Meski Didera Derita, Pengungsi Afghanistan Sambut Ramadhan di AS dengan Syukur

Mereka khawatir akan nasib kerabatnya di bawah kepemimpinan Taliban.

AP/Andrew Harnik
Pengungsi Afghanistan berjalan melalui sebuah kamp pengungsi di Pangkalan Bersama McGuire Dix Lakehurst, New Jersey, AS, Senin, 27 September 2021. Kamp tersebut saat ini menampung sekitar 9.400 pengungsi Afghanistan dan memiliki daya tampung hingga 13.000 orang. Meski Didera Derita, Pengungsi Afghanistan Sambut Ramadhan di AS dengan Syukur
Rep: Meiliza Laveda Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, LAS CRUCES -- Seluruh umat Islam di seluruh dunia menyambut bulan suci Ramadhan, termasuk mereka yang menjadi pengungsi, seperti pengungsi Afghanistan. Mereka terpaksa pergi ke Amerika Serikat (AS) untuk memulai kehidupan baru.

Baca Juga

Di apartemen kecil, mantan tentara Afghanistan Wolayat Khan Samadzoi memandangi matahari yang terbenam di gunung gurun yang muncul di langit Las Cruces, New Mexico. Pria berjanggut lebat itu terlihat sedang berbuka puasa dengan mengunyah kurma.

Setelah itu, ia bersama istri dan dua anak tertuanya sholat. Pada Sabtu malam, apartemennya dipenuhi dengan gumamam doa mereka.

“Saya berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk saya, mereka merindukan saya,” kata Samadzoi tentang kerabatnya di rumah.

Keluarga Afghanistan yang dievakuasi ke AS saat Taliban kembali berkuasa musim panas lalu merayakan Ramadhan dengan rasa syukur atas keselamatan mereka. Namun, mereka juga merasakan penderitaan karena jauh dari kerabat terkasih. Mereka khawatir akan nasib kerabatnya di bawah kepemimpinan Taliban.

Pengungsi Afghanistan saat itu tiba di wilayah New Mexico. Abdul Amir Qarizada masih ingat betul detik-detik saat ia meninggalkan tanah airnya.

Tepat pada pukul 16.30 waktu setempat, ia diperintahkan  pergi meninggalkan Kabul selama kekacauan evakuasi tanpa diberi waktu untuk mengajak istri dan lima anaknya yang masih ada di Afganistan.

“Kekhawatiran saya adalah pesawat itu aman, tetapi keluarga saya tidak aman,” kata eks insinyur penerbangan setelah sholat Jumat di satu-satunya masjid Las Cruces.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Qais Sharifi yang tidak bisa tidur karena khawatir memikirkan anak-anaknya, termasuk putrinya yang lahir dua bulan setelah ia melarikan diri dari Afghanistan sendirian. Kedua pria itu tersenyum ketika Direktur Pendidikan Masjid Rajaa Shindi yang merupakan seorang profesor kelahiran Irak, mengundang mereka untuk berbuka puasa.

Tidak hanya Muslim setempat, organisasi berbasis Yahudi dan Kristen membantu pengungsi Afghanistan menemukan perumahan, pekerjaan, kelas bahasa Inggris, dan sekolah untuk anak mereka. Di Texas, Dawood Formuli merindukan rutinitas pra-buka puasa khas keluarganya, seperti ayahnya yang lapar meminta makanannya dengan kesal dan ibunya meminta suaminya untuk tenang.

Anak-anak bermain dengan batu di kamp pengungsi Afghanistan di Pangkalan Bersama McGuire Dix Lakehurst, NJ, Senin, 27 September 2021. Kamp tersebut saat ini menampung sekitar 9.400 pengungsi Afghanistan dan memiliki daya tampung hingga 13.000 orang. - (AP/Andrew Harnik)

 

Formuli menceritakan lelucon untuk mencairkan suasana dan membuat ayahnya tertawa. Anak-anaknya, di ruangan lain dengan banyak sepupu mereka, terkadang bermain dan berkelahi.

“Setiap hari, ini seperti Natal,” kata mantan penerjemah di kedutaan AS di Kabul tentang Ramadhan.

Di apartemen barunya di Fort Worth, azan sekarang datang dari aplikasi, bukan masjid. Transisi ini sangat sulit bagi istrinya yang sedang hamil yang masih belajar bahasa Inggris. Namun, ada hal yang menyenangkan di komunitas baru mereka, seperti tetangga Muslim, masjid untuk sholat tarawih, dan pasar makanan halal.

Sementara itu, Khial Mohammad Sultani harus menempuh perjalanan hampir 128 kilometer pulang pergi ke New Mexico dengan taksi untuk pergi membeli dan menyembelih domba untuk Ramadhan. Dilansir Al Arabiya, Rabu (6/4/2022), mantan tentara berusia 37 tahun, istrinya Noor Bibi, dan enam anak mereka berbuka puasa hari kedua dengan potongan daging domba yang direbus dalam saus aromatik di rumahnya di Gardez dengan pohon apel dan delimanya.

Tepat setelah buka puasa, empat anaknya bersiap untuk hari pertama sekolah keesokan paginya. Tiga anak tertua, yaitu laki-laki (11 tahun) dan dua perempuan (9 dan 8 tahun) yang mengenakan jilbab merah, berdoa secara bergantian di atas permadani hijau.

Keluarga Sultani berasal dari pangkalan militer di New Jersey tempat mereka pertama kali mendarat di AS. “Kami Muslim dan sebagian dari keyakinan kami adalah bersyukur kepada Allah atas segalanya,” kata Sultani.

https://english.alaraby.co.uk/news/afghan-evacuees-mark-first-us-ramadan-gratitude-agony

 
Berita Terpopuler