Doa Rasulullah Ketika Manasik Umrah Qadha
Nabi Muhammad dan sahabat melaksanakan umroh qadha setelah perjanjian Hudaibiyah.
IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Setelah berjalan setahun sejak berlakunya isi perjanjian Hudaibiya, Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya bisa memasuki Makkah dan berziarah ke Ka’bah untuk umroh. "Atas dasar itu Nabi Muhammad lalu memanggil orang agar bersiap-siap untuk berangkat melakukan ‘umrat’l-qadha, (umrah pengganti) yang sebelum itu telah teralang," tulis Husen Heikal dalam bukunya Sejarah Muhammad.
Setelah sampai di Makkah pada umratul qadha (umroh pengganti) Rasulullah di mesjid ia menyelubungkan dan menyandangkan kain jubahnya di badan dengan membiarkan lengan kanan terbuka. Pada saat itullah Rasulullah mengangkat tangannya sambil mengucapkan doa.
“Allahuma irham imra’an arahum al-yauma min nafsihi quwatan.” (“Ya Allah, berikanlah rahmat kepada orang, yang hari ini telah memperlihatkan kemampuan dirinya.”). Doa Rasulullah ini diabadikan Husen Haekal dalam bukunya 'Sejarah Muhammad'.
Kemudian beliau menyentuh sudut hajar aswad (batu hitam) dan berlari-lari kecil, yang diikuti oleh sahabat-sahabat, juga dengan berlari-lari. Setelah menyentuh ar-rukn’l-yamani (sudut selatan) ia berjalan biasa sampai menyentuh hajar aswad, lalu berlari-lari lagi berkeliling sampai tiga kali dan selebihnya dengan berjalan biasa. Setiap ia berlari kedua ribu kaum Muslimin itu juga ikut berlari-lari, dan setiap ia berjalan mereka pun ikut pula berjalan.
Pada saat itu pihak Quraisy menyaksikan semua itu dari atas bukit Abu Qubais. Pemandangan ini sangat mempesonakan mereka. Tadinya orang bicara tentang Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, bahwa mereka sedang berada dalam kesulitan, dalam keadaan susah payah.
"Tetapi apa yang mereka lihat sekarang ternyata menghapus segala anggapan tentang kelemahan Muhammad dan sahabatsahabatnya itu," katanya.
Selama tujuh tahun sebelumnya mereka teralang melakukan salat menurut pimpinan Islam di tempat itu. Kaum Muslimin tinggal selama tiga hari di Makkah seperti sudah di tentukan dalam Perjanjian Hudaibiya, sesudah kota itu dikosongkan dari penduduk.
Selama tinggal di situ kaum Muslimin tidak mengalami sesuatu gangguan. Kalangan Muhajirin menggunakan kesempatan menengok rumah-rumah mereka dan mengajak pula sahabat-sahabatnya dari pihak Anshar turut menengoknya.
"Seolah mereka semua penduduk kota yang aman itu," katanya.
Mereka semua bertindak menurut tuntunan Islam, setiap hari menjalankan kewajiban kepada Tuhan dengan melakukan salat dan samasekali menghilangkan sikap tinggi diri, yang kuat membimbing yang lemah, yang kaya membantu yang miskin. Nabi sendiri di tengah-tengah mereka sebagai seorang ayah yang penuh cinta dan dicintai.
"Yang seorang diajaknya tertawa, yang lain di ajaknya bergurau, tetapi semua yang dikatakannya selalu yang sebenarnya," katanya.
Pada saat itu orang-orang Quraisy dan penduduk Makkah lainnya, dari tempat-tempat mereka di lereng-lereng bukit menyaksikan sendiri pemandangan yang luar biasa dalam sejarah itu. Mereka melihat orang-orang dengan akhlak yang demikian rupa, tidak minum-minuman keras, tidak melakukan perbuatan maksiat, tidak mudah tergoda oleh makanan dan minuman.
"Kehidupan duniawi tidak sampai mempengaruhi mereka," katanya.
Mereka tidak melanggar apa yang dilarang, mereka menjalankan apa yang diperintahkan Tuhan. Alangkah besarnya pengaruh yang ditinggalkan oleh pemandangan demikian itu, yang sebenarnya telah mengangkat martabat umat manusia ke tingkat yang paling tinggi.
Tidak terlalu sulit orang akan menilai kiranya bila sudah mengetahui, bahwa beberapa bulan kemudian Nabi Muhammad telah kembali lagi dan dapat membebaskan Makkah dengan kekuatan sebanyak 10.000 orang Muslimin.