Pupusnya Permohonan JC Robin Bisa Hambat Penuntasan Dugaan Keterlibatan Lili

Permohonan status justice collaborator Stepanus Robin ditolak hakim.

Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Stepanus Robin Pattuju bersiap menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (12/1). Majelis Hakim memvonis mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju dengan hukuman 11 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara juga dibebankan mengembalikan uang Rp 2,32 miliar ke negara atau pidana tambahan selama dua tahun penjara setelah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus dugaan penerimaan suap pengurusan perkara di KPK. Republika/Thoudy Badai
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Rizkyan Adiyudha

Baca Juga

 

Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Kamis (13/1/2022) telah menjatuhkan vonis bersalah terhadap eks penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju dengan hukuman 11 tahun penjara. Majelis yang diketahui Hakim Djuyamto juga menolak permohonan status justice collaborator (JC) Robin.

Pakar hukum dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengkritisi penolakan Majelis Hakim terhadap permintaan status JC dari Robin. Padahal, ia yakin, permintaan JC tersebut bisa menjadi pintu  mengusut tuntas mafia penanganan perkara di KPK. 

Feri memandang prinsip pemberantasan korupsi sampai tuntas seharusnya menjadi pertimbangan Majelis Hakim. Apalagi kasus yang menjerat Robin diduga melibatkan oknum lain di KPK. Sehingga salah satu cara yang dapat ditempuh dalam pengusutannya melalui pengabulan permintaan Robin menjadi JC. 

"Aneh juga kalau ditolak padahal dia berniat membongkar siapa saja yang terlibat. Bukankan tujuan JC untuk membongkar perkara hingga ke akar-akarnya? Siapa saja yang terlibat dapat terungkap dengan kasus itu," kata Feri kepada Republika, Kamis (13/1). 

Feri berharap penolakan permintaan Robin sebagai JC tak lantas menghentikan pengusutan terhadap Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar. Ia menyinggung perlunya niat kuat KPK guna memberantas korupsi di internalnya sendiri. 

"Jika ada niat tentu tetap bisa dilakukan," ujar Feri. 

Selain itu, Feri menekankan permintaan Robin sebagai JC sebenarnya memudahkan KPK mengusut tuntas dugaan praktek suap penanganan perkara di KPK. Sehingga ia heran lantaran permintaan Robin diacuhkan Majelis Hakim. Bahkan KPK tak mendalami kesaksian Robin soal keterlibatan Lili. 

"JC adalah proses mudah untuk membongkar siapa saja pelaku yang terlibat. Aneh jika KPK memilih berbeda," ucap Feri. 

Oleh karena itu, Feri menduga hal ini terjadi karena munculnya konflik kepentingan di internal KPK. Kondisi tersebut membuat penyidik KPK sulit menjalankan tugasnya. 

"Mungkin karena ada konflik kepentingan karena ada pimpinan KPK yang membuat penyidik KPK sulit mengambil kebijakan benar," tutur Feri. 

Dalam sidang vonis terhadap Robin, penasihat hukum Robin, Tito Hananta, menyatakan kliennya akan menyerahkan bukti-bukti guna memperkuat laporan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terhadap Lili Pintauli di Kejaksaan Agung (Kejakgung). Alasannya, KPK urung menindaklanjuti bukti tambahan dari Robin terkait dugaan keterlibatan Lili dengan Wali Kota Tanjungbalai M. Syahrial. 

Tito mengklaim bukti-bukti keterlibatan Lili merekomendasikan advokat Arief Aceh kepada Syahrial sebenarnya telah diserahkan kepada Majelis Hakim dan Jaksa KPK lewat pengajuan JC. 

"Kami mendukung upaya laporan yang diajukan mas Boyamin Saiman. Kami akan melengkapi data-data MAKI yang melaporkan masalah ibu Lili ke Kejaksaan Agung. Karena kami sudah laporkan kepada KPK tapi diabaikan," ucap Tito. 

Bulan lalu, MAKI memang melaporkan Lili atas dugaan melanggar Pasal 36 dan Pasal 65 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Kedua pasal tersebut menyangkut larangan pimpinan KPK berkomunikasi dengan pihak-pihak berperkara ataupun yang telah ditetapkan tersangka. 

 

 

Berbeda dengan Feri, pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana Bonaprapta, menduga ada niat terselubung eks penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju ketika mengajukan diri menjadi JC. Menurutnya, upaya ini ditempuh Robin demi memperoleh pengurangan hukuman atas perbuatannya. 

"Bisa jadi permintaan sebagai JC itu strategi Robin agar dapat pengurangan hukuman," kata Gandjar kepada Republika, Kamis (13/1). 

Gandjar menjelaskan keinginan Robin membongkar oknum lain yang terlibat kasus suap penanganan perkara di KPK sebenarnya bisa dilakukan tanpa harus mengajukan JC. Menurutnya, Robin bisa mengusut sejauh mana keterlibatan Lili Pintauli dalam persidangan. 

"Mengenai JC, wajar permohonannya tidak dipenuhi. Karena dia bisa ungkap peran Lili tanpa harus jadi JC. Kalau dia jadi JC, tuntutannya (juga hukumannya) akan lebih ringan lagi karena itu kompensasi JC menurut SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) no. 4/2011," ujar Gandjar.

Merujuk pada SEMA No.4 Tahun 2011 dalam butir 9 memberikan pedoman kepada hakim untuk menentukan apakah seorang pelaku masuk dalam kategori justice collaborator. Di antaranya pelaku mengakui kejahatannya, pelaku bukan pelaku utama, dan pelaku memberikan keterangan sebagai saksi. 

Namun, ada pula pedoman lain yang mensyaratkan adanya pernyataan jaksa dalam tuntutannya yang menyebutkan bahwa pelaku sudah memberikan keterangan dan bukti-bukti sangat signifikan, sehingga bisa mengungkap tindak pidana secara efektif, mengungkap pelaku lain yang lebih besar, dan/atau mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana.

Dewan Pengawas (Dewas) KPK pada 30 Agustus 2021 menyatakan Lili Pintauli terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku sehingga dijatuhi sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan atau sebesar Rp 1,848 juta. Lili dinilai terbukti menggunakan kewenangannya sebagai pimpinan KPK kepada Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial agar membayar uang jasa pengabdian mantan Plt Direktur PDAM Tirta Kualo Ruri Prihatini yang merupakan saudara Lili.

Merespons vonis Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap Robin, KPK mengapresiasi. KPK menilai majelis Hakim telah memutus perkara ini secara independen sesuai tugas dan kewenangannya.

KPK menilai, apa yang telah dipertimbangkan dan diputuskan majelis hakim sudah sesuai dengan dakwaan tim jaksa. Meski, vonis hakim lebih rendah dari tuntutan 12 tahun penjara jaksa KPK.

"Sedangkan perbedaannya hanya pada berat ringannya hukuman saja," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri di Jakarta, Rabu (12/1).

Ali mengatakan, selain itu majelis hakim juga memutus bagaimana peran-peran para pihak  sebagaimana yang dituangkan dalam permohonan JC terdakwa Stepanus. Dia melanjutkan, putusan itu juga sudah sesuai dengan fakta-fakta hukumnya.

"Setelah putusan ini, tim jaksa tentu akan melakukan analisis atas hasil putusan tersebut guna penyiapan langkah-langkah berikutnya," katanya. 

 

Gaji Lili Pintauli - (Infografis Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler