Bahaya Kesehatan yang Mengintai Korban Erupsi Semeru

Awan panas dan debu vulkanik berpotensi memicu gangguan kesehatan.

Antara/Seno
Sejumlah korban luka bakar letusan Gunung Semeru dirawat di RSUD Pasirian, Lumajang, Jawa Timur, Ahad (5/12/2021). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data per 5 Desember 2021 terdapat 13 korban meninggal dunia dan 98 orang terluka dalam bencana letusan Gunung Semeru.
Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Awan panas dan debu vulkanik dalam jumlah yang tinggi berpotensi memicu gangguan kesehatan masyarakat yang lebih luas bila tidak segera dilakukan langkah antisipasi. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Tjandra Yoga Aditama mengemukakan, awan panas merupakan dampak pertama dari letusan gunung berapi yang dapat langsung menerpa tubuh, termasuk lahar panas atau dingin.

Baca Juga

Pada saat yang bersamaan, juga terdapat debu vulkanik dan gas yang bisa mengakibatkan iritasi pada kulit, mata dan saluran pernapasan manusia. Otoritas kesehatan setempat mendiagnosa korban menderita luka bakar ringan hingga di atas 50 persen. Korban umumnya penduduk sekitar yang terlambat menyelamatkan diri hingga terjebak guguran awan panas serta abu vulkanik.

"Bahkan bukan tidak mungkin, awan panas dapat terinhalasi ke dalam paru yang disebut trauma inhalasi yang mungkin perlu tindakan bronkoskopi," katanya, dikutip Ahad (5/12).

Selain itu, korban juga dapat mengalami berbagai cedera seperti patah tulang, luka dalam dan sebagainya. Guru Besar Paru FKUI itu mensinyalir terdapat enam penyakit yang perlu diwaspadai usai erupsi gunung berapi yang dapat memperluas angka kesakitan penduduk.

Penyakit yang dimaksud, di antaranya Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), Infeksi Saluran Pernapasan Bawah (pneumonia dan bronkhitis), alergi, radang atau iritasi pada mata, alergi, infeksi atau iritasi pada kulit, gangguan saluran pencernaan, serta pemburukan dari penyakit kronik, baik karena daya tahan tubuh yang turun maupun karena stres atau lalai mengonsumsi obat. 

Terdapat tujuh langkah pencegahan yang dikemukakan Tjandra agar masyarakat sekitar terhindar penyakit akibat asap dan debu vulkanik letusan gunung berapi. Bagi daerah yang terdampak asap dan debu vulkanik, hindari keluar rumah atau tempat pengungsian bila tidak sangat diperlukan.

Apabila terpaksa keluar rumah, kata Tjandra, gunakan pelindung seperti masker, menutup sarana air atau sumur gali terbuka dan penampungan air yang terbuka agar tidak terkena debu, mencuci dengan bersih semua makanan, buah, sayur, segera mencari pengobatan ke sarana pelayanan kesehatan bila terdapat keluhan kesehatan seperti batuk, sesak nafas, iritasi pada mata dan kulit.

Terhadap masyarakat yang memiliki penyakit kronik, pastikan obat rutin harus selalu dikonsumsi. Selalu lakukan perilaku hidup bersih dan sehat, baik di rumah dan juga semaksimal mungkin di tempat pengungsian. Bangsa ini tentu prihatin dengan musibah letusan Gunung Semeru. Upaya mitigasi terhadap bencana susulan perlu segera dilakukan demi mencegah problematika penyakit yang lebih luas akibat guguran awan panas maupun debu vulkanik.

"Semoga para korban segera dapat tertolong melalui peran tenaga medis dan instansi terkait," kata Tjandra.

Tak hanya bahaya kesehatan di pernapasan, korbam erupsi gunung juga bisa mengalami luka bakar. Ketua Perhimpunan Bedah Plastik Indonesia dr Najat mengatakan, luka bakar dibagi atas klasifikasi besaran luas dan dalam pada luka yang dialami pasien. Contoh luka ringan seperti kecelakaan di rumah saat tersiram percikan air panas atau minyak goreng yang tidak memerlukan perawatan rumah sakit, cukup dengan salep pereda sakit.

Namun, luka bakar dengan klasifikasi sedang hingga kritis memerlukan penanganan khusus. Contohnya luas luka bakar pada dewasa di atas 20 persen atau pada anak 10 persen. 

"Atau kedalaman luka juga ada derajatnya, dangkal hingga dalam yang menggambarkan kerusakan jaringan kulit," ujarnya saat dikonfirmasi di Jakarta.

Najat mengatakan, semakin tinggi suhu dan dan semakin lama kontak sumber panas dengan tubuh, maka luka bakar semakin bertambah dalam. Pada kasus erupsi Gunung Semeru, kata Najat, mayoritas korban menghirup abu vulkanik maupun awan panas hingga membakar jalur pernapasan. Kondisi itu menyebabkan pembengkakan saluran napas sehingga terjadi sesak.

Korban meninggal dunia akibat erupsi Semeru diduga kuat akibat menghirup hawa panas yang mengganggu saluran napas. Kondisi itu sangat cepat membuat seseorang meninggal. 

"Kalau jalan napas tersumbat, hitungan detik pasien sudah meninggal," katanya.

Gejala lanjutan gangguan pernapasan adalah masalah cairan pada pembuluh darah saat tubuh yang terbakar membengkak atau syok. "Masalah pernapasan dan syok adalah pengelolaan di fase awal. Pemberian oksigen dan cairan itu kebutuhan awal. Kalau itu tertangani baru ke luka bakar," katanya.

Pada tahap perawatan luka bakar, kata Najat, bagian jaringan yang rusak butuh dibersihkan. Bagian kulit rusak dioperasi tandur atau cangkok kulit yang hanya bisa dilakukan oleh dokter bedah plastik. Proses penyembuhan luka bakar juga tergantung pada klasifikasi luka yang dialami pasien. 

"Kalau berat sekali tidak tertolong meninggal, kalau sembuh ada potensi cacat. Bisa sampai sebulan untuk tandur kulit, belum lagi kendala penyakit penyerta. Proses penyembuhan bisa terhambat," katanya.

 
Berita Terpopuler