Sholat di Atas Sajadah Curian, Bagaimana Hukumnya?

Sejumlah kelompok ulama berbeda pendapat mengenai hukum sholat dengan sajadah curian.

YUSUF NUGROHO/ANTARA
Sholat di Atas Sajadah Curian, Bagaimana Hukumnya?
Rep: Muhyiddin Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sholat merupakan suatu kewajiban yang dihukumi fardhu ain bagi Muslim yang telah baligh. Setiap Muslim wajib melaksanakannya selama ia masih hidup.

Baca Juga

Namun, bagaimana hukumnya jika melaksanakan sholat di atas sajadah curian? Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Prof Nadirsyah Hosen menjelaskan ada dua kelompok yang berbeda pandangan.

Kelompok pertama menjawab antara sholat dengan mencuri sajadah adalah dua hal yang berbeda yang masing-masing harus dihukumi secara terpisah. Dia berdosa karena mencuri sajadah. Namun, selama syarat dan rukun sholat terpenuhi maka sholatnya sah.

Kelompok kedua berbeda pandangan. Menurut ulama di kelompok kedua ini, kata Prof Nadisryah, perbuatan mencuri sajadah dan sholat terkait satu sama lain.

Bukankah hikmah pensyariatan sholat itu untuk mencegah diri dari perbuatan yang keji dan munkar? Kalau dia sholat di atas sajadah hasil curian, maka sholatnya bertentangan dengan hikmah di atas. Oleh karena itu, meski syarat dan rukun sholat telah terpenuhi, sholatnya dianggap tidak sah.

 

Prof Nadirsyah menilai, jawaban kelompok pertama adalah jawaban ahli fikih yang formalistik yang melulu melihat aspek legal-formal. Fokus utamanya ada pada terpenuhi atau tidaknya aturan yang ada. Pertimbangan moral tidak menjadi bagian penting dalam memformulaiskan hukum.

“Sedangkan jawaban kelompok kedua adalah jawaban ahli fiqih yang memasukkan nilai etika dalam kajian fikih. Meskipun terpenuhi syarat dan rukun, tapi kalau bertabrakan dengan nilai etika, maka kelompok kedua akan menentangnya,” kata Prof Nadirsyah dikonfirmasi Republika.co.id, Selasa (8/2/2022).

Menurut dia, kasus sholat dengan sajadah curian di atas juga bisa dikembangkan dalam kasus lainnya. Misalnya, bagaimana hukumnya naik haji dengan uang korupsi, hukum bersedekah dengan harta rampokan, hukum menerima gaji atau uang proyek yang pekerjaan tersebut didapat melalui katabelece atau sogokan, serta kasus yang hampir serupa lainnya.

Prof Nadirsyah melanjutkan, pemahaman fikih yang legal-formal pada kelompok pertama dianggap konsisten pada kaidah dan illat hukum, namun sering diprotes sebagai pola kajian hukum yang kering dan kaku. 

Sementara itu, kelompok kedua yang memiliki pemahaman fikih yang melibatkan etika dianggap lebih bermoral dan sesuai dengan hikmatut tasyri’, namun sering diprotes sebagai kajian yang melebar dan mencampuradukkan dua kajian yang berbeda serta batasan moralnya menjadi kabur.

 

“Akibat pendekatan yang terlalu formalistik, maka seringkali kita temui orang yang rajin sholat tapi pembohong kelas berat, atau rajin pergi ke tanah suci tapi korupsi jalan terus, atau mereka yang berserban dan bergamis tapi sibuk mencari perempuan ke tempat tertentu, dan paradoks lainnya,” jelas dia.

“Jadi, terkesan Islam hanya berkisar soal akidah dan syari’ah, dan lupa sejatinya Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia,” kata dia.

Jika kelompok pertama dianggap sebagai legalis-formal dan kelompok kedua dianggap sebagai legalis-moral, maka di atas keduanya ada lagi kelompok ulama yang tidak hanya legalis, dan moralis tapi juga spiritualis. “Inilah ulama yang menggabungkan antara dunia fikih, etika dan spiritual,” ucap Prof Nadirsyah.

Tapi, kelompok ketiga ini jarang muncul. Kalaupun berhasil menemuinya dan bertanya, apa hukumnya sholat di atas sajadah curian?

Beliau akan lama terdiam, lalu menjawab pelan, “Begitu teganya njenengan menanyakan masalah berat seperti itu kepada saya, apa salahku kali ini ya Allah, bukankah telah ku teguhkan berulang-ulang, sungguh sholatku, ibadahku, mati dan hidupku hanya untuk-Mu? Sudah, ambil sajadahku ini, njenengan bawa pulang saja,” kata Gus Nadirsyah menggambarkan jawaban yang diberikan kelompok ketiga.

 
Berita Terpopuler