Pembahasan Kebanksentralan dalam FCBD

Tanpa kebijakan struktural maka akan menyulitkan pemulihan ekonomi.

Bank Indonesia
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional selaku Deputi Keuangan G20, Wempi Saputra dan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo dalam konferensi pers penutupan Finance and Central Bank Deputies Meeting di Nusa Dua, Badung, Bali, Jumat (9/12).
Rep: Lida Puspaningtyas Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Finance and Central Bank Deputies Meetings (FCBD) yang merupakan kick off Presidensi G20 Indonesia jalur keuangan berakhir pada hari ini, Jumat (10/12). Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo mengatakan pertemuan ini telah mengumpulkan berbagai masukan dan rekomendasi topik prioritas yang akan dicapai pada Presidensi G20 Indonesia.

Baca Juga

"Hari ini kita terima masukan seluruh anggota G20 dan lembaga internasional terkait isu-isu prioritas, kita kumpulkan dan akan kita dibawa dalam pertemuan jalur keuangan level menteri dan gubernur bank sentral yang akan dimulai bulan Februari," katanya dalam konferensi pers FCBD, Jumat (9/12) di Nusa Dua, Badung, Bali.

Secara substansi, ada enam topik prioritas yang akan dibahas. Tiga diantaranya terkait dengan isu kebanksentralan. Dody menjelaskan, pertama terkait dengan perkembangan ekonomi global, strategi keluar dari krisis, dan dampak luka memar akibat pandemi.

Dalam pertemuan dua hari terakhir, setiap negara menyampaikan ulasan outlook ekonomi masing-masing dan secara global. Secara umum, Dody menyampaikan semuanya berada pada jalur pemulihan namun dengan kecepatan yang lambat.

Pemulihan terus berlangsung tapi ada beberapa risiko yang harus dihadapi. Seperti risiko kesehatan, inflasi, sisi pasokan, rendahnya level produksi, termasuk isu perubahan iklim. Isu-isu tersebut menjadi risiko pada outlook perekonomian 2021-2022.

"Ada penekanan bahwa normalisasi kebijakan dalam exit strategy harus dilakukan secara mulus, bertahap, menghindari normalisasi prematur," katanya.

Hal ini karena pemulihan suatu negara dipengaruhi banyak faktor termasuk kondisi global. Lebih cepat normalisasi satu negara akan berdampak pada perlambatan pemulihan negara lain. Ini juga bisa berdampak pada instabilitas sistem keuangan jangka panjang.

Dody menekankan, setiap normalisasi harus terukur dan terkomunikasikan dengan sangat baik karena terkait persepsi pasar. Selain itu, dampak luka memar dari pandemi juga perlu dibahas demi melahirkan kebijakan struktural pendukung.

"Tanpa kebijakan struktural maka akan menyulitkan pemulihan ekonomi," katanya.

Manufaktur sangat perlu bantuan struktural di tengah permintaan yang tinggi seiring pemulihan ekonomi. Tidak hanya dari sisi korporasi, masalah utama juga terkait dengan tenaga kerjanya. Kebutuhan keahlian baru akan semakin meningkat di kondisi kenormalan baru.

"Seperti keahlian dalam bidang informasi teknologi karena digitaliasi akan jadi poin penting untuk mengatasi dampak luka memar," katanya.

 

 

Sesi dua terkait arsitektur finansial internasional yang mempengaruhi tatanan struktur sistem keuangan dunia. Dody mengatakan, ini menjadi isu yang terus dibahas di setiap presidensi G20 karena sangat perlu penguatan.

Pada presidensi Indonesia kali ini, salah satu yang diangkat adalah cara memperkuat sisi keuangan dan tata kelola di International Monetary Fund (IMF). Ini karena IMF adalah pusat dari dari jaring pengaman keuangan internasional.

Maka penting bagi IMF untuk diperkuat permodalannya. Termasuk dari sisi tata kelola dan mekanisme voting masing-masing negara anggota. Selama ini negara maju punya hak voting lebih besar.

Upaya untuk lebih menyeimbangkan nilai voting dengan negara-negara emerging market ini biasanya sangat sulit mencapai titik temu. Misal dalam kondisi pandemi ini, negara maju memiliki alokasi Special Drawing Rights (SDR) yang lebih besar padahal negara berkembang jauh lebih membutuhkan.

SDR ini jadi salah satu sumber bantuan bagi negara miskin. Ada banyak rekomendasi juga agar negara maju menyumbangkan atau mengalokasikan SDRnya untuk negara miskin. Penerapan hal ini cukup kompleks karena penggunaannya harus melalui persetujuan parlemen.

"Indonesia juga termasuk diminta untuk menyerahkan sejumlah SDR kita ke negara yang lebih membutuhkan, tapi itu tentu setelah kita melihat kebutuhan kita sendiri," katanya.

Selain itu, mata uang digital bank sentral atau Central Bank Digital Currency (CBDC) juga masuk dalam topik prioritas. Tidak ada target tertentu dalam implementasi, namun diharapkan pembahasan CBDC bisa membuka tabir manfaat serta risiko di masa depan.

Sesi ketiga terkait dengan regulasi dan inklusi sektor finansial. Stabilitas sistem keuangan perlu tetap terjaga dan cara untuk keluar dari kebijakan-kebijakan extraordinary harus dilakukan pada waktu yang tepat.

Sementara inklusi keuangan sangat terkait dengan digitalisasi. Negara-negara G20 sepakat untuk lebih memperhatikan risiko digitalisasi yang terjadi saat ini. Pembahasan terkait diantaranya cyber security dan risiko dari kripto.

 

Dody mengatakan, banyak negara sepakat untuk tidak mengakui kripto sebagai mata uang. Penerapan dalam bentuk aset sebagai investasi juga sangat perlu memperhatikan aspek-aspek fundamental yang bisa berdampak secara sistemik.

 
Berita Terpopuler