Dilema Pakistan di Antara Pengakuan dan Penolakan Ilmuwan Non-Muslim

Sejumlah ilmuwan non-Muslim di Pakistan tidak mendapatkan posisi

www.tiptoptens.com
Bendera Pakistan. Sejumlah ilmuwan non-Muslim di Pakistan tidak mendapatkan posisi
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD —P vez Hoodbhoy, seorang fisikawan dan penulis yang tinggal di Islamabad, menuliskan kerugian yang dialami Pakistan karena menolak mengakui kehadiran ilmuwan non-Muslim. 

Baca Juga

Sebuah artikel DAWN yang mengulas tentang Har Gobind Khorana (1922-2011) membawanya kembali ke 50 tahun yang lalu. Kala itu, bersama dengan 600 mahasiswa lainnya, ia memadati ruang kuliah terbesar MIT 26-100 untuk mendengarnya berbicara. 

Karena tidak mengerti dasar-dasar biologi molekuler, ia memutuskan hanya bertahan setengah jalan. Keingintahuan telah mendorong ia menuju ruangan itu, mengingat profesor MIT yang terkenal ini telah memenangkan Hadiah Nobel 1968 dan memulai bidang baru. 

Lebih menarik lagi, ia adalah seorang warga Lahore dengan gelar sarjana dan master dari Universitas Punjab. 

Lahore disebut tidak tahu, atau bahkan tidak peduli, terkait pria ini. Hal yang sama juga berlaku untuk Subrahmanyan Chandrasekhar (1910-1995), yang menjadi Pemenang Nobel sebagai pengakuan atas karya definitifnya tentang kematian bintang. 

Saat ini satelit NASA bernama Chandra menjelajahi langit untuk mencari bintang neutron, lubang hitam, dan objek astronomi tidak biasa lainnya. 

Adapun kisah Abdus Salam (1926-1996) terlalu terkenal untuk diulang di sini. Ia merupakan pemenang Nobel fisika 1979, yang belajar di Government College (GC) Lahore dan mengajar di Universitas Punjab. Namun, tidak ada jalan atau landmark di Lahore yang menyandang nama Salam, Khorana, atau Chandrasekhar. 

Dilansir di DAWN, Senin (17/1/2022), ada sebuah lembaga afiliasi GC bernama Sekolah Studi Matematika Abdus Salam. Namun, untuk menampilkan namanya di papan nama bisa berbahaya, terlebih di kota yang sering dicengkeram oleh semangat keagamaan. 

Di GC, ada dua ahli matematika dalam teori bilangan. Salah satunya adalah Sarvadaman Chowla, seorang ahli matematika ulung yang mengepalai Departemen Matematika dari tahun 1937 hingga 1947. 

Menjadi seorang Hindu, ia meninggalkan Lahore setelah kerusuhan dimulai dan pergi ke Universitas Princeton, kemudian Universitas Colorado di Boulder, dan akhirnya menjadi profesor di Universitas Pennsylvania.

Ia meninggal pada 1995 dan dirayakan sebagai ahli teori bilangan terkenal oleh American Mathematical Society dengan beberapa teorema penting atas namanya.

Baca juga: Mualaf Erik Riyanto, Kalimat Tahlil yang Getarkan Hati Sang Pemurtad

Menolak non-Muslim dengan jasa profesional yang tinggi, ujar Hoodbhoy, telah menimbulkan kerugian besar bagi Pakistan. Pertama, kondisi ini membuat negara kehilangan mereka yang bisa membantu dalam hal membangun basis ilmiah. 

Di sisi lain, sulit bagi negara untuk menciptakan meritokrasi institusional. Setelah Pemisahan, banyak orang pintar memainkan kartu agama atau etnis dan secara tidak layak naik ke posisi otoritas tinggi. Pada waktunya, mereka menjadi penjaga gerbang institusional dengan konsekuensi bencana. 

