Batas Maksimal Minimal Mahar dan Pesan Rasulullah SAW untuk Perempuan

Islam menekankan agar tidak bermahal-mahalan soal mahar

Republika/Agung Supriyanto
Mahar untuk menikah (ilustrasi). Islam menekankan agar tidak bermahal-mahalan soal mahar.
Rep: Imas Damayanti, A Syalabi     Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, – Mahar merupakan salah satu faktor penting dalam akad nikah. Mahar ini biasa juga disebut dengan shadaq atau maskawin dalam bahasa Indonesia.    

Baca Juga

Perihal kadar maskawin atau mahar, para ulama sepakat bahwa tidak ada batas maksimalnya. Namun para ulama saling berselisih pendapat mengenai batas minimal maskawin.

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid menjelaskan bahwa menurut Imam Syafii, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan ulama-ulama fikih Madinah dari kalangan tabiin menyebut bahwa tidak ada batas maksimal dalam maskawin.

Segala sesuatu yang ada nilainya bisa dijadikan maskawin. Pendapat ini juga dikemukakan Ibnu Wahab, salah seorang murid Imam Malik. 

Sebagian ulama mewajibkan ketentuan batas minimal maskawin, namun kemudian mereka berselisih dalam dua pendapat.

Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh Imam Malik berikut murid-muridnya. Kedua, pendapat yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah berikut murid-muridnya.

Kata Imam Malik, maskawin itu minimal seperempat dinar emas, yakni seberat tiga dirham perak atau barang yang senilai dengan harganya. Yaitu seberat tiga dirham perak menurut riwayat yang terkenal.

Menurut riwayat lain, yaitu barang yang senilai dengan salah satu ukuran minimal tadi. Kata Imam Abu Hanifah, maskwain itu minimal sepuluh dirham. Dan juga ada yang berpendapat 40 dirham.

Pangkal silang pendapat soal penentuan maskawin ini ada dua. Pertama, ketidakjelasan apakah fungsi akad nikah sebagai sarana tukar menukar berdasarkan kerelaan menerima ganti, baik sedikit atau banyak, sebagaimana yang berlaku dalam akad jual-beli, atau sebagai suatu ibadah yang sudah ada ketentuannya.

Sebab dari satu aspek, berkat adanya maskawin seorang lelaki dapat memiliki manfaat-manfaat pada seorang wanita untuk selamanya. Sehingga dengan begitu hal ini mirip dengan kompensasi. 

Dan dari aspek yang lain, adanya larangan mengadakan persetujuan untuk menafikan maskawin. Sehingga dengan begitu ini mirip dengan ibadah.

Kedua, adanya pertentangan antara qiyas yang menuntut adanya pembatasan maskawin dengan pengertian sebuah hadis yang tidak menuntut adanya pembatasan. Qiyas yang menuntut adanya pembatasan adalah seperti contoh bahwa pernikahan adalah ibadah, dan setiap ibadah itu sudah ada ketentuan-ketentuannya.

Baca juga: Mualaf Syavina, Ajakan Murtad Saat Berislam dan Ekonomi Jatuh  

 

Sementara hadis yang pengertiannya tidak menuntut adanya pembatasan maskawin adalah hadits Sahal bin Sa’ad As-Saidi yang telah disepakati kesahihannya. Berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ:

التمس ولو خاتما ً من حديد 

“Carilah walah hanya cincin besi.” Hal ini, menurut Ibnu Rusyd, menunjukkan bahwa tidak ada sama sekali minimal tentang maskawin.

Sebab kalau ada, tentu Rasulullah SAW telah menjelaskannya. Sebab tidak mungkin menunda penjelasan ketika sedang sangat dibutuhkan. Adapun tentang qiyas yang dijadikan pedoman oleh para ulama yang mengharuskan adanya pembatasan maskawin, tidak dapat diterima dilihat dari dua aspek. 

 

Pertama, sesungguhnya maskawin adalah ibadah. Kedua, ibadah itu memiliki ketentuan. Kedua hal inilah yang menjadi bahan perselisihan cukup tajam di antara para ulama.

Sebab di dalam syariat terdapat ibadah-ibadah yang tidak ditentukan. Bahkan yang diwajibkan hanya melakukannya minimal yang dapat memenuhi nama ibadah tersebut.

Sedangkan, maskawin itu tidak hanya memiliki kemiripan dengan ibadah-ibadah tertentu.

Alasan para ulama yang lebih mengunggulkan qiyas atas pengertian hadis tadi adalah karena adanya kemungkinan bahwa hadis tadi hanya khusus berlaku atas sahabat tersebut. Yakni berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ 

“Pergilah, sungguh aku telah menikahkan kamu padanya dengan maskawin surah Alquran yang kamu hafal.”  

 

Mahar jangan mahal 

Adakalanya, mahar menjadi faktor sulitnya seorang lelaki untuk melamar calon pengantin perempuan. Beragam permintaan dari pihak keluarga calon mempelai wanita atau si wanita itu sendiri kadang membuat calon lelaki mundur teratur dengan niat menjalankan salah satu sunah Nabi SAW.

Syekh Yusuf Qaradhawi pernah menjelaskan, Rasulullah ﷺ mengawinkan putri-putrinya dengan mahar yang paling mudah dan paling ringan:  

إِنَّ مِنْ يَمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيْرُ صَدَاقُهَا.

"Sesungguhnya nikah yang paling besar berkahnya ialah yang paling ringan maharnya." (HR Ahmad dari Aisyah). Demikian dengan yang dilakukan para sa lafus salih. Mereka tidak pernah mena nyakan kekayaan calon menantu dan tidak pula menanyakan apa yang akan diberikan kepada anaknya.

Baca juga: Mualaf Erik Riyanto, Kalimat Tahlil yang Getarkan Hati Sang Pemurtad

 

Mereka tidak pernah menanyakan hal tersebut karena anaknya bukan dagangan yang diperjualbelikan.Mereka adalah manusia. Si ayah atau wali hendaklah mencarikan manusia yang sepadan untuk anak dan putrinya, yaitu manusia mulia yang mulia agama, akhlak, dan tabiatnya. Sehubungan dengan ini, Nabi SAW bersabda.

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ

“Jika datang kepadamu seseorang yang kamu sukai agamanya dan akhlaknya (hendak meminang anak putrimu) maka kawinkanlah. Karena jika tidak kamu laksanakan, niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim).

Para ulama salaf pun mengatakan, "Jika engkau hendak mengawinkan putrimu maka kawinkanlah dengan orang yang beragama. Sebab, jika ia mencintai anakmu maka anak mu akan dimuliakannya. Dan jika ia membencinya maka ia tidak akan men- ganiayanya. Agamanya telah melarangnya berbuat begitu dan akhlaknya akan meng- hardiknya hingga dalam keadaan tidak suka sekalipun."   

 
Berita Terpopuler