Komisi Dakwah MUI Ingatkan Dai Jangan Ceramah Kontraproduktif

Para dai diminta agar berdakwah sesuai dengan pedoman dakwah Islam wasathiyah

Antara/Irwansyah Putra
Khatib atau penceramah memberikan tausiyah. (ilustrasi)
Rep: Fuji E Permana Red: Esthi Maharani

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ahmad Zubaidi, mengingatkan para dai agar berdakwah sesuai dengan pedoman dakwah Islam wasathiyah. Hal ini disampaikan untuk merespon terjadinya perusakan pesantren, diduga akibat seorang penceramah menghina kearifan lokal masyarakat setempat di Nusa Tenggara Barat (NTB)

Kiai Zubaidi mengatakan, sangat memprihatinkan kondisi perdakwahan saat ini, masih saja ada dai yang menyampaikan pesan dakwahnya dengan bahasa yang tidak santun dan tidak menghormati kearifan lokal. Sehingga menimbulkan masalah dan harus berurusan dengan aparat penegak hukum atau masyarakat.

"Komisi Dakwah MUI melakukan (program) standarisasi dai ini dalam rangka memberikan pembekalan kepada dai, terkait peningkatan konten keagamaannya, artinya kemampuan konten keagamaan dan juga wawasan kebangsaan serta dakwahnya, jadi diberi pemahaman bagaimana cara berdakwah yang baik supaya dakwah kita itu bisa diterima," kata Kiai Zubaidi kepada Republika, Selasa (4/1).

Ia mengatakan, dalam program standarisasi dai, para dai diarahkan untuk berdakwah dengan pedoman dakwah Islam wasathiyah. Pedoman ini sudah dikeluarkan oleh Komisi Dakwah MUI pada tahun 2017. Inti dari pedoman dakwah ini, para dai berdakwah dengan memperhatikan ahlussunnah wal jamaah, berdakwah dengan kalimat yang santun, sopan, dan etis.

"Tidak kalah pentingnya lagi para dai kita harus berdakwah dengan akhlakul karimah dan menghormati local wisdom atau apa yang menjadi nilai-nilai lokal yang dihormati," ujarnya.

Kiai Zubaidi juga menjelaskan bahwa dai harus pandai menyampaikan sesuatu, artinya kalau sesuatu itu dipandang bertentangan dengan Islam maka sampaikan dengan pelan-pelan. Kalau sesuatu itu masuk wilayah khilafiyah, maka harus saling menghormati.

"Kalau sesuatu itu dipandang sebagai sesuatu yang menyimpang, penyimpangan itu yang bisa menentukan adalah lembaga keagamaan seperti MUI, tidak boleh memutuskan (sendiri) sesuatu itu menyimpang atau kafir dan lain sebagainya," jelasnya.

Ia menegaskan, dai juga harus berdakwah dengan senantiasa memperhatikan konteks kebangsaan, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Taunggal Ika. MUI juga menyeru para dai agar dakwah sesuai dengan kemampuannya. MUI tidak melarang siapapun berdakwah, tapi tolong berdakwah dengan menyampaikan ilmu yang dikuasainya

"(Dai) jangan menyampaikan ceramah dan ilmu yang ternyata dia tidak menguasainya karena bisa menyesatkan umat," kata Kiai Zubaidi.


Komisi Dakwah MUI mengimbau dan mengajak para dai berdakwah dengan mengutamakan sopan santun, pahami kearifan lokal, dan peta dakwah. Kiai Zubaidi menerangkan, peta dakwah ini yang sedang dikerjakan Komisi Dakwah MUI.

Ia menegaskan, meskipun MUI belum memiliki peta dakwah yang menyeluruh, tapi paling tidak para dai harus mempelajari keadaan masyarakat di sekitar. Misalnya mempelajari kepercayaan masyarakat sekitar, termasuk alirannya dan tingkat ekonominya juga penting diketahui.

"Supaya dalam menyampaikan (dakwah) tepat, jangan menyampaikan ceramah yang kontennya bertentangan dengan kepercayaan atau pemahaman agama masyarakat setempat, nantinya akan kontraproduktif dan terjadi kekerasan, sehingga seperti kasus di NTB seharusnya tidak terjadi, kalau tidak dipicu penghinaan local wisdom," jelasnya.

Kiai Zubaidi juga mengimbau masyarakat agar jangan main hakim sendiri. Kalaupun ada dai yang dianggap telah melanggar etika dakwah dan kearifan lokal, pendekatannya tentu dengan pendekatan dialogis. Bisa juga dengan cara diserahkan ke aparat hukum kalau dipandang perbuatan itu melanggar hukum.

"Jangan main hakim sendiri, kalau main hakim sendiri yang main hakim sendiri juga melanggar hukum," tegasnya.

Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas sangat prihatin dengan kasus perusakan Pondok Pesantren As-Sunnah, Aikmel, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) oleh sekelompok orang tidak dikenal pada Ahad (2/1) sekitar pukul 02.10 WITA.

Kemenag menjelaskan, peristiwa perusakan pesantren diduga dipicu oleh viralnya ceramah ustaz dari Pesantren As-Sunnah yang mengatakan Makam Selaparang, Sukarbela, Alibatu Tain Basong (kotoran anjing).

 
Berita Terpopuler