Sepenggal Kisah Seorang Imam Masjid di Jerman

Benjamin Idriz, imam masjid di Penzberg dekat Munich, Jerman.

frontpagemag.com
Muslim di Jerman
Rep: Umar Mukhtar Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, MUNICH -- Benjamin Idriz, imam masjid di Penzberg dekat Munich, Jerman, adalah salah satu perwakilan Islam paling terkemuka di Jerman. Dia memiliki peran sebagai jembatan ke masyarakat arus utama tanpa menyerahkan identitas Muslimnya sendiri.

Baca Juga

Dikutip dari wawancaranya dengan laman Qantara.de, ia berpendapat bahwa masjid harus menjadi tempat diskusi terbuka yang memungkinkan adanya pendapat kontroversial. Dia pun menyinggung soal protes masyarakat setempat terhadap suara adzan. Menurutnya, isu adzan ini mencuat sekitar setahun yang lalu, ketika masjid-masjid ditutup karena pandemi.

Lalu dia memiliki ide spontan untuk mengumandangkan adzan di hari Jumat sebagai sinyal kepada orang-orang Muslim percaya bahwa masjid masih aktif sehingga mereka tidak kehilangan harapan saat lockdown. Namun hal ini memicu protes kelompok Islamofobia dari Munich. Mereka datang ke Penzberg khusus untuk memprotes suara adzan.

"Saat itulah saya menyadari keinginan kami untuk mengumandangkan adzan telah memicu kontroversi. Setelah berbicara dengan walikota, saya menarik permintaan saya. Mungkin waktunya belum tepat. Saya agak sedih karena masyarakat Jerman belum siap menoleransi azan lima menit," tutur dia.

Empat Masjid Besar di Jerman - (About Islam)

"Saya ingin tinggal di negara di mana lonceng gereja dapat didengar di depan umum sebagai simbol agama, tetapi juga di mana azan tidak dilihat sebagai ancaman terhadap nilai-nilai yang kita pegang bersama, tetapi sebagai pengayaan. Ini juga akan memungkinkan kita untuk menjadi panutan bagi negara-negara Muslim di mana simbol-simbol Kristen tidak boleh terlihat di depan umum," tambahnya.

 

 

Idriz juga menyampaikan, komunitas Muslim Jerman telah berkembang mencakup banyak imigran baru. Namun citra umat Islam menjadi lebih beragam tidak hanya karena migran yang datang dari daerah krisis, tetapi juga karena pekerja migran dari negara-negara Balkan. Dalam prosesnya, citra komunitas Muslim juga berubah di Penzberg.

"Pada awalnya, saya biasanya berkhotbah dalam bahasa Turki dan Bosnia, karena sebagian besar jamaah berasal dari dua latar belakang budaya ini. Sekarang saya berkhotbah dalam beberapa bahasa, tetapi dalam beberapa tahun terakhir telah ditambahkan sesuatu yang lain, yaitu bahasa Jerman, yang menyatukan kita semua dengan latar belakang budaya yang berbeda. Meskipun berbeda pandangan dan mazhab hukum, kita dapat menemukan bahasa yang sama, yaitu bahasa Jerman, bahasa saling menghargai," kata dia.

Muslim Jerman - (The National News)

Bagi Idriz, penting tidak hanya membaca Alquran dalam bahasa Arab, tetapi juga membaca pesan universalnya, menafsirkannya, dan bertukar pikiran tentangnya dalam semua bahasa dunia. Para migran yang baru saja tiba datang dengan pertanyaan, keprihatinan, dan pengalaman yang berbeda dengan orang-orang Muslim yang pernah tinggal di Eropa.

 "Tugas saya adalah membangun jembatan antara Barat dan Timur, antara dogma agama dan akal, antara agama dan demokrasi dan pandangan dunia yang berbeda. Dalam melakukannya, tujuan saya adalah untuk menekankan nilai-nilai bersama, seperti menghormati kebebasan beragama, saling menghormati, keragaman dan toleransi, yang merupakan dasar dari Hukum Dasar Jerman dan Alquran," ungkapnya.

Dalam kondisi saat ini, umat Muslim di Jerman perlu memegang jalan tengah. Namun ia mengakui ini tidak mudah. Muslim di Jerman mengalami perkembangan yang dinamis melalui jejaring sosial, digitalisasi, globalisasi yang berkelanjutan, dan gelombang migrasi yang kuat. Semua ini memberi tantangan sehingga dibutuhkan jalan tengah.

"Kita perlu fokus pada nilai-nilai yang menyatukan kita dan membangun dunia ini bersama-sama, tanpa menjadi ekstrem dan menyegel diri di dunia paralel. Tujuan kami adalah untuk fokus pada nilai-nilai universal, bersama dan bekerja untuk kepentingan bersama semua orang di dunia ini. Beginilah saya memahami "wasat", komunitas yang moderat, yang menjembatani perbedaan dan tidak berkontribusi pada perpecahan dan masyarakat paralel," katanya.

 

 

Selain itu, terkait isu radikal, Idriz mengungkapkan, radikalisasi dimulai dengan pikiran dan perkataan, yang pada akhirnya bisa berakhir dengan perbuatan. Karena itu, belas kasih dan cinta sangat penting, di samping dua elemen lain yang sangat penting yaitu akal dan pengalaman positif. Keduanya, belum lagi nilai-nilai seperti belas kasih dan kasih sayang, merupakan elemen sentral dalam Islam.

 

"Radikalisasi tidak terjadi di jamaah, melainkan di media sosial. Sebagai imam, kita harus lebih aktif lagi menjangkau kaum muda. Saya sangat senang ketika saya melihat pemuda Muslim menyebarkan citra Islam yang penuh cinta dan hormat di media sosial. Citra Islam sebagai agama akal dan kasih sayang perlu diperkuat di media sosial," tutur dia.

 
Berita Terpopuler