Cak Nur, Pancasila, dan Persoalan Moral yang Sisakan PR 

Pemikiran Cak Nur tentang Pancasila dan Indonesia selalu relevan

Republika/Mardiah
Ilustrasi Pancasila. Pemikiran Cak Nur tentang Pancasila dan Indonesia selalu relevan
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Persoalan moral disebut sebagai penyebab masih ditemukannya berbagai persoalan yang ditemui di negara ini, yang salah satunya merupakan persoalan mendasar, yaitu keadilan sosial. Hal itulah yang dinilai menyebabkan Indonesia dengan Pancasila-nya tidak berjalan sesuai dengan cita-cita. 

Baca Juga

"Kalau kemudian kita masih menghadapi problem-problem, termasuk problem keadilan sosial ya yang cukup mendasar, menurut Cak Nur itu bukan problem Pancasila. Cak Nur menyebutnya sebagai problem moral," ungkap Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Suratno, dalam diskusi bertajuk "Cak Nur, Pancasila, dan Indonesia yang Adil, akhir pekan lalu, Jumat (14/1/2022). 

Lebih lanjut Suratno mengatakan, persoalan moral yang dia maksud tersebut merupakan persoalan yang dimiliki oleh penyelenggara negara maupun masyarakat.

Lebih lanjut, kata dia, Cak Nur menyebut penyelenggara negara yang mengalami persoalan tersebut sebagai pengkhianat bangsa karena mereka mendapatkan amanat yang lebih besar untuk mengawal perjalanan bangsa ini. 

 "Terutama untuk para penyelenggara negara karena mereka mendapatkan amanat yang lebih besar untuk mengawal perjalanan bangsa ini, mengimplementasikan Pancasila, Cak Nur bahkan menyebutnya sebagai pengkhianat bangsa, " kata dia. 

Suratno mengungkapkan, sosok bernama lengkap Nurcholish Madjid itu berulang kali menjelaskan, secara konseptual Pancasila sebagai platform bersama merupakan modal optimis bagi bangsa Indonesia. Dengan Pancasila, kata dia, bangsa ini sejatinya memiliki punya modal yang sangat kuat memegang satu optimisme dalam bernegara. 

"Etika kebangsaan masuk, etika kemodernan masuk, etika keagamaan juga masuk. Sehingga, kalau menurut Cak Nur, kalau dibandingkan dengan negara-negara lain Pancasila sebagai suatu ideologi dan filosofi berbangsa dan bernegara itu sangat cocok dengan aspek-aspek kultural dan politik yang ada di Indoensia," terang dia. 

Sementara itu Ketua Yayasan Karakter Pancasila, Zaim Uchrowi, mengungkapkan, Pancasila merupakan konsep yang besar dan suatu nilai yang luar biasa.

Dengan modal nilai yang besar, hebat, dan luar biasa itu, semestinya bangsa Indonesia bisa tumbuh menjadi bangsa yang maju sebagaimana bangsa maju lain yang memiliki nilai yang dianut masing-masing. 

"Itu sudah dibuktikan oleh beberapa negara lain, seperti Jepang sendiri punya Bushido. Kemudian kalau kita bicara Amerika Serikat ada American Dream. Nilai-nilai itu ternyata mampu mengantarkan bangsanya, masyarakatnya, menjadi masyarakat yang maju," kata Zaim.    

 

Melihat situasi saat ini, di mana Indonesia sudah merdeka lebih dari 75 tahun tapi belum sesuai dengan yang dicita-citakan para pendahulu bangsa, dia menilai itu berarti ada yang salah dalam memahami dan menerapkan Pancasila. Zaim menilai, kesalahan tersebut bisa terjadi di diri sendiri, sebagian besar masyarakat, maupun para pemimpin bangsa.  

"Terutama para pemimpin belum benar tentang Pancasila. Apalagi implementasinya. Jadi pancasila ini belum bisa mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang maju, bangsa yang adil makmur sentosa seperti yang diharapkan dalam cita-cita proklamasi," kata dia. 

Cak Nur, kata Zaim, mengingatkan Pancasila merupakan ideologi terbuka. Menurut Zaim, ketika berbicara soal ideologi terbuka, semestinya pemaknaan Pancasila tidaklah tunggal, melainkan dimiliki oleh setiap orang di seluruh negeri ini.

 Selama ada kecenderungan terjadinya pemaknaan tunggal, yang seolah Pancasila hanya milik negara atau pemerintah saja, maka akan timbul suatu resistensi di tengah masyarakat. 

Di situasi seprti itulah dunia akademik memegang peran penting. Dia menyatakan, dunia akademik bisa menjadi penyeimbang secara netral terhadap hegemoni pemaknaan Pancasila yang dilakukan oleh negara.

Suatu upaya yang dia sebut ternyata tak hanya terjadi pada era Soeharto, tapi pada saat pemerintahan berikutnya. "Dunia akademiklah yang bisa dengan dingin memandang pendekatan yang lebih baik karena punya basis pemikiran yang lebih utuh," kata dia. 

Di sisi lain, Dewan Pembina Yayasan Wakaf Paramadina, Jusuf Kalla (JK), menyebutkan, setelah merdeka bangsa ini banyak menghasilkan kemajuan. Tapi, dia mengingatkan, masih banyak pula hal-hal yang harus diperbaiki, ditingkatkan, dan diupayakan agar dapat menghasilkan dampak pada kemajuan dan keadilan bangsa ini. 

"Dalam Pancasila ada dua kata tentang keadilan, tentang adil. Sila kedua dan sila terakhir. Itu tentu memberikan kita suatu nuansa bahwa adil dan maju adalah suatu bagian dari bangsa ini," ungkap pria yang menjabat sebagai wakil presiden Republik Indonesia selama dua periode itu. 

JK menyampaikan, membina keadilan dan kemakmuran secara bersama-sama bukanlah hal yang mudah, tapi harus tetap dilakukan. Dia mengatakan, memahami keadilan itu berarti semua upaya yang dilakukan merupakan kepentingan semua masyarakat. Dalam prosesnya tidak ada langkah yang membeda-bedakan atau diskriminasi.

"Walaupun kita juga tahu dalam kenyataannya, kehidupan masyarakat kita ada yang kehidupannya baik, ada yang kurang baik, ada yang sangat kurang mampu. Semua hal ini tentu harus menjadi upaya kita semua untuk memperbaikinya," kata dia. 

JK menyampaikan, di samping menjamin terciptanya rasa keadilan di masyarakat, manajemen pemerintahan yang baik juga harus dilakukan. Menurut dia, kedua hal itu sama pentingnya dalam menjaga kondusivitas bangsa agar tidak timbul konflik yang disebabkan oleh tidak terjaganya rasa keadilan dan manajemen pemerintahan yang baik. 

 

"Upaya-upaya mencapai keadilan itu harus diikuti, dilaksanakan dengan manajemen pemerintahan yang baik. Hal yang tentu menjadi penolong utama kemajuan ini adalah bidang ekonomi sosial," kata JK. 

 
Berita Terpopuler