Tawaran Menggiurkan tak Goyahkan Eskafi Tinggalkan Sheikh Jarrah

Warga Sheikh Jarrah Eskafi menolak tawaran menggiurkan

Middle East Eye
Warga Sheikh Jarrah diliputi ancaman pengusiran paksa oleh otoritas Israel. Ilustrasi
Rep: Puti Almas Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM — Seorang warga Palestina di Yerusalem bernama Abdell Fattah Eskafi tetap teguh dalam pendiriannya, dengan menolak sebuah tawaran menggiurkan untuk mengosongkan dan meninggalkan rumahnya di lingkungan Sheikh Jarrah, oleh pemukim Israel.  

Baca Juga

Menurut Eskafi, tawaran itu berupa pemberian uang tunai sebesar 5 juta dolar AS oleh pemukim Israel. Ia merupakan salah satu dari puluhan warga Palestina yang tinggal di Sheikh Jarrah, yang diduduki oleh Israel di Yerusalem Timur dan hingga saat ini terus menghadapi tekanan meninggalkan rumah mereka.  

Pada Januari, Pengadilan Israel memutuskan untuk mengusir tujuh keluarga Palestina dari rumah mereka di Sheikh Jarrah. Hal ini kemudian memicu bentrokan sengit antara warga Palestina dan Israel di wilayah Palestina pada Mei. 

Perselisihan tersebut bermula pada 1948, ketika ratusan ribu warga Palestina diusir secara paksa dari rumah dan tanah mereka. Ini menjadi sebuah tragedi yang oleh warga Palestina disebut sebagai Nakba, atau Bencana. 

Dilansir Anadolu Agency, keluarga Eskafi termasuk di antara 28 keluarga yang menetap di Sheikh Jarrah pada 1956 berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah Yordania, yang memerintah Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, sebelum pendudukannya pada 1967, serta Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina. 

Namun, asosiasi permukiman Israel mengklaim bahwa rumah-rumah tersebut dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi sebelum 1948, sebuah klaim yang ditolak keras oleh orang-orang Palestina. 

Pada Oktober, Mahkamah Agung Israel menawarkan warga Palestina untuk tetap tinggal di Sheikh Jarrah sebagai ‘penyewa’ di rumah mereka selama 15 tahun.

Menurut proposal yang diajukan kepada keluarga Palestina dan asosiasi permukiman, mereka akan diakui sebagai ‘penyewa yang dilindungi’ selama 15 tahun atau sampai kesepakatan lain tercapai. 

Selama periode itu, mereka yang tinggal di rumah-rumah yang terancam pengusiran akan membayar sewa kepada organisasi pemukim Nahalat Shimon, yang mengklaim kepemilikan tanah tempat rumah-rumah itu dibangun. 

Tidak mengherankan, keluarga Palestina menolak tawaran itu, dengan alasan ini akan menyiratkan mereka mengakui kepemilikan pemukim Israel atas rumah. 

Eskafi khawatir keluarganya akan mengungsi untuk kedua kalinya sejak Nakba. Ia mengatakan bahwa telah menjadi pengungsi bersama orang-orang terdekatnya sejak 1948. 

"Keluarga saya telah mengungsi sejak 1948. Kami dulu tinggal di Baqa'a di pinggiran Yerusalem Barat dan kami datang ke Yerusalem Timur," ujar Eskafi.  

Eskafi mengatakan rumahnya seluas 130 meter persegi (1.399 kaki persegi) adalah rumah bagi 14 orang, termasuk anak dan cucunya. Penggusuran di rumah mereka dimulai pada 2008 dan diulang pada 2009. 

Sejak itu, keluarga Eskafi dan keluarga Palestina lainnya terus-menerus ketakutan bahwa nasib serupa akan menimpa mereka. Menurutnya, masalah bermula pada 1972 ketika kelompok-kelompok Yahudi menuduh kepemilikan tanah dari 28 keluarga tersebut. 

Pada 1972, Komite Sephardic, sebuah asosiasi pemukim Israel, dan Komite Knesset Israel mengklaim bahwa mereka memiliki tanah dan rumah sejak 1885. Mereka mengatakan bahwa telah memperoleh dokumen kepemilikan dari pejabat Ottoman ketika memerintah Palestina. 

Namun Eskafi mengatakan pengacara keluarga Palestina menemukan dokumen itu palsu. Ia juga menyebut ada dokumen Turki yang mengingkari kepemilikan Yahudi atas tanah ini dan ada Koshan dokumen bukti kepemilikan atas nama Suleiman Darwish Hijazi, yang menunjukkan bahwa tanah ini milik keluarga Hijazi, mengatakan pengadilan Israel telah menolak dokumen yang diajukan oleh keluarga Palestina. 

"Kami menjalani kehidupan yang bahagia, tetapi pada saat kami kehilangan tiga bangunan pada 2008 dan 2009 dan pemukim menetap di dalamnya, masalah dan penderitaan dimulai, karena mereka menggunakan segala macam cara kotor termasuk  upaya untuk menggusur dan memukuli anak-anak dan remaja," jelas Eskafi. 

Eskafi mengatakan tawaran untuk rumahnya berlangsung sejak 1970-an dan akan terus berlanjut. Ia juga menyebut penawaran juga termasuk agar ia dan keluarga bersedia pindah ke daerah lain, dengan memberi sebidang tanah di wilayah kota atau dua apartemen di lokasi serupa, dengan harga empat hingga lima juta dolar AS. 

Tapi Eskafi mengatakan tetap menentang dan akan mempertahankan rumahnya dengan segala cara. Ia menyebut bahwa hal ini tidak dapat diterima.  

“Bagi mereka, uang bukan masalah, dan mereka menawarkan cek kosong sebagai ganti mengosongkan rumah. Kami tidak menginginkan uang. Kami di sini dan tidak akan keluar," kata Eskafi. 

Meski Eskafi mengaku khawatir dengan hal yang tidak diketahui, ia siap menghadapi tantangan untuk tetap tinggal sebagai keluarga di Sheikh Jarrah. Ia mengaku siap bersama keluarga terus mempertahankan rumah tinggal mereka. 

“Tidak ada yang akan mengabaikan Sheikh Jarrah. Kami akan mempertahankannya sampai nafas terakhir kami,” jelas Eskafi. 

 

 

Sumber: anadolu agency  

 
Berita Terpopuler