Bawang Putih dan Cabai, Mampukah Indonesia Setop Impor?

Konsumsi bawang putih tiap tahun 500 ribu ton, tapi produksinya hanya 20 ribu. 

Republika/Putra M. Akbar
Petugas memperlihatkan cabai saat operasi pasar cabai merah dan bawang putih di Toko Tani Indonesia Center (TTIC), Pasar Minggu, Jakarta.
Rep: Rizky Suryarandika/Dessy Suciati Saputri/dadang Kurniaessy Suciati Saputri/Dadang Kurnia Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi Presiden Joko Widodo yang menelepon Mendag soal murahnya harga bawang putih karena impor saat panen berlangsung, menuai kritik. Pasalnya, keberpihakan Presiden Jokowi kepada sektor pertanian, belum serius.

Ketua DPP PKS bidang Tani dan Nelayan Riyono menyebut, keluhan Presiden Jokowi soal impor bawang putih bertentangan dengan fakta. Sebab dia menyebut, 95 persen kebutuhan bawang putih dipenuhi oleh impor dan 5 persen produksi dalam negeri. Kebutuhan konsumsi bawang putih tiap tahun hampir 500 ribu ton dan produksi dalam negeri hanya 20 ribu dengan luasan lahan 2.000 Ha. 

"Apa iya Presiden berani menyetop impor bawang putih? Tidak akan mungkin berani, karena bisa terjadi kekacauan produksi berbagai industri yang menggunakan bawang putih," kara Riyono dalam keterangan pers yang diterima Republika, Rabu (15/12).

Riyono juga mengamati nasib komoditas cabai lebih mengenaskan. Menurutnya, kendali pemerintah terhadap tata niaganya sangat lemah sehingga saat panen cabai harga jatuh dan tidak mampu berbuat apa-apa. Lalu bersamaan dengan itu, impor cabai masuk dengan jumlah besar. "Petani kembali rugi karena kebijakan impor," ujar Riyono.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi cabai nasional pada 2020 mencapai 2,77 juta ton. Angka ini mengalami peningkatan 7,11 persen dibandingkan dengan 2019. Selain itu, Indonesia tercatat mengekspor aneka cabai dengan nilai US$25,18 juta pada 2020 atau naik 69,86 persen dibandingkan dengan 2019. 

Riyono menyayangkan, kenaikan produksi cabai tidak mampu membendung impor cabai dengan alasan kebutuhan industri. Petani lantas kembali "menikmati" harga murah dan bahkan tidak dipanen karena ongkosnya lebih mahal dibanding hasil panen cabainya. 

"PKS meminta Presiden Jokowi untuk membenahi tata niaga cabai yang terus merugikan petani, buat aturan yang tegas untuk pengusaha menyerap cabai petani. Selama ini hanya seruan dan himbuan yang tidak memiliki konsekuensi hukum," ucap Riyono

Selain itu, Riyono menyebut anggaran pertanian sejak 2015-2021 terus menurun. 2015 merupakan tahun dengan anggaran pertanian tertinggi pada periode itu yaitu Rp 32,7 triliun. Kemudian pada 2016 turun jadi Rp 27,7 triliun, Rp 24,2 triliun (tahun 2017), Rp 23,9 triliun (tahun 2018) dan Rp 21,7 triliun (tahun 2019).

"Yang terbaru untuk 2020 ditetapkan sebesar Rp 21 triliun, 2021 hanya Rp 15,5 triliun. Kalau Presiden serius, harusnya anggaran pertanian terus meningkat minimal 5 persen dari APBN atau sekitar Rp 100 triliun," papar Riyono.

 

Bawang putih impor. - (Tim Infografis Republika.co.id)

 

Harga cabai naik 

Wakil Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Jawa Timur Nanang Triatmoko mengungkapkan, terjadinya peningkatan harga cabai rawit, menjelang natal dan tahun baru (Nataru). Di tingkat petani, harga cabai rawit mencapai Rp 50 ribu per kilogram. 

Berdasarkan data Sistem Informasi Ketersediaan dan Perkembangan Harga Bahan Pokok (Siskaperbapo) Jatim, harga rata-rata cabai rawit di wilayah setempat Rp 78.327 per kilogram.

