Indonesia Merdeka dengan Berutang pada Belanda?

Inilah tragedi utang pertama Indonesia kala ingin diakui kedaulatannya oleh Belanda

.
Rep: Muhammad Subarkah Red: Partner

Wapres Moh Hatta berpidato di acara penadatangan perjanjian Konfrensi Meja Bundar di Den Haag, pada penghujung tahun 1949. Di sampingnya tampak Ratu Belanda menyimak dengan seksama isi pidatonya.

Indonesia merdeka dengan mengutang Belanda? Pertanyaan ini memang kontroversial, Dalam buku sejarah resmi tak pernah dibahas. Padahal ini adalah kenyataan.

Kepastian soal Indonesia merdeka dengan cara mengutang Belanda, sebenarnya sudah lama terjadi. Bila melihat arsip berita pada tahun-tahun 1949-1950-an, soal ini dibahas sangat seru. Bahkan sampai menimbulkan kontroversi politik yang hebat.

Utang Indonesia ini didapat dari Belanda melalui perjanjian di Konfrensi Meja Bundar di Den Haag, pada akhir tahun 1949. Kala itu Belanda mensyaratkan akan mengakui kemerdekaan atau kedaulatan Indonesia bila seluruh biaya perang antara tahun 1945-1950 (saat perjanjian KMB Den Haag ditandatangani) dibayar atau digantii rugi oleh Indonesia.

Kala itu pemerintahj Indonesia yang bermarkas di Yogyakarta menngiyakannya. Karena klasusul perrjanjian itu disetujui pihak Indonesia, akhirnya perjanjian KMN Den Haag ditandatangani. Wakil Presiden Moh Hatta hadir dalam upacara pengakuan kedaulatan itu. Sementara di Indonesia, penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia di wakili menteri pertahanan dan sekaligus Sultan Jogjakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, di tempat yang kini disebut Istana Merdeka, Jakarta.

Soal utang ini ada kesaksian yang menarik dari politisi senior Ridwan Saidi. Pada suatu waktu dalam perbincangan di rumah Mr Moh Roem pada awal dekade 1960-an, dia pernah bertanya soal tersebut. Dia memulai pertanyaan kepada Mr Roem yang dalam perundingan di Den Haag itu menjadi angota delegasi. Menteri Roem juga sebagai menteri luar negeri kala itu.

Ridwan Sadi bertanya: Pak Roem mengapa proses perjanjian di Den Haag berlangsung lama sekali?

Menjawab pertanyaan itu MR Roem mengatakan perundingan berjalan lamban karena Belanda terus mendesak soal biaya ganti rugi selama melakukan perang di Indonesia selama lima tahun terakhir.

"Perundingan berjalan alot. Terutama ketika menyangkut rincian besaran ganti rugi. Dan itu yang membuat saya kesal. Saya bahkan sempat menyindir Belanda soal besaran ganti rugi tak hanya soal jembatan dan prarasana umum yang rusak, saya lagi juga menghitung biaya setiap satuan peluru tentara Belanda yang dulu membunuh rakyat Indonesia,''ucap Ridwan menirukan jawaban MR Roem.

Ridwan mengaku kala itu terpana dan baru tahu bahwa ada soal ganti rugi itu. Dan ketika melihat ke arah ekpresi wajah lawan bicara, yakni Mr Roem, dia terlihat tak cerah. 'Mr Roem kemudian hanya terdiam.'' Saya diam, sedih, dan bengong melihar Mr Roem kemudian terdiam."

Lalu berasapa berasarnya ganti rugi yang kemudian menjadi utang RI tersebut. Ada yang utang yang ditinggalkan Belanda atas nama Hindia Belanda yakni sebesar 4,3 miliar gulden atau setara 1,13 miliar dollar AS.

Bagi Indonesia sendiri kala itu terjadi perbendaan pendapat yang sengit antara kubu pro perundingan dan anti perundingan dengan Belanda. Tan Malaka dan Jendral Sudirman tak mau berunding dan perang total melawan Belanda. Tan Malaka bahkan menyebut: mana mungkin ada empu rumah yang mau berunding dengan pencuri rumah. Kalau terjadi konyol namanya.

Panglima Besar TNI Jendral Sudirman malah terus bersikeras bertempur sampai titik darah penghabisan. Bahkan, pada saat akan terjadi penandatangan perjanjian KMB, Sudirman tetap enggan pulang dari medan gerilya. Kala itu dia sudah yakin bila tentara nasional Indonesia akan segera bisa segera mengakhiri peperangan dan Indonesia bisa merdeka secara mutlak seperi halnya Vietnam yang mendapat kemerdekaan penuh karena penjajahnya, yakni Perancis, kalah dalam peperangan."Kami yakin akan segera mememangkan peperangan karena tentara Belanda sudah kalah atau jatuh mentalnya,'' ujar Sudirman.

Sudirman saat itu bahkan ngambek tak mau pulang ke ibu kota. Dia baru bersedia pulang setelah Presiden Soekarno mengirim anak buahnya yang jadi penanggungjawab keamanan ibukota Yogyakarta, Soeharto ke markas gerilyanya di Pacitan. Atas lobbi Suharto itulah Pak Dirman berhasil diyakinkan untul bersedia pulang ke Jogjakarta.

Akhirnya, akibat menanggung ongkos biaya perang Belanda selama melakukan operasi tempur antara tahun 1945-1949 itulah Indonesia pertama kali mempunyai utang. Sebagai konsekuensinya utang itu harus dibayar melalui Javasce Bank, yang kemudian menjadi Bank Indonesia itu. BNI '46 pun yang kala itu sudah dipersiapkan menjadi bank sentral, gagal total dan hanya menjadi bank negara biasa. Ini mengapa? Karena Belanda tak mau menerima ganti rugi dengan uang Indonesia (duit merah). Belanda hanya mau dibayar dengan mata uang internasional, yakni dolar AS. Utang ini baru dibayar lunas pada awal pemerintahan Orde Baru, yakni di awal 1970-an.

Pada sisi lain, Belada bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia pada perjanjian KMB juga kaena desakan internasional, terutama Amerika Serikat selaku negara pemenang dalam perang dunia II. Amerika kala itu mengancam tidak akan memberi bantuan uang kepada Belanda dengan skema perjanjian rehabilitasi Eropa melalui skema 'Marshal Plan'. Akibat ancaman itu Belanda jeri akhirnya mengalah mau berunding dan mengakui kemerdekaan Indonesia dengan syarat Indonesia harus membayar seluruh biaya perangnya itu.

Faktanya ini jelas menyatakan bahwa Indonesia tak bisa merdeka kalau hanya sendirian berjuang alias tanpa bantuam dari negara lain. Ini menjadi pelajaran bagi generasi bangsa berikutnya bahwa Indonesia tak bisa menyatakan diri secara mutlak anti asing atau tak butuh bantuan negara lain. Indonesia adalah bagian dunia yang diberi amanat dalam konstitusinya untuk ikut dalam menjaga perdamaian dan ketertiban dunia serta menghapuskan penjajahan bila masih ada.

Merdeka...!

 
Berita Terpopuler