Tangis Puan Maharani untuk Sahnya UU TPKS

UU TPKS mengatur korban kekerasan seksual menerima restitusi dari pelaku.

Prayogi/Republika.
Ketua DPR Puan Maharani melambaikan tangan saat rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/4/2022). Rapat Paripurna DPR tersebut secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang.Prayogi/Republika.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar

Tangis Ketua DPR Puan Maharani menetes saat dia mengesahkan rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna ke-19 Masa Sidang IV Tahun Sidang 2021-2022. Usai pengesahannya, Puan bahkan tampak sesenggukan den mengusap air matanya dalam forum tersebut.

"Karena Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah hasil kerja sama bersama, sekaligus komitmen bersama kita agar tidak ada ruang bagi kekerasan seksual," ujar Puan yang kemudian mengusap air matanya di Ruang Rapat Paripurna, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/4).

Ia berharap implementasi dari Undang-Undang TPKS dapat menjadi payung hukum untuk memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Khususnya dalam melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seksual.

"Karenanya perempuan Indonesia harus dan tetap selalu semangat. Sidang dewan yang terhormat melalui forum ini sekali lagi kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak," ujar Puan yang sekali lagi mengusap air matanya.

Puan mengakui jika undang-undang tersebut belum dianggap sempurna oleh sejumlah pihak. "Saya juga memahami bahwa mungkin undang-undang ini belum dianggap sempurna. Karenanya saya meminta seluruh elemen masyarakat untuk mengawal undang-undang ini nanti dalam implementasinya memang bermanfaat untuk mitigasi, perlindungan," ujar Puan.

Kendati demikian, UU TPKS ini menjadi hadiah bagi kaum perempuan jelang Hari Kartini pada 21 April mendatang. Payung hukum yang akan memberikan keadilan bagi korban dan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual.

"Ke depannya kita semua bersepakat dalam implementasi undang-undang tersebut bahwa mitigasi perlindungan perempuan dan anak sampai penanganannya. Kemudian bagaimana hukumannya dan lain-lain itu memang bisa berpihak kepada korban," ujar Puan.

Usai pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy kembali menjelaskan bahwa pasal terkait pidana dan aborsi tak masuk dalam UU TPKS. Melainkan akan termaktub dalam revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP).

"Pemerkosaan dan persoalan aborsi yang sudah diatur dalam KUHP yang akan disahkan selambat-lambatnya disahkan pada bulan Juni 2022 ini," ujar Eddy.

Hal itu dilakukan, sebab pemerintah telah melakukan mapping terhadap draf RUU TPKS dengan peraturan perundan-undangan lainnya. Hal itu dilakukan agar tak adanya tumpang tindih antara UU TPKS dengan undang-undang lain.

Baca Juga

Baca juga : Puan: UU TPKS Berikan Penyelesaian dan Perlindungan dari Kasus Kekerasan Seksual

"Kita kemudian menyempurnakan rumusan mengenai aborsi dan pemerkosaan dalam RKUHP itu kita nantikan bersama untuk memperbaiki rumusannya. Dengan demikian dengan bentuk kekerasan seksual itu bisa ditanggulangi dengan komprehensif," ujar Eddy.

Ketua panitia kerja (Panja) RUU TPKS Willy Aditya mengamini, tak semua aspirasi dapat masuk dalam masuk dalam RUU tersebut. Namun gantinya, RUU TPKS juga memasukkan aturan yang dapat membantu korban kekerasan seksual.

Salah satunya adalah dana bantuan korban yang merupakan komitmen hadirnya negara untuk korban kekerasan seksual. Negara hadir dalam bentuk pemberian kompensasi kepada korban ketika pelaku tidak mampu membayar restitusi.

"Ini adalah kehadiran negara bagaimana memberikan rasa keadilan dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual yang selama ini kita sebut fenomena gunung es," ujar Willy.

"Ini adalah sebuah langkah maju bagaimana kita hadir dalam memberikan perlindungan," sambung politikus Partai Nasdem itu.

Baca juga :Puan: Cita-Cita Saya Ingin Jadi Bagian dalam Membangun Bangsa Ini

Ia mengatakan, UU tersebut merupakan hasil dialog dan menyampingkan ego dari setiap kelompok. "Saling berdialog mendudukkan kepentingan, menurunkan ego golongan, dan percaya pada asasi kepentingan ternyata telah mampu mewujudkan sebuah RUU yang menjadi pondasi bagi upaya memastikan lestarinya kehidupan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab," ujar Willy.

Menurutnya, manusia dapat dikatakan adil dan beradab jika mampu memastikan kehidupan manusia yang lain layak dan aman. Termasuk dalam melindungi dan memberikan keadilan bagi masyarakat dalam kasus kekerasan seksual.

"Kita berharap dengan RUU ini kita tidak lagi perlu mengalami episode-episode yang memberi ruang bagi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sejarah memberikan bukti, bahwa kemuliaan sebuah bangsa terletak pada bagaimana bangsa itu memuliakan perempuannya," ujar Willy.

Dengan pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang, kini parat memiliki payung hukum menindak segala bentuk kekerasan seksual. Nantinya, undang-undang tersebut akan sangat berperan untuk berpihak dan membela kepada korban. Termasuk untuk menindaklanjuti setiap kasus kekerasan seksual.

"Beberapa hal progresif dari RUU ini adalah RUU yang berpihak pada korban. Bagaimana aparat penegak hukum memiliki payung hukum atau legal standing yang selama ini belum ada terhadap setiap kasus kekerasan seksual," ujar Willy.

Baca juga : Ade Armando Dikeroyok, Ini Kata FISIP UI

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengapresiasi DPR yang melakukan pengambilan keputusan tingkat II terhadap RUU TPKS. Nantinya, undang-undang tersebut akan menjadi pemenuhan hukum atas kasus kekerasan seksual di Indonesia.

"Diperlukan undang-undang khusus tentang tindak pidana kekerasan seksual, mampu menghadirkan landasan hukum, materiil, dan formil, dan menjamin kepastian hukum dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat," ujar Bintang.

Ia menjelaskan, kekerasan seksual adalah perbuatan yang menghina derajat dan martabat manusia. Perbuatan tersebut juga bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

"Kekerasan seksual merupakan bentuk dari tindak kekerasan, perlakuan yang merendahakan derajat dan martabat manusia yang bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Serta yang mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat," ujar Bintang.

Disampaikannya, kekerasan seksual juga merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia. Apalagi dampaknya negatif yang ditimbulkan sangat besar di bidang sosial, ekonomi, kesehatan, dan politik.

"Hak setiap negara untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan bebas dari penyimpangan seksual atau perlakuan yang merendahkan derajat, martabat manusia merupakan hal yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945," ujar Bintang.




Salah satu poin penting UU TPKS adalah restitusi atau ganti kerugian yang merupakan kewajiban pelaku kekerasan seksual untuk korban. Hal tersebut sudah termaktub dalam Pasal 1 Ayat 20 UU TPKS

Pekan lalu saat diwawancarai, Ketua panitia kerja (Panja) RUU TPKS Willy Aditya mengatakan restitusi adalah kewajiban pelaku ke korban. "Restitusi itu kewajiban pelaku mengganti kepada korban, ganti rugi kepada korban, itu directly," ujar Willy di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/4/2022).

Dalam Pasal 1 Ayat 20 dijelaskan, restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.

Penetapan besarnya restitusi pelaku kekerasan seksual kepada korban ditetapkan oleh hakim, yang diatur dalam Pasal 16 Ayat 1. Hakim juga menetapkan besarnya restitusi untuk pelaku korporasi, yang diatur dalam Pasal 16 Ayat 2.

Kendati demikian, Willy menjelaskan bahwa Panja yang terdiri dari pemerintah dan Baleg telah menyepakati adanya dana bantuan korban atau victim trust fund (VTF). Hal tersebut diatur dalam Pasal 35 Ayat 2.

"Ketika si pelaku tidak mencukupi asetnya, uangnya untuk melakukan restitusi, maka kemudian negara hadir dengan kompensasi," ujar Willy.

Baca juga : GUSDURian Sebut Penganiayaan Ade Armando Bertentangan dengan Agama

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy salah satu tujuan hadirnya RUU TPKS adalah memberikan perlindungan untuk korban. Salah satunya lewat dana bantuan korban.

Kendati demikian, hadirnya dana bantuan korban tidak meninggalkan kewajiban pelaku kekerasan seksual dari denda dan sita harta tetap berjalan sejak penyidikan. Jika pelaku tidak mampu, barulah negara hadir lewat dana bantuan korban tersebut.

Ia mencontohkan, jika pelaku kekerasan seksual dihukum satu tahun penjara dan restitusi sebesar Rp 100 juta. Namun pelaku hanya memiliki harta sebesar Rp 50 juta, maka Rp 50 juta lainnya akan diganti lewat dana bantuan korban.

"Ketika pelaku tidak mampu membayar, maka dia tetap harus menerima hukuman pengganti supaya memberikan efek jera kepada yang lain. Tetapi korban tetap mendapatkan dana restitusi," ujar Eddy.

Dana bantuan korban akan diakomodasi lewat penambahan dua ayat dalam Pasal 23 RUU TPKS. Pertama, kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (16) dibayarkan melalui dana bantuan korban.

Baca juga : Puan Kutuk Keras Tindakan Kekerasan di Aksi 11 April

Selanjutnya, ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pendanaan dan tata cara pemberian dana bantuan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (17) diatur dengan peraturan pemerintah. “Dana bantuan korban itu sudah. Itu nanti akan kami sisipkan dan sehingga itu bisa menjawab kekhawatiran," ujar Eddy, dikutip pada 31 Maret 2022.

Eddy menjelaskan, konsep dana bantuan korban atau victim trust fund tengah digagas oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Menurutnya, ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab negara terhadap korban kekerasan seksual.

"Saya kira mampu atau tidak mampu negara harus mampu sebagai bentuk tanggung jawab. Tujuan hukum pidana itu bagaimana memberikan perlindungan kepada masyarakat," ujar Eddy.

Eddy menjelaskan, dana bantuan korban tak hanya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), tetapi juga dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP), sanksi pidana finansial, dan program tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR). Kendati demikian, dana bantuan korban tidak meninggalkan kewajiban pelaku kekerasan seksual dari denda dan sita harta tetap berjalan sejak penyidikan.

Jika pelaku tidak mampu, negara hadir lewat dana bantuan korban tersebut. Ia mencontohkan, jika pelaku kekerasan seksual dihukum satu tahun penjara dan restitusi sebesar Rp 100 juta. Namun, pelaku hanya memiliki harta sebesar Rp 50 juta, maka Rp 50 juta lainnya akan diganti lewat dana bantuan korban.

"Ketika pelaku tidak mampu membayar, maka dia tetap harus menerima hukuman pengganti supaya memberikan efek jera kepada yang lain. Tetapi korban tetap mendapatkan dana restitusi," ujar Eddy.

Adapun, penyitaan harta pelaku juga memperhatikan itikad baik pihak ketiga dalam hal memberikan restitusi bagi korban. "Bila perlu supaya tidak menimbulkan interpretasi kita jelaskan bahwa pihak ketiga ini harus memperhatikan hak anak, hak istri, atau hak suami," ujar Eddy.

Perempuan rentan jadi korban kekerasan - (Republika)

 
Berita Terpopuler