Cerita Petani Desa Jagoan: Hemat Listrik Sakpole

Ada 33 sumur bor di Boyolali yang menerima bantuan listrik sampai ke tengah sawah.

republika/Agus raharjo
Ketua Kelompok Tani Subur Desa Jagoan, Boyolali, Pardi menunjukkan sistem pengairan sawahnya yang sudah menggunakan listrik dari PLN, di Boyolali, Jawa Tengah, Senin (6/12).
Rep: Agus Raharjo Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, Celana Pardi masih basah dengan noda lumpur saat ditemui di Balai Desa Jagoan, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Senin (6/12). Ketua Paguyuban Kelompok Tani Subur Desa Jagoan ini belum selesai menyemprot hama di sawahnya saat menghampiri Republika.co.id.

Baca Juga

Pardi mengajak Republika.co.id melihat sistem irigasi yang diterapkan untuk mengairi sawah-sawah petani di desa yang letaknya sekitar 10 kilometer di sebelah timur laut Kota Boyolali ini. Pardi bersama 90-an anggota Paguyuban Kelompok Tani Subur mulai menggunakan sumur bor untuk mengairi sawah-sawah mereka. Era mesin diesel sudah ditinggalkan, digantikan pompa listrik yang berdiri di sekitar area sawah petani.

Disamping jauh lebih murah dibanding menggunakan diesel, sumur bor dengan pompa listrik lebih efisien dan aman. “Jauh Mas, lebih untung pasang listrik dibanding dulu pakai diesel,” tutur Pardi ditemui Republika.co.id, Senin (6/12). 

Pardi menunjukkan beberapa lokasi sawahnya. Ia mengelola 9.600 meter persegi sawah dengan lokasi berbeda-beda.

Hanya sawah seluas 3.000 meter persegi yang sampai saat ini masih diupayakan menggunakan sumur bor. Selebihnya, sawah yang sebagian merupakan warisan dari orang tuanya itu mendapatkan air dari sumur bor yang lokasinya berdekatan dengan tanah garapannya.

Dari seluruh anggota paguyuban Kelompok Tani Subur, sekitar 35 anggota sudah memasang meteran listrik untuk sumur bor atau sumur dalam. Sisanya, secara bergantian akan memanfaatkan sumur yang sudah ada dengan cara iuran tiap pemakaian. Uang iuran dikumpulkan untuk membayar tagihan pulsa listrik. 

Pardi mengaku, memasang instalasi listrik, apalagi menariknya sampai ke tengah persawahan tak murah. Ia menghitung, satu pembuatan sumur bor membutuhkan biaya sekitar Rp 22 juta. Mulai dari proyek pengeboran hingga pemasangan meteran listrik. Kedalaman sumur bor di area persawahan Desa Jagoan sendiri sekitar 70 hingga 100 meter. Tiap sumur menggunakan meteran listrik dengan daya 3.500 Volt Ampere (VA).

Sumur bor ditutup dengan gubuk kecil di area persawahan. Tiang kecil berdiri di bagian luar, dengan meteran listrik di sisi atas. Kabel ke meteran listrik itu ditarik dari tiang besar di bagian agak luar dari area sawah. Setidaknya ada 10 tiang listrik beton yang berjejer dari pemukiman warga hingga ke persawahan.

Pardi mengatakan, sebelum memasang meteran listrik, biaya mengairi air untuk satu petak sawahnya dalam satu jam seharga Rp 10 ribu. Biasanya, sawah akan penuh dengan air setelah tiga jam mesin dinyalakan. Biaya akan lebih membengkak saat awal penggarapan sawah, karena mesih diesel akan dinyalakan siang dan malam. Dalam satu malam, Pardi dan para petani bisa menghabiskan biaya Rp 200 ribu hanya untuk mengairi sawah mereka.

“Kalau sekarang satu jam nyalain listrik sawah sudah penuh. Biaya pulsa di meteran hanya 1.500 sampai 1.800,” ujar Pardi.

Bukan hanya itu, Kelompok Tani Subur juga sudah bisa tiga hingga empat kali tanam dalam setahun dengan perkiraan masa panen sekitar tiga bulan. “Dulu dua kali saja sudah maksimal, habis buat modal tanam aja, Mas,” tegas Pardi.

Kelompok Tani Subur menjadi salah satu paguyuban tani di Desa Jagoan yang menerima bantuan program Electrifying Agriculture dari PLN. Ada 33 sumur bor di Boyolali yang menerima bantuan jaringan listrik sampai ke tengah persawahan. Total daya untuk 33 sumur ini sebesar 126.400 Volt Ampere (VA).

Selain di Desa Jagoan, pemasangan jaringan listrik Electrifying Agriculture juga dilakukan di Desa Babadan dan Tempursari, masih di Kecamatan Sambi, Boyolali. Di Desa Jagoan sendiri, ada dua kelompok tani, yakni Kelompok Tani Subur, ada juga Kelompok Tani Dadimulyo. 

Ketua Kelompok Tani Subur Desa Jagoan, Boyolali, Pardi menunjukkan sistem pengairan sawahnya yang sudah menggunakan listrik dari PLN, di Boyolali, Jawa Tengah, Senin (6/12). - (republika/Agus raharjo)
 

Pengajuan bantuan

Kepala Desa Jagoan Yulianto mengaku, pemasangan meteran listrik yang mampu menjangkau sampai tengah persawahan menjadi jawaban keluhan petani soal kebutuhan air di musim tanam. Awalnya, petani memang merasa keberatan dengan mahalnya biaya pemasangan jaringan listrik agar bisa sampai ke tengah area sawah warga. Sebab, untuk memasang jaringan listrik di area sawah, harus menarik jaringan dari dalam kampung yang jaraknya bisa mencapai dua kilometer.