Kelemahan pendidikan sains di Pakistan terlalu nyata untuk dibela. Hoodbhoy mengatakan, tidak mengherankan jika kini anak muda yang terbaik dan tercerdas biasanya menyukai hal-hal yang ringan seperti kedokteran, hukum, dan bisnis. Tidak seperti di China atau India, hampir tidak ada pilihan untuk karier yang keras, menuntut, dan berorientasi ilmiah. 

"Jadi, bagaimana kita bisa meyakinkan anak-anak kita terhadap mereka? Kisah apa yang harus mereka ceritakan tentang sains dan ilmuwan? Yang terpenting, siapa yang harus menjadi panutan mereka?" tulisnya. 

Kondisi ini juga dinilai memunculkan masalah peradaban. Selama 300 tahun terakhir, mengikuti usia sains modern, tidak ada nama anak dari benua Muslim yang dikaitkan dengan pencapaian ilmiah tingkat pertama (kaliber Nobel) (setelah 1974 Salam harus dikecualikan). 

Terlepas dari upaya gagah berani Sir Syed Ahmad Khan (1817-1898), Muslim India menghindari sains dan bahasa Inggris. 

Karena seseorang tidak dapat menemukan pahlawan sains Muslim yang berasal tanah Pakistan, buku-buku untuk anak-anak tak pelak memuliakan orang-orang Arab dari Zaman Keemasan, seperti Al-Battani, Ibn-e-Shatir, Ibn-e-Haytham, dan lain-lain. 

Meski tokoh-tokoh ilmu pengetahuan Muslim ini adalah pemecah jalan sejati, penganut jalan tengah, mereka tidak berfungsi dengan baik sebagai panutan. 

Orang-orang dari abad lalu tidak dapat menginspirasi anak-anak hari ini. Alasan lain, kegembiraan diilhami oleh orang-orang 'dari jenis Anda sendiri', dimana orang Arab jelas berbeda dari orang-orang di sekitar wilayah itu. 

Ilmuwan Hindu kuno bisa saja menemukan beberapa tempat dalam buku-buku Pakistan. Namun, mereka dikecualikan dengan alasan ideologis karena ‘woh hum main say nahin hain’ (mereka bukan kita).

Baca juga: Gus Baha: Dulu Orang Berkorban untuk Negara, Kini Malah Meminta 

Sebaliknya, banyak orang Pakistan dengan cemas mencari akar leluhur di Arab, Afghanistan dan Asia Tengah. 

Ideologi dan sains seperti minyak dan air, dimana mereka menolak untuk bercampur. Sains hanya peduli tentang fakta dan logika, bukan suka dan tidak suka pribadi.  

Sejarah disebut penuh dengan contoh-contoh upaya yang gagal untuk memadukan sains dengan keyakinan yang dijunjung tinggi. Ketika Stalin berusaha memaksakan pandangan Marxisnya pada biologi Soviet melalui pialang pilihannya, Trofim Lysenko hampir menghancurkan pertanian dan kehutanan. 

"Nasib baik Soviet Rusia adalah ia memiliki komunitas ilmiah yang cukup kuat untuk melawan campur tangan Lysenko. Pakistan belum begitu beruntung," katanya. 

Meskipun ada Kementerian Sains, beberapa badan ilmiah, serta ratusan institusi yang mengaku mengajar atau melakukan penelitian dalam sains, tidak ada komunitas ilmuwan sejati. 

Badan-badan ilmiah yang terdengar tinggi, seperti Akademi Ilmu Pengetahuan Pakistan, disebut sebagai lelucon mengingat posisinya yang tidak dihormati secara internasional dan harus dibubarkan. 

Setiap jenis usaha intelektual, termasuk sains, membutuhkan lingkungan budaya dan sosial yang memungkinkan untuk berkembang. Sains bisa tercekik ketika para ilmuwan dinilai berdasarkan agama, ras, etnis, atau kriteria apa pun selain pencapaian ilmiah. 

"Sebelum Pakistan dapat menghasilkan ilmu yang sesuai dengan namanya, Pakistan harus mengatasi prasangka yang dianutnya. Ia harus belajar menghargai semua orang yang berbagi warisan bersama umat manusia," lanjut Hoodbhoy. 

 

 

 

Sumber: dawn  

 
Berita Terpopuler