Militer Myanmar Gelar Serangan Terburuk Sejak Perang Dunia II

Pertempuran saat ini mungkin yang terburuk di Myanmar sejak Perang Dunia II.

AP Photo
Seorang fotografer dengan rompi pelindung merekam aksi protes antimiliter yang dibubarkan dengan gas air mata di Yangon, Myanmar, 3 Maret 2021.
Rep: Lintar Satria Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Direktur lembaga kemanusiaan di Myanmar, Free Burma Rangers, David Eubank mengatakan skala serangan militer ke warga sipil baik dari darat maupun udara terbesar sejak Perang Dunia II. Eubank menghabiskan hampir tiga bulan di zona tempur negara Asia Tenggara itu.

Pada kantor berita Associated Press, Eubank mengatakan pesawat-pesawat jet dan helikopter militer kerap menyerang wilayah timur Myanmar. Di mana ia dan sukarelawannya membagikan obat-obatan dan makanan pada warga sipil yang terjebak dalam konflik.

Ia mengatakan pasukan di darat juga melepaskan tembakan artileri membabi buta. Serangan-serangan ini memaksa ribuan orang mengungsi dari rumah mereka.

Video yang direkam anggota Free Burma Rangers memperlihatkan pesawat-pesawat militer Myanmar melepaskan tembakan ke Negara Bagian Kayah atau Karenni. Serangan tersebut menewaskan sejumlah warga sipil. Pengamat dari Human Rights Watch mengatakan serangan udara itu merupakan "kejahatan perang."  

Militer Myanmar mengkudeta pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi tahun lalu. Kemudian menggelar menindak keras bagi masyarakat yang menolaknya. Ribuan rakyat sipil membentuk milisi bersenjata yang disebut Pasukan Pertahanan Rakyat untuk melawan kesewenangan militer.

Banyak yang bergabung dengan pasukan bersenjata masyarakat minoritas yang sudah lama berdiri di Karenni, Karen dan Kachin. Sudah lebih dari setengah abad mereka melawan pemerintah pusat untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar di wilayah masing-masing.

Walaupun jumlah pasukan dan senjata jauh lebih unggul tapi militer gagal mengalahkan gerakan perlawanan akar rumput. Kini tentara meningkatkan serangannya, mengambil keuntungan dari kondisi musim panas yang kering.

Eubank mengatakan pertempuran saat ini mungkin yang terburuk di Myanmar sejak Perang Dunia II. Ketika negara itu masih koloni Inggris yang bernama Burma dan banyak wilayahnya dikuasai Jepang.

Ia mengatakan beberapa tahun terakhir terdapat  banyak serangan serius tapi sporadis di Negara Bagian Kachin di utara Myanmar. "Tapi yang saya lihat di Karennin tidak pernah terjadi di Burma sebelumnya," kata Eubank seperti dikutip ABC News, Selasa (15/3).

"Serangan udara tidak satu atau dua hari seperti yang mereka lakukan di Negara Bagian Karen, tapi dua MiG datang bergantian, pasukan Yak ini, dikejar satu per satu,  helikopter tempur Hind (Mil Mi-24), pesawat-pesawat Rusia dan kemudian mereka membawa ratusan mortir 120 mm, kemudian bum, bum, bum," katanya.

Rusia pemasok senjata militer Myanmar, kini memasok lebih banyak senjata. Karena banyak negara yang masih mengembargo Myanmar setelah militer menggulingkan pemerintah terpilih.


Eubank mengenal senjata yang digunakan militer Myanmar. Pasalnya ia mantan anggota Pasukan Khusus Angkatan Darat dan perwira Amerika Serikat (AS). Sebelum ia dan sejumlah pemimpin masyarakat minoritas Myanmar mendirikan Free Burma Rangers yang berbasis agama tahun 1997.

Sejak bulan Februari sudah dua anggotanya tewas di Negara Bagian Kayah. Satu karena serangan udara dan yang lainnya karena ledakan mortir.

Video yang diambil kelompok tersebut menunjukkan dampak yang ditimbulkan serangan tentara di Karenin. Gedung-gedung terbakar, asap mengepul hitam di langit.
 
Pada 24 Februari lalu surat kabar yang dikelola pemerintah militer Myanma Alinn Daily mengakui serangan udara dan artileri berat. Koran itu melaporkan serangan tersebut untuk membersihkan apa yang mereka sebut " kelompok teroris" di dekat Loikaw.  

Angka korban jiwa terus bertambah dan masyarakat hidup dalam ketakutan dengan bersembunyi di tempat perlindungan yang terbuat dari bambu. Serangan udara pada 23 Februari malam menewaskan dua warga desa, melukai tiga lainnya dan menghancurkan beberapa gedung di Loikaw.

 
Berita Terpopuler