Dermawan Bantu Warga Bencana: Antara Esensi dan Eksistensi

Membantu masyarakat yang tertimpa musibah merupakan tugas suci

ANTARA/Umarul Faruq
Gunung Semeru mengeluarkan guguran lava pijar terlihat dari Desa Sumberwuluh, Lumajang, Jawa Timur, Kamis (9/12/2021). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi meminta warga di sekitar kawasan Gunung Semeru tetap waspada karena potensi erupsi Gunung Semeru masih bisa terjadi.
Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Teguh Imami, Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Univeritas Airlangga

Baca Juga

Pasca erupsi Gunung Semeru, masyarakat Indonesia berbondong-bondong menggalang dana dan menyalurkannya ke warga sekitaran bencana. Mulai pejabat, kelompok perusahaan, organisasi masyarakat, aktivis sosial, pegiat komunitas, mahasiswa, siswa, semua serempak turun membantu.

Tidak salah jika Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2021 memberikan nilai tertinggi kepada Indonesia dengan menjadikan negara paling dermawan nomor 1 di dunia. Pada laporan tersebut, lebih dari 8 orang dari 10 orang Indonesia menyumbangkan uangnya dan tingkat sukarelawan negara lebih banyak dari tiga kali rata-rata global.

Di sepanjang 2020, Indonesia mencatatkan total skor sebesar 69 atau naik dari skor sebelumnya sebesar 59 pada 2018, saat terakhir kali Indeks tahunan diterbitkan. Pada saat itu, Indonesia juga menempati peringkat pertama sebagai negara paling dermawan di dunia.

Seminggu terakhir, saat berhenti di lampu merah perempatan, atau saat berpapasan disekitaran jalan raya, kita akan dengan mudah menemui aktivitas penggalangan dana tersebut. Tidak berhenti di ruang nyata, di ruang maya pun demikian, campaign galang dana, dan ajakan berdonasi juga berseliweran mengisi timeline media sosial keseharian kita.

Namun, kegiatan membantu tersebut, apakah murni membantu sebagai rasa kemanusiaan? Atau adakah hal lain yang ingin ditunjukkan masyarakat saat membantu warga terdampak bencana?

 

 

 

Maksud Lain Membantu Warga

Beberapa status media sosial dan publikasi media daring dalam seminggu terakhir, saya sering melihat postingan saat masyarakat memberikan bantauan kepada warga terdampak bencana.

Dalam beberapa kali postingan foto, seringkali saya melihat sorotan tidak nyaman yang ditunjukkan warga yang akan diberi bantuan. Saat mereka diberi bantuan, namun diajak (atau dipaksa?) untuk berfoto bersama sebagai bukti bahwa donasi telah diberikan. 

Tidak ada yang salah dalam proses tersebut, namun, warga yang diajak foto bersama, seakan dipaksa untuk foto sesuai keinginan pemberi bantuan. Di media pun kemudian dieksploitasi sedemikian rupa, “dijual” penderitaannya untuk disampaikan kepada masyarakat secara luas, bahwa ada si miskin yang harus dibantu, dan sang penolong adalah malaikat yang hadir membantu.

Alih-alih ingin meringankan beban warga yang dibantu, nyatanya malah memberikan penderitaan bertambah bagi masyarakat yang dibantu. Masyarakat yang dibantu pun memiliki kesedihan dua kali: sedih karena mendapatkan bencana, sedih dirinya dijual penderitaannya.

Gerakan esensi yang bermula bertujuan dermawan, justru menimbulkan gerakan yang berpusat sekadar eksistensi. Memberikan bantuan, berfoto bersama, menjualnya ke media sosial. Menjadi hero atas musibah orang lain.

Dalam dunia jurnalisme kebencanaan, ada etika yang perlu diperhatikan agar peliputan yang ditulis bukan sekadar mengejar sisi dramatis dari bencana, namun lebih kepada memberikan eduksi kepada masyarakat, memberikan pengharapan hidup, dan menggali informasi tentang sebab jatuhnya banyak korban sehingga bisa jadi pelajaran untuk perbaikan di masa mendatang.

Saat ini, banyak masyarakat yang sudah memiliki smartphone untuk melaporkan kegiatan dermawannya kepada publik di media sosialnya masing-masing dengan tambahan tulisan yang diinginkannya. Sehingga sebagaimana layaknya mengabarkan jurnalisme kebencanaan, perlu diperhatikan agar masyarakat yang dibantu tidak sekadar menjadi objek karena musibah yang menimpanya.

 

 

Melaksanakan Tugas Suci

Seringkali saat kita melihat warga yang tertimpa bencana, atau dalam konteks yang lebih luas, kemiskinan misalnya, diukur dari persepsi orang luar atau orang yang benar-benar tidak mengalami musibah itu sendiri.

Pengukuran musibah atas dasar rasa tersebut menimbulkan peluang yang besar terhadap terjadinya bias data, fakta dan/atau informasi lapangan. musibah merupakan realitas yang sebenarnya hanya mereka yang mengalami musibah sendirilah yang tahu secara pasti, tentang apa sebenarnya musibah itu. 

Dalam perspektif fenomenologi, musibah adalah realitas yang dialami sendiri oleh suatu seseorang atau kelompok masyarakat, dan oleh karena itulah mereka sendirilah yang akan lebih tepat untuk mengetahui bagaimana rasanya kepedihan tersebut.

Menurut Schutz (Ritzer & Goodman 2004), seseorang (individu) mengkonstruksikan suatu makna (meaning) dengan cara melakukannya melalui pemusatkan perhatian pada cara orang memahami kesadaran orang lain, sementara mereka hidup dalam kesadarannya mereka sendiri.

Dalam konteks ini, termasuk bagaimana seseorang (individu) membentuk pengalaman dan melihat objek-objek tertentu, sementara seseorang (individu) tersebut hidup dalam lingkungannya sendiri.

Sebelum membantu dan berfoto bersama, alangkah lebih baik yang akan memberi bantuan tersebut bisa duduk bersama dengan warga yang terdampak bencana. Berdiskusi, saling cuhat, dan saling berbagi. Cerita-cerita yang hadir sendiri dalam benak warga tersebut adalah cerita riil yang dirasakannya saat itu. Susah, sedih, bimbang, air mata, akan hadir saat mereka menceritakan bagaimana latar belakar kejadian musibah yang sebenarnya.

Membantu masyarakat yang tertimpa musibah merupakan tugas suci untuk kerja-kerja sosial. Namun, jika hanya dimaksudkan untuk eksistensi diri, perlu dipikirkan kembali. Bahwa membantu meringankan masyarakat harus diilhami untuk aksi-aksi pengentasan kemiskinan jangka panjang. Bukan sesaat, apalagi hanya dimaksudkan untuk mengisi status yang kosong di media sosial.

 

 

 
Berita Terpopuler