Fraksi di DPR, Kepanjangan Parpol, Ganggu Fungsi Keterwakilan, Haruskan Dihapus?

Fraksi yang mudah dikontrol elit penentu di partai politik justru menjadikan sebagai

DPR
Fraksi PDIP DPR RI melakukan acak ulang alias rotasi jabatan Ketua Komisi III DPR RI. Jabatan yang sebelumnya dipegang Herman Hery kini dialihkan ke Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua Komisi VII DPR RI. (Ilustrasi)
Rep: Febrianto Adi Saputro Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Keberadaan fraksi di DPR RI dipersoalkan. Pasalnya, keberadaan fraksi itu dinilai mengganggu fungsi keterwakilan oleh rakyat.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, fraksi cenderung justru hanya menjadi kepanjangan partai politik. "Perwakilan partai politik itu DNA-nya lebih menonjol ketimbang perwakilan dari rakyat. Artinya, dikangkangi agenda kepentingan partai politik, oligarki, kehendak kepentingan politik, partai politik ketimbang kehendak aspirasi konstituen atau rakyat," kata Pangi  dalam webinar bertajuk 'Reformasi Sistem Politik, Mengapa Fraksi di DPR Sebaiknya Dihapus', Rabu (12/1).

Pangi juga melihat keberadaan, fraksi yang mudah dikontrol oleh elit penentu di partai politik justru hanya menjadikan DPR sebagai tukang stempel. Presiden dinilai cukup meyakinkan ketua fraksi untuk memuluskan kebijakan yang dikehendakinya. 

"Tunjukan sama saya apa yang sebetulnya yang tidak diamini oleh DPR apa maunya presiden, setahu saya semua maunya presiden itu sudah diamini oleh DPR kita, artinya ada konsekuensi ada risiko yang nanti ada deliberatif keputusan yang tidak hati-hati tadi juga di-acc oleh DPR ternyata itu merugikan rakyat," ujarnya

Selain itu, dirinya juga kerap menemui ada anggota DPR yang mengaku tidak sepakat dengan sikap fraksi. Namun, kekhawatiran dipindahtugaskan ke komisi lain atau di-PAW jadi kekhawatiran para anggota DPR untuk bersikap kritis berbeda dengan sikap di fraksi. 

"Mereka sebetulnya secara hati nuraninya berseberangan, tapi mereka simpan gitu karena fraksi tadi. Itu yang menjadi fenomena yang tidak bisa nafikan," ungkapnya. 

"Jadi, terganggunya pelaksanaan fungsi perwakilan itu sebagai DNA perwakilan rakyat yang kemudian DNA-nya lebih besar DNA kepentingan perwakilan kehendak partai politik, jadi fungsi dia sebagai agregasi menyerap dan lain-lain tidak berjalan tidak efisien," jelasnya. 

Karena itu, menurut Pangi, solusi untuk menyelesaikan persoalan tersebut adalah dengan membubarkan fraksi di DPR. Keberadaan fraksi justru membuat anggota DPR tidak merdeka menyampaikan aspirasi konstituennya.

Reformasi politik

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengatakan, reformasi politik besar-besaran perlu didorong. Salah satu reformasi politik yang diusulkan Partai Gelora adalah dihapuskannya keberadaan fraksi di DPR. 

Alasan pertama terkait hal itu, kata dia, dirinya melihat agak mencemaskan bagaimana sebuah kekuatan di kamar kekuasaan legislatif itu tidak tampak fungsinya. Ini karena, ungkap dia, adanya stir oleh sekelompok orang di belakang yang kita juga tidak tahu dia siapa tetapi yang jelas hubungan antara eksekutif dengan legislator itu tidak sehat dan tentu itu akan menginvasi judikatif. 

"Karena itu lah kemudian reformasi politik harus dilaksanakan," kata Fahri dalam webinar bertajuk ' Reformasi Sistem Politik, Mengapa Fraksi di DPR Sebaiknya Dihapus', Rabu (12/1).

Mantan wakil ketua DPR itu mengatakan, usulan dihapuskan fraksi DPR merupakan jalan pintas untuk mengakhiri adanya kontrol yang  begitu kuat partai politik terhadap pejabat publik yang menjadi pilihan rakyat. Alih-alih disebut wakil rakyat, namun pada dasarnya mereka adalah wakil dari partai politik. 

"Artinya, sehari-hari mereka lebih nampak sebagai wakil partai politik. karena itu lah reformasi dilakukan," ujarnya. 

Fahri menjelaskan, kekeliruan tersebut berangkat dari kekeliruan paradigmatik memandang peran partai politk dalam fraksi. Dirinya mencontohkan, peran parpol di negara yang menganut sistem totaliter adalah sebagai negara itu sendiri. 

Dikatakan Fahri, partai adalah negara itu sendiri sehingga tidak ada jarak antara yang dipilih dengan yang memilih. Namun dalam sistem demokrasi itu,partai politik hanyalah perantara bagi pemilihan. Parpol lebih banyak adalah menjalankan fungsi rekrutmen. 

"Di dalam tradisi demokrasi kita, parpol adalah penyelenggara rekrutmen. Makanya setelah kita dipilih anggota DPR disebutnya wakil rakyat karena dia bekerja untuk rakyat, bukan wakil parpol," ujarnya. 

"Kalau dikembangkan terminologi petugas partai, tegak lurus dan sebagainya, ini yang repot ini. Karena ini berpotensi mendistorsi kehendak rakyat menjadi kehendak parpol. Ini yang mesti kita lawan ke depan," ucap dia lagi.

Dia menuturkan, ke depan keinginan masyarakat terhadap sistem distrik, tidak bisa ditolak. Sebab, orang tidak ingin ada jarak antara mereka dengan yang dipilih. Sementara ada parpol yang kecenderungannya sekarang proporsional tertutup. 

 

Mereka ingin agar siapapun yang dipilih adalah keputusan partai supaya mereka bisa mengintervensi kehendak partai pada individu yang terpilih. "Sekali lagi, jangan. Orang itu ketika sudah dipillih rakyat menjadi milik rakyat. tidak boleh menjadi milik partai politik. kita sebagai orang partai politik harus sadar itu," tegasnya.

 
Berita Terpopuler