Ramadhan, Melawan Banalitas Kekuasaan

Ramadhan saat interopeksi diri dari banalitas kekuasaan

istimewa
Ramadhan
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Verdy Firmantoro, Kandidat Doktor FISIP Universitas Indonesia;Peneliti Indopol Survey dan Dosen FISIP UHAMKA

Pernyataan Presiden Jokowi yang melarang para menterinya bicara penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dalam sidang kabinet paripurna 6 April 2022 menjadi harapan untuk meredam kegaduhan publik. Sikap politik itu penting dideklarasikan demi memastikan ketaatan pada konstitusi dan keajegan dalam demokrasi.   

Di saat yang sama, datangnya bulan Ramadhan menjadi momentum mulai dari menahan diri sampai ikhtiar pemulihan ekonomi pasca pandemi. Ramadhan mengjarkan pesan ketaqwaan dan meneguhkan ketaatan pada aturan. Sebab bulan puasa bukan sekedar seremoni menahan lapar dan dahaga, melainkan perjuangan membendung hasrat kuasa yang berlebihan.  

Jika puasa dimaknai menahan diri, pun kuasa bukan untuk diri sendiri. Menahan diri untuk tetap patuh pada konstitusi, menahan diri untuk tidak korupsi, menahan diri untuk tidak mencipta oligarki. Begitulah upaya memahami Ramadhan secara hakiki dan memaknai kekuasaan secara filosofi. Segala praktik kekuasaan yang menciderai hajat publik merupakan bentuk banalitas. Banalitas kekuasaan menumbangkan esensi politik kemanusiaan.  

 

 

Ramadhan: Puasa dan Kuasa

Produksi wacana presiden tiga periode dinilai kontraproduktif dengan kondisi masyarakat yang butuh ketenangan. Tenang bukan hanya untuk menjalankan ibadah selama bulan puasa, tapi juga ibadah pengabdian bagi para pemimpin yang telah diberi mandat kuasa. 

Sebenarnya dalam batas-batas tertentu antara puasa dan kuasa mempunyai derajat pemaknaan yang saling beririsan. Keduanya bertalian secara nilai dalam arti menahan atau mengendalikan. Menahan merupakan sebuah kata kerja, di dalamnya memerlukan kekuatan diri untuk mengontrol tindakan yang berpotensi terjadi namun tidak sesuai dengan kaidah. Secara sederhana, refleksi puasa dapat menjadi spirit nilai yang memagari kekuasaan untuk tidak berbuat sewenang-wenang, karena memang ada batasnya. 

Bahkan secara khusus Rasulullah SAW meletakkan derajat pemimpin yang adil di level tertinggi sebagaimana menganalogikan jika sehari seorang pemimpin yang adil itu lebih utama dibandingkan melakukan ibadah selama 60 tahun. Puasa mengajarkan seseorang untuk merasakan atau berempati terhadap realitas sosial seperti kelaparan atau kemiskinan. Pemimpin yang terlibat secara emosional meraskan penderitaan itu, kemudian berusaha mencari jalan keluar, sejatinya ia telah bertanggung jawab atas kepemimpinannya. 

“Puasa” untuk tidak terjebak pada tawaran-tawaran pragmatis yang mengancam keadilan dan kesejahteraan menjadi cita-cita luhur pemimpin negarawan. Kekuasaan sudah semestinya tidak digunakan hanya untuk memenuhi hasrat diri atau golongan, tetapi menjadi sarana untuk mencapai kebaikan bersama.  

 

 

Kekuasaan dan Kesalehan Sosial

Kecenderungan sentralisasi atau resentralisasi kekuasaan menjadi ancaman serius terhadap demokrasi. Potret itu bisa dibaca dari berbagai telaah yang dilakukan oleh Jeffrey Winters, Richard Robinson, Vedi Hadiz atau Edward Aspinall menyoal oligarki. Persoalannya euforia reformasi yang digadang-gadang mengantarkan pada demokrasi substantif, namun dalam perjalanannya proses-proses yang demokratis justru dijegal dan dipecundangi kepentingan-kepentingan politis.

Political inequality menjadi konsekuensi ketidakberesan yang terkehendaki. Misalnya ketika harga-harga sejumlah barang pokok melambung, pemerintah sempat berada di kondisi “menyerah” kepada mafia yang seolah lebih mempunyai otoritas mengatur pasar. Artinya kekuasaan itu bukan sekedar siapa yang secara de facto diberikan jabatan, tetapi beyond itu soal siapa yang lebih berwenang mengontrol aturan. 

Pertarungan kuasa menjauhkan nilai-nilai adiluhung keadaban politik tunduk pada imperatif kepentingan. Dalam posisi ini, politik kekuasaan berjarak dari upaya memenuhi tanggung jawab sosial. Kekuasaan yang tak menghidupkan nurani memunggungi asas dan prinsip kemanusiaan. 

Kekuasaan perlu diturunkan dalam sendi-sendi kesalehan. Kesalehan sosial bukan hanya jargon atas perluasan kesalehan personal. Saleh secara sosial mengartikan manusia politik dapat melakukan politik kemanusiaan. Kekuasaan menjadi manifestasi nalar dan gerak kepedulian. 

 

 

Power Beyond Politics

Tulisan L.L Blake tentang Sovereignty: Power Beyond Politics, mengingatkan bahwa kekuasaan bukan hanya soal politik, melainkan juga melampaui politik itu sendiri. Orientasi kekuasaan yang bersifat jangka panjang dengan mengarusutamakan kepentingan bangsa merupakan intisari kedaulatan. Berdaulat dalam konteks kekuasaan berarti mampu membangun kemandirian dalam mekanisme penentuan kebijakan. 

Kembali ke poin utama tulisan ini, Ramadhan menjadi titik balik melawan banalitas kekuasaan. Kekuasaan itu melenakan. Kalau sudah dapat satu periode, ingin lanjut dua periode, begitu juga seterusnya. Namun komitmen kebangsaan dan taat konstitusi yang utuh dapat menjadi batasan diri untuk tak tergiur pada kepentingan jangka pendek. 

Upaya membangun karakter, integritas dan kesadaran pada nilai-nilai moral menciptakan atmosfer politik yang sehat. Setiap individu pemimpin atau figur-figur yang menempati jabatan publik tentu bukan hanya melaksanakan kerja-kerja birokrasi, tetapi juga menjadi role model yang menginspirasi. 

Urusan kekuasaan perlu menderma pada keberpihakan atas orang-orang yang seringkali terpinggirkan. Kekuasaan sudah semestinya didayagunakan untuk membela hajat publik. Mengutip Milan Kundera, “The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting”, perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa”.

 
Berita Terpopuler