Delegasi Taliban Mulai Pembicaraan Resmi Pertama di Eropa

Pertemuan dengan pejabat Barat jadi langkah untuk melegitimasi pemerintah Afghanistan

Torstein Boe/NTB scanpix via AP
Delegasi Taliban Shafiullah Azam diwawancara usai pertemuan hari pertama di sebuah hotel di Oslo, Norwegia, Ahad (23/1/2022). Delegasi Taliban yang dipimpin oleh pejabat Menteri Luar Negeri Amir Khan Muttaqi memulai pembicaraan tiga hari di Oslo pada Ahad (23/1).
Rep: Dwina Agustin Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, OSLO -- Delegasi Taliban yang dipimpin oleh pejabat Menteri Luar Negeri Amir Khan Muttaqi memulai pembicaraan tiga hari di Oslo pada Ahad (23/1). Dia melakukan pertemuan bersama pejabat Barat dan perwakilan masyarakat sipil Afghanistan.

Baca Juga

Pertemuan tertutup itu berlangsung di sebuah hotel di pegunungan yang tertutup salju di atas ibukota Norwegia. Momen ini merupakan pertama kalinya perwakilan Taliban mengadakan pertemuan resmi di Eropa sejak kelompok itu mengambil alih pada Agustus.

Pembicaraan itu bukannya tanpa kontroversi, sebab menyalakan kembali perdebatan mengenai apakah mereka melegitimasi pemerintah Taliban, terutama sejak mereka ditahan di Norwegia, sebuah negara NATO yang terlibat di Afghanistan dari tahun 2001 sampai Taliban mengambil alih musim panas lalu.

Berbicara usai pertemuan hari pertama, delegasi Taliban Shafiullah Azam mengatakan pertemuan dengan pejabat Barat adalah langkah untuk melegitimasi pemerintah Afghanistan. "Jenis undangan dan komunikasi ini akan membantu komunitas Eropa, Amerika Serikat, atau banyak negara lain untuk menghapus gambaran yang salah tentang pemerintah Afghanistan," katanya.

Padahal, Menteri Luar Negeri Norwegia Anniken Huitfeldt sebelumnya telah menekankan bahwa pembicaraan itu bukan legitimasi atau pengakuan terhadap Taliban. Selain itu, 200 pengunjuk rasa berkumpul di lapangan es di depan Kementerian Luar Negeri Norwegia di Oslo untuk mengutuk pertemuan dengan Taliban, yang belum menerima pengakuan diplomatik dari pemerintah asing mana pun.

Mulai Senin, perwakilan Taliban akan bertemu dengan delegasi dari negara-negara Barat dan pasti akan mendesak tuntutan sekitar 10 miliar dolar AS yang dibekukan oleh Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya dibebaskan. "Kami meminta mereka untuk mencairkan aset Afghanistan dan tidak menghukum warga Afghanistan biasa karena wacana politik,” kata Shafiullah Azam.

"Karena kelaparan, karena musim dingin yang mematikan, saya pikir sudah waktunya bagi komunitas internasional untuk mendukung warga Afghanistan, bukan menghukum mereka karena perselisihan politik mereka," katanya.

 

Para pemimpin Taliban bertemu dengan beberapa aktivis hak-hak perempuan dan hak asasi manusia pada pertemuan tersebut, tetapi tidak ada pernyataan resmi tentang pembicaraan itu. "Taliban tidak berubah seperti yang dikatakan beberapa komunitas internasional," kata warga Afghanistan Norwegia yang tinggal di Norwegia selama sekitar dua dekade, Ahman Yasir.

"Mereka sama brutalnya dengan tahun 2001 dan sebelumnya," katanya.

Dihadapkan dengan permintaan dana Taliban, kekuatan Barat kemungkinan akan menempatkan hak-hak perempuan dan anak perempuan di Afghanistan dalam agendanya. Barat pun akan mengulang permintaan untuk pemerintahan Taliban berbagi kekuasaan dengan kelompok etnis dan agama minoritas Afghanistan.

Sejak berkuasa pada pertengahan Agustus, Taliban telah memberlakukan pembatasan luas, termasuk ditujukan pada perempuan. Perempuan telah dilarang dari banyak pekerjaan di luar bidang kesehatan dan pendidikan, dan akses ke pendidikan telah dibatasi di luar kelas enam. Taliban juga semakin menargetkan kelompok-kelompok hak asasi Afghanistan yang terkepung, serta wartawan, menahan dan terkadang memukuli kru televisi yang meliput demonstrasi.

Menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri AS, delegasi AS, yang dipimpin oleh Perwakilan Khusus untuk Afghanistan Tom West, berencana untuk membahas pembentukan sistem politik perwakilan, tanggapan terhadap krisis kemanusiaan dan ekonomi yang mendesak. Kemudian pembahasan masalah keamanan dan kontraterorisme, serta hak asasi manusia, terutama pendidikan untuk anak perempuan dan perempuan.

 

Negara Skandinavia yang menjadi rumah bagi Hadiah Nobel Perdamaian ini tidak asing dengan diplomasi. Norwegia telah terlibat dalam upaya perdamaian di sejumlah negara, termasuk Mozambik, Afghanistan, Venezuela, Kolombia, Filipina, Israel-Palestina, Suriah, Myanmar, Somalia, Sri Lanka, dan Sudan Selatan. 

 
Berita Terpopuler