Sebelum ada jaringan listrik, petani di desanya memanfaatkan mesin diesel untuk mengairi sawah. “Tapi lama kelamaan saya kasihan sama petani, wes sepuh-sepuh, jawah to mas (sudah pada tua, apalagi saat hujan), musim hujan jalannya licin, jik nggowo (masih harus bawa) diesel, nek (kalau) kepleset itu saya kasihan,” tutur Yulianto kepada Republika.co.id.

Yulianto mengaku mengajukan usulan pemasangan jaringan listrik ke area sawah setelah mendapat informasi ada program bantuan Electrifying Agriculture dari PLN Boyolali. Minimal harus ada 10 calon pelanggan baru agar bisa diakomodasi pemasangan jaringan listriknya. 

Menurut Yulianto, sebelum pemasangan, ada sejumlah warga yang mengaku berat soal biaya. Namun, Yulianto berani menalangi biaya pemasangan meteran listrik untuk 10 sumur dalam atau bor di area persawahan Desa Jagoan seharga Rp 45 juta dari Dana Desa.

Kini, setelah percobaan pemasangan meteran listrik untuk sumur bor ini, banyak petani di Desa Jagoan yang berminat memasang untuk sumur mereka masing-masing. Menurut Yulianto, petani di desanya sudah melihat bukti lebih hemat dan efisiennya jika irigasi mereka menggunakan listrik dibanding diesel. 

“Lebih hemat listrik sakpole (sepenuhnya). Nek (kalau) listrik satu jam kalkulasinya cuma Rp 9.000-an. Kalau pakai bensin sudah sampai Rp 15 ribuan. Jadi sangat membantu meringankan beban petani. Apalagi di musim kemarau,” ujar Yulianto.

Pak Kades menegaskan, masih memiliki utang dua sumur untuk program tahun 2022. Setelah dua sumur bor dengan listrik terpasang tahun depan, ia mengaku 90 persen masalah irigasi di desanya sudah selesai. Yulianto menegaskan, pertanian menjadi fokus pengembangan desa karena wilayahnya memang memiliki potensi besar di sektor ini.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Boyolali Bambang Jiyanto mengaku, Pemkab Boyolali harus menyediakan sekitar 118.500 ton beras setiap tahunnya. Dengan sistem irigasi yang saat ini ada, Kota Susu ini mampu surplus minimal 44 ribu ton beras selama lima tahun terakhir. Ia menuturkan, masih banyak sentra produksi di wilayahnya yang jauh dari jaringan listrik. Padahal jika ada jaringan listrik, biaya operasional penggarapan sawah bisa ditekan yang membuat hasil petani lebih besar.

“Agar biaya produksi bisa ditekan, indeks pertanaman bisa ditingkatkan dan pendapatan petani membaik.” tutur Bambang dikutip dari laman resmi Pemkab Boyolali.

 

Sementara, Manajer PLN UP3 Klaten Elpis J Sinambela menegaskan, PLN berupaya ikut mendorong meningkatnya perekonomian masyarakat terutama petani, melalui program Electrifying Agriculture. Ia mengaku, biaya yang dikenakan kepada para petani di Desa Jagoan untuk daya 3500 VA sebesar Rp 3.411.000,00. Electrifying Agriculture menjadi salah satu sektor program Tanjung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) PLN. 

Berdasarkan data PLN per Oktober 2021, pelanggan Electrifying Agriculture sudah mencapai 152.895. Paling banyak adalah pelanggan yang bergerak di bidang pertanian sekitar 60 persen, peternakan 21 persen, perikanan sekitar 17 persen, dan dua persen di bidang perkebunan.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menuturkan, Electrifying Agriculture menjadi salah satu strategi mengatasi kelebihan pasokan listrik. Dua strategi lain, yakni memasifkan kendaraan listrik atau Electrifying Lifestyle dan menyasar captive market. Darmawan mengaku PLN ingin menggantikan alat operasional pertanian maupun petambak ikan yang sebelumnya diesel menjadi berbasis listrik.

"Petani dan petambak jadi lebih hemat dan peralatan jauh lebih tidak bising dan bisa meningkatkan produktivitas petani dan petambak," ujar Darmawan, dikutip dari laman resmi PLN, Senin (6/12).

Menteri BUMN Erick Thohir imenilai program Electrifying Agriculture cocok untuk menjaga ketahanan pangan, terutama di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini. Ia menilai pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas bisa membantu masyarakat Indonesia melewati krisis pangan yang diprediksi Food and Agriculture Organization (FAO). Paguyuban Kelompok Tani Subur dan Dadimulyo di Desa Jagoan, Boyolali menjadi salah satu contoh pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas ini.

 

"Penting sekali dalam situasi pandemi Covid-19 kita jangan terus tertekan atau bertahan, kita harus bangkit. Ekonomi komunitas adalah suatu kunci, karena itu saya senang sekali bagaimana komunitas yang ada di sekitar kelurahan bisa mulai mandiri," kata Erick dikutip dari laman PLN, Selasa (26/10). 

 
Berita Terpopuler