Islamofobia Melonjak di Australia Sejak Teror Masjid Christchurch

Insiden Islamofobia termasuk serangan fisik, pelecehan non-verbal, dan intimidasi.

ALDEN WILLIAMS/STUFF
Masjid Linwood di Christchurch, Selandia Baru yang menjadi lokasi penembakan pada 2019. Islamofobia Melonjak di Australia Sejak Teror Masjid Christchurch
Rep: Alkhaledi Kurnialam Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Platform pelaporan kasus Islamofobia, Islamophobia Register Australia menyebut adanya peningkatan kasus Islamofobia di Australia sejak peristiwa pembunuhan di masjid Christchurch. 

Baca Juga

Dilansir dari Australian Broadcasting Corporation (ABC), Selasa (15/3/2022), laporan terbaru menyebut ada 247 insiden Islamofobia baru-baru ini. Insiden termasuk serangan fisik, penyerangan, kerusakan properti, pelecehan non-verbal, intimidasi, dan ancaman daring.

Rilis laporan itu bertepatan dengan peringatan ketiga serangan teroris 2019 di Selandia Baru, di mana seorang ekstremis sayap kanan Australia menembak dan membunuh 51 Muslim saat sholat Jumat. Menurut platform itu, dalam dua pekan setelah serangan Christchurch, volume insiden yang dilaporkan ke daftar Islamofobia melonjak.

Kasus offline meningkat empat kali lipat dan kasus daring meningkat 18 kali lipat. Mayoritas insiden melibatkan ujaran kebencian, diikuti oleh diskriminasi kemudian grafiti dan vandalisme, sementara kerusakan properti yang parah menyumbang dua persen dan kerusakan individu tiga persen.

Lebih dari setengah penghinaan menargetkan agama individu dan agama, diikuti dengan bahasa kotor dan komentar xenofobik. Sementara komentar yang mengaitkan Islam dengan terorisme mencapai 24 persen dan praduga Muslim membunuh/membahayakan mencapai 15 persen.

Laki-laki diidentifikasi sebagai mayoritas pelaku

Seperti pengulangan laporan sebelumnya, sebagian besar pelakunya adalah laki-laki. Dari kasus fisik yang dilaporkan, laki-laki diidentifikasi sebagai pelaku dalam 78 persen insiden, sementara target mereka paling umum adalah perempuan yang menjadi korban 82 persen.

Wanita Muslim adalah target yang paling umum, dengan 85 persen dari insiden yang dilaporkan melibatkan wanita yang mengenakan jilbab, dan anak-anak hadir dalam 15 persen kasus. Salah seorang korban, Nabil, yang mengajukan laporan ke Daftar Islamofobia pada 2019 atas nama istrinya, mengatakan jelas bahwa istrinya lebih sering menerima ejekan Islamofobia daripada dia.

Saat kejadian, mahasiswa PhD yang telah pindah ke Australia dari Bangladesh baru turun dari akomodasi universitasnya di Camden di Barat Daya Sydney. Ia ditemani oleh istrinya yang sedang hamil dan mengenakan jilbab. Seketika pria dan wanita muda di dalam mobil yang lewat meneriakkan kata-kata kasar dan rentetan komentar terkait dengan penampilan mereka.

 

Nabil mengatakan insiden itu membuat istrinya takut. Istrinya takut pergi ke luar, terutama sendirian. Peristiwa tersebut mendorong mereka pindah ke Barat Sydney, di mana terdapat komunitas Muslim yang lebih besar. "Saya tidak merasa aman di daerah yang lebih terpencil di mana tidak banyak orang Muslim di sekitarnya," katanya.

Tetapi menurut data yang dikumpulkan, daerah multikultural menunjukkan tidak banyak perbedaan dari daerah lain yang kurang beragam. Data menunjukkan 51 persen insiden terjadi di pinggiran kota yang lebih beragam. 

Daerah yang dijaga dengan kehadiran keamanan dan kamera pengintai tampaknya juga tidak menghalangi pelaku, dengan jumlah insiden yang dilaporkan di daerah tersebut meningkat menjadi 75 persen dibandingkan dengan 60 persen selama periode pelaporan sebelumnya. Itu termasuk toko (15 persen), transportasi umum (12 persen), pusat rekreasi dan taman (12 persen), serta sekolah dan universitas (11 persen).

Puncak gunung es

Penulis laporan tersebut, Derya Iner dari Pusat Studi Islam dan Peradaban Universitas Charles Sturt mengatakan kasus yang dianalisis hanyalah puncak gunung es. "Islamofobia, seperti kejahatan kebencian lainnya, secara konsisten tidak dilaporkan," kata laporan itu.

"Hambatan teknis untuk pelaporan termasuk akses terbatas ke alat pelaporan dan kurangnya kemahiran bahasa Inggris. Korban juga tidak melapor karena rasa malu yang terkait, persepsi bahwa insiden itu normal dan terlalu sering, dan pengalaman pelaporan kurang bermanfaat," tambahnya. 

Dia mengatakan kasus yang dilaporkan menunjukkan kebencian anti-Muslim melanggar hierarki sosial dan profesional. "Statistik pada 2018-2019 dari negara-negara Barat termasuk Australia sejalan dengan temuan laporan saat ini yang mengkonfirmasi Islamofobia adalah sebuah kontinum dan serangan tipe Christchurch adalah mata rantai terakhir dalam rantai kebencian anti-Muslim," tulisnya.

Dari 109 kasus online, termasuk kebencian verbal yang dibagikan melalui pesan pribadi, pernyataan politik, dan meme konten yang dibagikan di Facebook mencapai 86 persen. Insiden retorika kebencian online pasca-Christchurch yang berusaha mengasosiasikan Muslim dan Islam dengan terorisme berlipat ganda jika dibandingkan dengan insiden yang dilaporkan sebelum serangan. Laporan tersebut menyoroti mantan senator Fraser Anning, yang menyalahkan imigrasi Muslim segera setelah serangan Christchurch. 

 
Berita Terpopuler