Pengungsi Rohingya Tuntut Facebook Rp 2,1 Kuadriliun

Facebook gagal mengawasi ujaran kebencian hingga terjadi kekerasan pada Rohingya.

AP/Mahmud Hossain Opu
Pengungsi Rohingya Tuntut Facebook Rp 2,1 Kuadriliun. Pengungsi Rohingya menunggu di kapal angkatan laut untuk diangkut ke pulau terpencil di Teluk Benggala, di Chittagong, Bangladesh, Selasa, 29 Desember 2020.
Rep: Santi Sopia/Idealisa Masyafrina Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, KALIFORNIA -- Pengungsi Rohingya dari Myanmar menggugat Meta Platforms Inc atau sebelumnya dikenal sebagai Facebook sebesar 150 miliar dolar AS (Rp 2,1 kuardriliun). Gugatan dilayangkan atas tuduhan raksasa media sosial itu lalai dalam mengawasi konten ujaran kebencian tentang kaum Rohingya.

Baca Juga

Perusahaan itu dituduh membiarkan penyebaran misinformasi yang penuh kebencian dan berbahaya untuk berlanjut selama bertahun-tahun. Di Inggris, sebuah firma hukum Inggris yang mewakili beberapa pengungsi telah menulis surat ke Facebook.

Isinya antara lain:

 

  • Algoritma Facebook memperkuat pidato kebencian terhadap orang-orang Rohingya.
  • Perusahaan "gagal berinvestasi" pada moderator dan pemeriksa fakta yang tahu tentang situasi politik di Myanmar.
  • Perusahaan gagal menghapus postingan atau menghapus akun yang menghasut kekerasan terhadap Rohingya.
  • perusahaan gagal untuk mengambil tindakan yang tepat dan tepat waktu, meskipun ada peringatan dari badan amal dan media.

Ujaran kebencian ini telah berkontribusi terhadap kekerasan. Gugatan yang diajukan di Kalifornia oleh firma hukum Edelson PC dan Fields PLLC, itu berpendapat perusahaan gagal mengawasi konten dan desain platform telah berkontribusi pada kekerasan dunia nyata yang dialami komunitas Rohingya. Dalam tindakan terkoordinasi, pengacara Inggris juga menyerahkan surat pemberitahuan ke kantor Facebook London.

Facebook tidak segera menanggapi permintaan Reuters untuk berkomentar tentang gugatan tersebut. Perusahaan besutan Mark Zuckerberg itu pernah mengatakan terlalu lambat untuk mencegah kesalahan informasi dan kebencian di Myanmar.

 

Facebook mengakui telah mengambil langkah-langkah untuk menindak penyalahgunaan platform untuk konten tersebut, termasuk melarang militer dari Facebook dan Instagram setelah kudeta 1 Februari. Facebook menyatakan mereka dilindungi dari kewajiban atas konten yang diposting pengguna oleh undang-undang internet AS yang dikenal sebagai Bagian 230. Aturan ini menyatakan platform daring ini tidak bertanggung jawab atas konten yang diposting pihak ketiga. 

Facebook berusaha menerapkan hukum Burma pada klaim tersebut jika Bagian 230 diajukan sebagai pembelaan. Pengadilan AS dapat menerapkan hukum asing untuk kasus-kasus di mana dugaan kerugian dan aktivitas oleh perusahaan terjadi di negara lain.

Namun, menurut Anupam Chander, seorang profesor di Pusat Hukum Georgetown University, menerapkan hukum Burma sebenarnya tidak pantas. Dia memperkirakan bahwa itu tidak mungkin berhasil.

"Akan aneh bagi Kongres untuk mengambil tindakan di bawah hukum AS tetapi mengizinkan mereka melanjutkan di bawah hukum asing,” kata dia, dikutip dari Al Arabiya, Selasa (7/12).

Lebih dari 730 ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari negara bagian Rakhine Myanmar pada Agustus 2017 setelah tindakan keras militer yang menurut para pengungsi termasuk pembunuhan massal dan pemerkosaan. Terdapat dokumentasi terkait pembunuhan warga sipil dan pembakaran desa.

Anak-anak pengungsi Rohingya bermain di genangan air di kamp pengungsi Rohingya di Kutupalong, Bangladesh [ - (Al Jazeera)

 

Pihak berwenang Myanmar mengatakan telah memerangi pemberontakan dan menyangkal melakukan kekejaman sistematis. Pada 2018, penyelidik hak asasi manusia PBB mengatakan penggunaan Facebook telah memainkan peran kunci dalam menyebarkan ujaran kebencian yang memicu kekerasan. Penyelidikan Reuters tahun itu, yang dikutip dalam pengaduan AS, menemukan lebih dari 1.000 contoh postingan, komentar, dan gambar yang menyerang Rohingya maupun Muslim lainnya di Facebook.

Pengadilan Kriminal Internasional telah membuka kasus atas tuduhan kejahatan di wilayah tersebut. Pada September, seorang hakim federal AS memerintahkan Facebook untuk merilis catatan yang terkait dengan kekerasan anti-Rohingya di Myanmar. Lalu muncul gugatan class action baru ini dengan merujuk klaim pelapor Facebook Frances Haugen, yang membocorkan cache dokumen internal tahun ini. Facebook disebut tidak mengawasi konten yang kasar pada negara-negara di mana ujaran kebencian kemungkinan akan menyebabkan kerugian paling besar.

Keluhan tersebut juga mengutip laporan media baru-baru ini. Hal itu termasuk laporan Reuters bulan lalu, bahwa militer Myanmar menggunakan akun media sosial palsu untuk terlibat dalam apa yang secara luas disebut sebagai “pertempuran informasi.”

Diperkirakan 10 ribu Muslim Rohingya tewas selama penumpasan militer di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha pada 2017. Facebook, sekarang bernama Meta, tidak segera menanggapi tuduhan tersebut, dilansir di BBC, Selasa (7/12).

https://english.alarabiya.net/News/world/2021/12/07/Rohingyas-sue-Facebook-for-150-bln-over-hate-speech-leading-to-Myanmar-violence

 
Berita Terpopuler