Epidemiolog: Batasi Perjalanan Luar Negeri, Piknik Dilarang Saja

Kasus omicron mayoritas disumbang pelaku perjalanan luar negeri.

ANTARA/FAUZAN
Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Ahad (16/1/2022). Epidemiolog merekomendasikan agar pemerintah membatasi perjalanan ke luar negeri untuk mencegah bertambahnya kasus omicron.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, perjalanan luar negeri seharusnya dibatasi untuk mereka yang memiliki keperluan mendesak saja. Hal itu mengingat banyaknya pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) yang terkonfirmasi omicron, varian dari SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.

Baca Juga

"Harusnya dibatasi, jadi harusnya dipastikan dalam membuat visa itu ada keperluan yang mendesak," ujar Tri ketika dihubungi dari Jakarta pada Jumat (28/1/2022).

Menurut Tri, keberangkatan keluar negeri untuk keperluan piknik sebaiknya dilarang. Pembatasan itu diperlukan dengan pertimbangan bahwa data Satuan Tugas Penanganan COVID-19 per 23 Januari 2022 memperlihatkan 63 persen (1.019 orang) kasus omicron di Indonesia merupakan pelaku perjalanan luar negeri.

Sebanyak 369 orang merupakan kasus transmisi lokal (23 persen). Lalu, ada 238 orang belum diketahui riwayat penularannya.

Dengan adanya kasus omicron, Tri juga berpendapat perlu adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4 untuk daerah yang sudah terkonfirmasi memiliki varian tersebut. Hal itu dapat dilakukan untuk memperkecil jumlah penambahan kasus harian.

Tanpa perubahan level PPKM, menurut Tri, peningkatan kasus drastis menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari. Namun, dia menyakini sistem pelayanan kesehatan di Indonesia berpotensi tidak akan menghadapi peningkatan kasus Covid-19 dengan gejala berat seperti yang terjadi ketika puncak kasus varian delta pada 2021.

"Menurut saya, kasus berat tidak akan sebanyak delta dulu karena orang Indonesia sudah terinfeksi atau tervaksinasi. Jadi kalau proporsi (gejala) sedang sampai berat dulu 20 persen, sekarang tinggal lima sampai 10 persen," ujar akademisi di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu.

 
Berita Terpopuler