Hari Disabilitas Internasional, Upaya Penuhi Hak Difabel

Dalam praktik, penyelenggaraan pendidikan inklusi masih memiliki banyak kendala.

ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho
Seorang penyandang disabilitas menggunakan kursi roda dibantu keluarganya saat mengikuti simulasi pengurangan resiko bencana di Gatak, Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, Jumat (3/12/2021). Simulasi yang diikuti warga difabel netra, daksa, dan mental itu bertujuan untuk memberikan pengetahuan bagi mereka dan keluarganya dalam kesiapsiagaan jika terjadi bencana gempa bumi.
Rep: Puti Almas Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari Disabilitas Internasional atau International Day of Persons with Disabilities (IDPD) jatuh pada 3 Desember setiap tahunnya. Peringatan dianggap sebagai waktu terbaik untuk mengingatkan hak para disabilitas agar mendapatkan kesempatan yang sama dengan orang-orang normal, seperti dari berkarya dan berkarir, serta dalam semua bidang kehidupan masyarakat. 

Baca Juga

Dalam pernyataan dari Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres di Hari Disabilitas Internasional pada (3/12) hari ini, dikatakan bahwa menyadari hak, pilihan, dan kepemimpinan penyandang disabilitas akan memajukan masa depan bersama. Berdasarkan data badan dunia tersebut, ada 15 persen dari total tujuh miliar masyarakat dunia yang memiliki disabilitas. 

IDPD pertama kali diperingati pada 1992, dengan diproklamasikan dalam resolusi Majelis Umum PBB. Tema peringatan Hari Disabilitas Internasional tahun ini adalah partisipasi dan keterlibatan penyandang disabilitas menuju dunia pasca pandemi virus corona jenis baru (Covid-19). 

Di Indonesia, berdasarkan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, secara tegas disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Dalam hal ini, setiap orang termasuk para penyandang disabilitas. 

Pemerintah Indonesia juga meratifikasi Convention On The Rights of Persons with Disabilities pada 2011 yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan konvensi tersebut. Indonesia menjadi negara ke-107 yang meratifikasi konvensi tersebut.

Dikutip dari website Kementerian Hukum dan HAM RI, ham.go.id, dalam UU Nomor 11 Tahun 2011, diatur tentang hak-hak para penyandang disabilitas. Mulai dari hak bebas dari penyiksaan, perlakuan kejam dan tidak manusia, merendahkan martabat manusia, hingga hak bebas dari eksploitasi, kekerasan, dan perlakuan semena-mena. Selain itu, penyandang disabilitas juga berhak mendapat penghormatan atas integritas mental dan fisik berdasarkan kesamaan dengan orang lain, termasuk hak mendapat perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat. 

Dalam menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas,  pemerintah menerbitkan UU Nomor 18 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Adanya UU ini, tidak saja menjadi payung hukum bagi penyandang disabilitas, tapi  jaminan agar kaum disablitas terhindar dari segala bentuk ketidakadilan, kekerasan dan diskriminasi.

Secara garis besar, Undang-Undang Penyandang Disabilitas mengatur mengenai ragam Penyandang Disabilitas, hak Penyandang Disabilitas, pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas. Dengan begitu, nantinya adanya undang-undang tersebut, akan memperkuat hak dan kesempatan yang lebih baik bagi penyandang disabilitas. Mulai dari hak hidup, hak mendapatkan pekerjaan yang layak, pendidikan yang lebih baik dan kemudahan mengakses fasilitas umum.

Dalam hal mendapatkan pekerjaan layak, disabilitas di Indonesia berkesempatan untuk menjalani berbagai profesi, termasuk dalam perekrutan Aparatur Sipil Negara (ASN), sejumlah formasi dibuka bagi penyandang cacat. Demikian dengan pendidikan yang lebih baik, upaya pemenuhan hak ini diupayakan selalu untuk dipenuhi, meski dalam implementasinya masih ada kendala yang dihadapi. 

Dalam data dari UNICEF pada 2018, tercatat tiga dari 10 anak dengan disabilitas di Indonesia tidak pernah mengeyam pendidikan. Berdarkan Data Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS) di tahun yang sama, anak usia tujuh hingga 18 tahun dengan disabilitas yang tidak bersekolah mencapai angka hampir 140.000 orang.

