada 679 Hijriah di usia ke-45 tahun. Dalam kurun waktu yang begitu singkat, dengan ketekunannya dalam membaca dan menulis, lahir puluhan karya-karya besar. Salah satu karyanya yang mengupas tentang ilmu adalah buku terjemahan berjudul “Adab di Atas Ilmu” ini.   

 
Berita Terpopuler