Di Kota Surabaya, harga cabai rawit di Pasar Genteng sebesar Rp 60 ribu. Kemudian di Pasar Keputran mencapai Rp 100 ribu, di Pasar Pucang Anom Rp 90 ribu, di Pasar Tambahrejo Rp 78 ribu, dan di Pasar Wonokromo Rp 90 ribu.

"Meningkatnya harga ini disebabkan stok dan produksinya yang mulai berkurang akibat curah hujan yang cukup tinggi," kata Nanang.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jatim Hadi Sulistyo mengatakan, berdasarkan perkembangan tanaman tegakan pada kuartal ketiga 2021, potensi luas panen komoditas cabai rawit pada November seluas 1.441 hektare dan Desember seluas 8.764 hektare. Sesuai kondisi tersebut, potensi produksi komoditas cabai rawit di November mencapai 7.347 ton dan potensi produksi Desember sebesar 16.583 ton. 

"Potensi ketersediaan cabai rawit pada bulan November surplus sebesar 1.816 ton dan bulan Desember diprediksi surplus 11.052 ton," ujarnya.

Demikian halnya akumulatif dalam setahun capaian produksi cabai rawit sepanjang 2021 di Jawa Timur mencapai 474,192 ton atau surplus tahunannya mencapai 407.820 ton. Hadi menambahkan, daerah yang panenan cabai rawitnya cukup luas di akhir 2021 ini adalah Blitar, Malang, Jember, Lumajang, Sumenep, dan Probolinggo.  

"Untuk mempertahankan ketersediaan cabai ini, beberapa hal menjadi perhatian. Antara lain mengantisipasi adanya dampak La Nina berupa bencana hidrometeorologi banjir yang berpotensi mengancam sektor pertanian. Selain itu optimalisasi pewaspadaan terjadinya peningkatan serangan organisme penganggu tumbuhan, karena musim hujan memiliki kelembaban tinggi," ujarnya.

 

 

Lumbung pangan

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau lokasi lumbung pangan (food estate) di Desa Lamuk, Kecamatan Kalijajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Presiden pun menyempatkan untuk berdialog dengan sejumlah petani setempat.

Dalam dialog tersebut, para petani bersyukur atas keberadaan lumbung pangan yang memberikan banyak manfaat bagi petani. Mereka menyebut, lumbung pangan tersebut menciptakan kerja sama antara petani dan penyalur (offtaker) yang dapat menjamin kepastian harga cabai.

“Alhamdulillah sudah cukup bagus kalau untuk pemeliharaan, cuma di pascapanen kita kebingungan di harga. Dan sekarang dengan adanya food estate ini kami alhamdulillah sangat didukung, Pak, dibeli untuk harga sekarang di angka Rp15 ribu per kilonya,” ucap seorang petani kepada Presiden, dikutip dari siaran resmi Istana.

Petani tersebut juga mengatakan, keberadaan lumbung pangan meningkatkan hasil produksi panen cabai dan membuat harga pokok penjualan (HPP) dan harga jual cabai menjadi lebih seimbang.

"Kalau dulu per hektare kami hanya sekitar 6 sampai 7 ton, sekarang karena didampingi oleh program food estate ini bisa mencapai 8 ton per hektare-nya. Sementara penghitungannya kami dari biaya produksi sudah ringan, karena kegunaan kimia sudah dikurangi, kemudian tidak begitu besar artinya di angka yang cukup rendah untuk HPP-nya,” jelasnya.

Para petani pun menyampaikan terima kasih kepada para pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan lumbung pangan di wilayah tersebut karena mendukung produktivitas petani, utamanya petani cabai.

"Adanya program food estate ini, sangat berterima kasih karena kami kegiatan setiap harinya tanam dan menanam terus, dan cabai khususnya di Desa Lamuk, Kabupaten Wonosobo ini selalu continue, selalu ada,” ucapnya.

 

Saat peninjauan, Presiden dan Ibu Negara didampingi oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Bupati Wonosobo Afif Nurhidayat.

 
Berita Terpopuler