CITA Perkirakan Penerimaan Pajak 2022 Lanjutkan Kinerja Baik

Capaian pajak pada tahun ini patut diapresiasi karena melebihi ekspektasi.

ANTARA/Syifa Yulinnas/foc.
Petugas melayani pemilik kendaraan untuk membayar pajak saat Program Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor di kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu (Samsat) Banda Aceh, Aceh, Rabu (1/12). Per 26 Desember, pemerintah berhasil mencapai target penerimaan pajak, yakni Rp 1.231,87 triliun atau 100,19 persen dari target Rp 1.229,6 triliun.
Rep: Novita Intan Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) memperkirakan penerimaan pajak tahun 2022 akan melanjutkan kinerja baik dari tahun 2021. Per 26 Desember, pemerintah berhasil mencapai target penerimaan pajak, yakni Rp 1.231,87 triliun atau 100,19 persen dari target Rp 1.229,6 triliun.

Baca Juga

Beberapa pertimbangan proyeksi tersebut yakni target penerimaan pajak 2022 yang moderat dari angka realisasi 2021, pertumbuhan ekonomi tahun 2022 yang akan lebih tinggi dibandingkan tahun ini, pengawasan yang semakin optimal, serta paket reformasi perpajakan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang berlaku pada 2022.

"Namun demikian, pemerintah perlu menyiapkan strategi dan perencanaan untuk menjamin paket kebijakan dalam UU HPP, seperti program pengungkapan sukarela (PPS) dapat berjalan dengan baik," ucap Pengamat Pajak CITA Fajry Akbar dalam keterangan resminya yang diterima di Jakarta, Rabu (29/12).

Selain itu, ia menilai pemerintah juga harus menjawab tantangan di tahun 2022 seperti peralihan proses bisnis dari brick and mortar (konvensional) ke digital pasca pandemi yang nyatanya bersifat permanen. Pemerintah juga masih tetap memberikan banyak insentif perpajakan pada tahun 2021, terutama melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Per 24 Desember, pemerintah telah memberikan insentif perpajakan untuk dunia usaha sebesar Rp 63,16 triliun atau 100,5 persen dari pagu. "Artinya, meski target penerimaan tercapai namun pemerintah juga tetap fokus memberikan sokongan pemulihan ekonomi melalui instrumen pajak, terutama terhadap sektor-sektor yang masih terdampak dari adanya pandemi COVID-19," ujar Fajry.

Kendati demikian, dirinya tetap mengakui pencapaian penerimaan pajak tahun ini merupakan sebuah prestasi yang patut diapresiasi, apalagi karena melebihi ekspektasi banyak pihak.

Di sisi lain, pemerintah diminta tidak terleda dengan capaian ini. Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai penerimaan pajak yang melebihi target tahun ini merupakan hal yang wajar. Hal ini disebabkan aktivitas ekonomi dibuka kembali dan adanya normalisasi permintaan ekspor dari mitra dagang utama. 

Director CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan realisasi penerimaan negara sebesar 93 persen pada akhir Oktober 2021 dan saat ini 100 persen lebih itu karena low base effect. “Jadi jangan terlalu optimis dulu melihat pencapaian APBN sampai 31 Oktober 2021, meskipun terjadi pertumbuhan penerimaan negara yang fantastis,” ujarnya ketika dihubungi, Selasa (28/12).

Jika dibandingkan Oktober 2019, realisasi penerimaan pajak masih lebih rendah saat ini. Pada Oktober 2019, realisasi penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.173 triliun dan sekarang ini sebesar Rp 1.159 triliun. 

“Artinya ekonomi belum bisa kembali seperti pra pandemi. Butuh waktu untuk full recover dan ini yang perlu diperhatikan pemerintah sehingga jangan lengah,” ucapnya.

 

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono meminta pemerintah bisa fokus meningkatkan kepatuhan sukarela bagi wajib pajak. Pemerintah perlu fokus untuk meningkatkan voluntary compliance (kepatuhan sukarela) wajib pajak serta pengawasan dengan pendekatan data matching yang berbasis compliance risk management (CRM),” ujarnya.

Prianto menjelaskan melalui CRM akan merujuk terhadap kecocokan data, sekaligus otoritas pajak tetap memberikan pelayanan (service) terbaik agar tercipta kepercayaan (trust) Wajib Pajak. Pada akhirnya, kepatuhan sukarela akan meningkat. 

“Untuk memastikan kebenaran pelaporan pajak dari wajib pajak, otoritas perlu mengoptimalkan sumber informasi dari berbagai pihak yang saat ini membanjiri DJP.  Sumber informasi tersebut dapat berasal dari ILAP (Instansi Pemerintah, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak lainnya),” ucapnya.

Ke depan lanjut Prianto DJP dapat meningkatkan tax ratio. Sebab saat ini permasalahan pencapaian target 100 persen terakhir terjadi pada 2008 saat ada program sunset policy. Setelah itu, tidak pernah terjadi lagi pencapaian target 100 persen. Bahkan, tax ratio terus menurun meski sudah ada program tax amnesty, program revaluasi aset tetap untuk tujuan pajak, program AEoI, program ekstensifikasi dan intensifikasi WP.

 

 
Berita Terpopuler