Ade Armando, Liputan Demo, dan Kerusuhan 98

Seringkali aku meliput aksi demo hingga yang terbesar aksi demo mahasiswa 1998.

Darmawan/Republika
Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR untuk demonstrasi pada 21 Mei 1998 menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden RI Soeharto.
Rep: Rusdy Nurdiansyah Red: Endro Yuwanto

Oleh : Rusdy Nurdiansyah/Jurnalis Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, Dosen Universitas Indonesia (UI) yang juga pegiat media sosial (medsos), Ade Armando, dikeroyok massa saat aksi demo yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (11/4/2022). Ade yang mengenakan kaos hitam bertuliskan "Pergerakan Indonesia untuk Semua" babak belur di hajar dan ditelanjangi massa yang sudah tak terkontrol.

Beruntung Ade berhasil diselamatkan aparat kepolisian dari kerumunan massa sehingga tidak terjadi hal yang lebih tidak diinginkan. Sebelum kejadian tersebut, Ade mengaku tak berniat ikut dalam aksi unjuk rasa bersama mahasiswa. Namun, ia mendukung aspirasi yang menolak wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden, tiga periode.

Kehadiran mantan wartawan ini di lokasi aksi ternyata menyulut emosi sejumlah orang. Namun mereka bukan dari kalangan mahasiswa. Ketika massa sudah berkerumun, ada sekolompok orang yang meneriaki Ade hingga melemparkan kata-kata yang tidak senonoh.

Sejumlah orang menghampiri dan menuduhnya sebagai penjilat dan pengkhianat. Beberapa di antaranya ada seorang perempuan paruh baya melontarkan kata-kata, buzzer, buzzer, bulan puasa! Munafik, pengkhianat, penjilat! "Sadar kamu, sadar, bulan puasa!" teriak salah seorang ibu.

Sempat terjadi adu mulut antara Ade dengan sejumlah orang yang menolak kehadirannya di lokasi aksi. “Apa kamu! Apa kamu!” balas Ade.

Sikap Ade yang coba melawan dari umpatan inilah yang memicu massa semakin beringas dan terjadilah pengeroyokan yang dilakukan massa pendemo. Keberanian Ade hadir di aksi demo, walaupun alasannya mendukung, namun cukup berisiko di tengah massa pendompleng yang anti-pemerintah. Ade selama ini dikenal sebagai sosok pendukung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Cukup lama aku mengenal Ade, sejak kami bekerja di Harian Republika 30 tahun silam. Dia salah satu tim litbang redaksi dan juga redaktur. Tipikalnya, Ade cukup ramah dan senang berdiskusi.

Beberapa kali, Ade kerap terlibat diskusi denganku, terutama diskusi soal kehidupan ramah keluarga. Ia juga sesekali menugaskan aku untuk membantu meliput dan menulis.

Ade juga orang yang tak mudah emosional dan memilih mengalah untuk tidak terlibat dengan debat yang menjurus cekcok. Makanya, aku cukup kaget ketika menyaksikan dari video yang beredar, Ade meladeni umpatan seorang emak-emak.

Terlihat dari mimiknya, sebelum terjadi pengeroyokan, Ade terkesan pemberani dengan menantang teriakan massa pendemo. Sikap yang konyol menurutku. Mestinya ia memilih secepatnya menghindar dari kerumunan massa yang sudah tak kondusif.

***

Atur strategi, pelajari situasi, jangan terpancing provokasi dan intimidasi, hindari kerumunan massa yang nggak kondusif, cari posisi aman, berada di barisan polisi dan kenakan ID card pers. Keselamatan nomor satu, jangan mati konyol. Itu pesan yang kerap didengungkan redaktur foto Republika, Bachtiar Phada, kepada para fotografer yang ditugaskan meliput demo yang berpotensi bentrok dan kerusuhan sehingga bisa mengancam keselamatan jiwa.

Sebagai fotografer, seringkali aku meliput aksi demo mahasiswa, demo buruh, hingga yang terbesar yakni aksi demo mahasiswa yang berujung kerusuhan Mei 1998. Tentu cukup besar, risiko mendapati intimidasi dan kekerasan, baik yang dilakukan para demonstran, para perusuh, maupun aparat kepolisian.

Terkena lemparan batu, sabetan pentungan, semprotan air dari mobil water cannon dan tembakan gas air mata, menjadi risiko terkecil yang kerap menimpa para fotografer dan kameraman yang meliput di garis terdepan aksi demonstrasi. Odol pasta gigi, salah satu perbekalan yang kerap dibawa untuk mencegah perihnya mata dari terkena asap gas air mata.

Peristiwa yang cukup mencekam, takkala kali pertama aku mendapat tugas membantu meliput demontrasi mahasiswa Trisakti yang berujung tewasnya empat orang mahasiswa pada 12 Mei 1998. Aparat keamanan gabungan tentara dan polisi yang ingin membubarkan aksi demo, dengan membabi buta tak henti-hentinya menembaki gas air mata dan peluru karet ke kerumunan massa mahasiswa yang kocar-kacir berlarian ke dalam kampus.

Aku terjebak di dalam kampus, sementara waktu sudah menjelang Magrib dan aku harus segera kembali ke kantor. Dapat informasi, sebagian teman fotografer lainnya terjebak di dalam Kantor Wali kota Jakarta Selatan dan tidak bisa keluar karena tidak diperbolehkan oleh pasukan anti huru-hara (PHH).