Dalam Pasal 10  UU Nomor 18 Tahun 2016, disebutkan   bahwa penyandang disabilitas berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan. Hak tersebut meliputi hak untuk mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu di semua  jenis, jalur dan jenjang pendidikan.

UU Nomor 18 Tahun 2016 juga mengamanatkan kepada pemerintah  untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi. Hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 40 UU Nomor 8 tahun 2016. Disana disebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan dan memfasilitasi pendidikan untuk penyandang disabilitas disetiap jalur, jenis, dan  jenjang pendidikan sesuai kewenangannya.

Sebagai payung hukum pendidikan inklusi, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Mandikdasmen nomor 380 tanggal  20 Januari  2003 perihal pendidikan inklusif.  Selain itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Pendikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif  bagi Perserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasaan dan atau Bakat Istimewa.

Pendidikan inklusif merupakan sistem layanan pendidikan yang memberikan kesempatan bagi penyandang difabel untuk sekolah umum dan dikelas reguler bersamaa teman seusianya. Dengan pendidikan inklusif siswa dapat belajar bersama dengan aksesbilitas yang mendukung untuk semua tanpa terkecuali penyandang disabilitas.

Dengan adanya  pendidikan inklusif,  semua anak  memiliki kesempatan yang sama untuk secara aktif mengembangkan potensi dirinya  dalam lingkungan yang sama. Dengan begitu, dengan adanya pendidikan inklusi, penyandang disabiitaas akan membuat mereka terbiasa  berinteraksi tidak hanya dengan sesama penyandang disabilitas.

Hanya saja,  dalam upaya memenuhan hak pendidikan bagi penyandang disabilitas  ada sejumlah persoalan yang  dihadapi. Salah satunya, tidak adanya Balai Rehabilitas milik pemerintah, terbatasnya anggaran yang tersedia untuk penyandang disabilitas, dan  terbatasnya sumber daya manusia  yang kompeten.  

 

Selain itu, faktor dari keluarga penyandang disabilitas juga mempengaruhi tidak terpenuhinya hak-hak dalam bidang pendidikan ini. Beberapa keluarga disebut cenderung memilih tidak memasukkan anak-anak dengan disabilitas ke sekolah karena merasa malu. 

Dalam praktik, penyelenggaraan pendidikan inklusi memang masih  memiliki banyak kendala, yang tidak hanya terjadi di Indonesia.  Sebagai contoh, di Inggris Richard Rieser dalam esai Special Educational Needs or Inclusive Education: The Challenge of Disability Discrimination in Schooling menulis bahwa salah satu hambatan dalam penyelenggaraan praktik pendidikan inklusi adalah lingkungan yang tidak ramah dan menyulitkan bagai  anak-anak  penyandang disabiltas untuk melaksanakan proses pembelajaran.

Sementara, dalam kemudahan mengakses fasilitas umum untuk penyandang disabilitas di Indonesia, saat ini mungkin dapat dikatakan belum optimal. Meski demikian, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah berupaya meningkatkan segala fasilitas umum agar ramah terhadap kelompok ini. 

Di antara fasilitas ramah disabilitas di Indonesia yang ada ada saat ini adalah bus khusus penyandang cacat. Kendaraan ini dilengkapi dengan teknologi hidrolik yang mempermudah disabilitas menaiki bus. 

Selanjutnya ada jalur pemandu khusus disabilitas atau dikenal sebagai guiding block. Ini sering terlihat di trotoar jalan-jalan di Ibu Kota Jakarta dan sejumlah daerah lainnya di Indonesia. Guding block merupakan jalur berwarna kuning yang memiliki pola garis tanda terus berjalan dan pola bulat untuk berhenti.

Kemudian ada toilet umum penyandang disabilitas yang dapat ditemui di hampir seluruh area publik, seperti di pusat perbelanjaan. Lift khusus bagi penyandang jdisabilitas juga sudah banyak ditemukan di beberapa tempat umum. 

 

 
Berita Terpopuler