Usai kumandang adzan Magrib, aku memberanikan keluar dari dalam kampus dengan cara mencoba bernegosiasi dengan salah satu aparat keamanan. Beruntung, aku akhirnya diizinkan dan dikawal seorang aparat keamanan menuju ke tempat yang aman. Seorang pengendara motor bersedia mengantarkan aku hingga tiba di kantor Republika.

Esoknya, 13 Mei 1998, diumumkan empat mahasiswa tewas dalam demontrasi yang menjadi simbol dan penanda perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru yakni Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Sedangkan korban luka-luka tercatat 681 orang.

Tak pelak, Tragedi Trisakti menjadi pemicu kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan yang terjadi hampir di seluruh wilayah Jakarta. Kerusuhan yang kental bernuansa rasial terjadi cukup mencekam. Sepertinya semua orang terlihat kalap, mobil-mobil pemerintah dan aparat keamanan dibakar, toko dan mal dijarah dan dibakar. Situasi sudah tak terkendali, tidak tampak satu orang pun aparat keamanan baik polisi maupun tentara yang bertugas.

Aku membidikkan kamera ke amuk massa yang menjarah dan membakar pusat pembelanjaan atau Mal Robinson di Pasar Minggu. Bapak-bapak, Ibu-ibu, anak-anak muda dan remaja, seperti tak berdosa, berebutan mengambil barang-barang dari dari dalam mal yang juga mulai dibakar.

Namun, beberapa pria menatap tajam ke arahku sambil menghardik. "Jangan difoto," teriak seorang pria yang hendak mengambil satu televisi dari dalam toko elektronik.

"Wartawan, Pak," jawabku.

Beberapa orang pria mendekat sambil berteriak untuk tidak membidikkan kamera ke arah mereka. "Jangan difoto, jangan difoto!"

Aku merasa kerumunan massa mulai tak kondusif. Aku perlahan menghindar dan menjauh, mencari posisi yang aman. Kerumunan massa semakin beringas, menjarah, dan juga membakar toko-toko yang berdekatan dengan Mal Robinson, Pasar Minggu.

Setelah cukup mendapati banyak angle foto, aku kembali ke kantor Republika di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan. Sepanjang perjalanan, aku melihat rolling door toko-toko yang tutup tertulis, Toko Milik Pribumi.

***

Penjarahan dan pembakaran pusat perbelanjaan semakin meluas, hampir terjadi di seluruh Jakarta, Depok, dan Bekasi. Di antaranya di Grogol, Jatinegara, Klender, Cikini, dan terutama di kawasan Glodok. Toko-toko dan rumah milik etnis Cina juga menjadi sasaran utama dijarah dan dibakar. Isu beredar terjadi pembantaian dan pemerkosaan etnis keturunan Cina di kawasan Glodok, Jakarta Kota. Kejadian terus berlangsung selama tiga hari, hingga 15 Mei 1998.

Aku dan beberapa teman fotografer meluncur ke kawasan Glodok. Dengan motor, kami menerabas jalan tol dalam kota yang lengang, menuju Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin yang melompong tanpa ada satupun mobil yang melintas. Hanya, tampak kendaraan truk-truk tentara dari kesatuan marinir dengan pasukannya bersenjata lengkap berjaga-jaga di setiap gedung.

Memasuki kawasan Glodok, suasana penjarahan dan pembakaran cukup mencekam. Massa berlarian ke sana-kemari, mengambil barang-barang elektronik dan sembako, seperti beras dan mie instan. Ada yang dibawa dengan dipikul, dan sebagain besar dibawa dengan gerobak. Tampak juga toko, mobil, dan motor yang teronggok terbakar.

Kerumunan massa semakin tak kondusif dengan berteriak-teriak. "Bakar-bakar, bunuh Cina!"

Tak tampak ada aparat keamanan. Aku dan para fotografer lainnya langsung membidikkan kamera ke arah massa yang sedang menjarah toko-toko. Sejumlah kendaraan dibakar.

Sambil terus menjepretkan kamera, kami juga coba mencari informasi mengenai isu pembunuhan dan pemerkosaan massal terhadap etnis keturunan Cina. Info yang diperoleh, sudah tidak ada lagi orang-orang keturunan etnis Cina dan mereka sudah kabur ke Bandara Soekarno-Hata. Dan, tak satupun orang yang kami temui yang mengetahui adanya pembunuhan dan pemerkosaan massal keturunan etnis Cina.

Karena penasaran, kami pun berputar-putar melintasi seluruh kawasan Glodok yang situasinya seperti kota mati atau kota dalam situasi perang. Namun, kami tak menemukan lokasi yang diisukan jadi ladang pembantaian dan pemerkosaan massal keturunan etnis Cina. Ada Informasi, terjadinya pelecehan terhadap beberapa wanita keturunan etnis Cina, namun tidak terjadi pemerkosaan.

Kerusuhan itu tidak mengalihkan perhatian mahasiswa untuk tetap bergerak dan menuntut perubahan. Hingga kemudian, pada 18 Mei 1998 mahasiswa berhasil menguasai kompleks Gedung MPR/DPR, menumbangkan kekuasaan Orde Baru dengan memaksa Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun untuk mundur pada 21 Mei 1998.

 
Berita Terpopuler