Twitter Tutup Ribuan Akun Propaganda China

Cicitan pada akun tersebut menggunakan foto, akun, dan profil warga Uighur palsu.

EPA
Twitter
Rep: Fergi Nadira Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Twitter menutup ribuan akun yang disebut disponsori China karena dianggap berusaha melawan bukti pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang. Menurut para ahli, ini adalah operasi propaganda China yang memalukan.

Seperti dilansir laman the Guardian, Jumat (3/12), cicitan pada akun-akun tersebut menggunakan foto, akun, dan profil warga Uighur palsu untuk menyebarkan propaganda negara. Akun-akun tersebut juga kerap membagikan kesaksian palsu tentang kehidupan bahagia warga Uighur.

Akun-akun ini berupaya menghilangkan bukti dari kampanye penindasan selama bertahun-tahun di Xinjiang yang mendeteksi adanya interniran massal, program pendidikan ulang, tuduhan kerja paksa, hingga sterilisasi.

Baca Juga

Jaringan akun tersebut diketahui sering berbagi tema dan konten, tapi sering kali menggunakan akun yang digunakan kembali untuk konten pornografi atau drama Korea dengan sedikit keterlibatan kecuali jika diperkuat oleh diplomat dan pejabat China. Twitter memang dilarang di China, tapi para pejabat mereka sering mengoperasikan akun di luar negeri.

Menurut analis di lembaga thinktank Australian Strategic Policy Institute (ASPI), konten dari 2.160 akun yang ditutup Twitter sering kali diproduksi secara memalukan. Konten-konten tersebut memberikan tingkat penyangkalan yang tidak masuk akal dan memperkeruh masalah di sekitar masalah tersebut.

Akun yang terkait dengan operasi Cina ada dalam dua set. Set pertama adalah yang terbesar, yakni jaringan dari 2.048 akun yang memperkuat narasi Partai Komunis China terkait dengan Xinjiang. Set kedua dari 112 akun yang terhubung ke Budaya Changyu, sebuah perusahaan swasta yang menurut ASPI muncul untuk nantinya dikontrak oleh otoritas regional Xinjiang dalam membuat video orang Uighur mendukung pemerintah.

Lebih dari 30 ribu cicitan dari setiap akun diidentifikasi. Kerap akun menanggapi cicitan lain yang menyebut bukti pelanggaran sebagai kebohongan belaka dan disusupi dengan tagar #StopXinjiangRumors maupun berbagi video yang mereka klaim sebagai kebenaran Xinjiang atau menargetkan politisi asing sambil mengaku sebagai orang Uighur.

Dalam cicitan pada akun-akun tersebut, ASPI menganalisis banyak penemuan terkait dengan pornografi, penggemar drama Korea, serta konten spam. "Itu kemungkinan besar karena mereka telah mengambil alih akun yang ada dan menggunakannya kembali," kata analis senior ASPI Fergus Ryan.

"Mereka mengambil alih dan memompa konten ini yang umumnya cukup reaktif. Ini sangat tidak tepat dan benar-benar tidak dilakukan dengan baik. Salah satu hal yang sangat aneh tentang satu kumpulan data adalah bahwa untuk beberapa alasan yang tidak diketahui mereka menyertakan ratusan tweet dengan pegangan ini untuk akun @fuck_next," ujarnya melanjutkan.

Cicitan ini juga berulang kali salah menandai akun mantan menteri luar negeri AS Mike Pompeo dan banyak video yang ditautkan ke saluran YouTube Budaya Changyu yang sekarang ditangguhkan. Itu dikenal sebagai pakaian pemasaran yang didukung oleh otoritas Provinsi Xinjiang.

"Hasilnya adalah semburan propaganda yang sangat tidak masuk akal, jelas bagi sebagian besar mata tetapi masih memprihatinkan," kata ASPI.

ASPI menemukan 97 persen dari akun yang diidentifikasi memiliki kurang dari lima pengikut dan 73 persen akun memiliki nol. Sementara 98 persen unggahannya tidak ada yang menyukai ataupun me-retweet. Sisanya sering didorong oleh diplomat dan pejabat China yang menyebarkan konten dan memberinya legitimasi.

"Targetnya sebenarnya bukan orang-orang yang skeptis terhadap pemerintah Cina, tetapi memberikan konten kepada orang-orang yang mempercayai media Pemerintah Cina dan skeptis terhadap media arus utama Barat," kata peneliti ASPI Albert Zhang. "Ini adalah propaganda yang menarik."

Laporan ASPI mengatakan kampanye propaganda mencerminkan kemungkinan arah operasi informasi masa depan oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT). Namun, Zhang dan Ryan juga mengatakan itu juga menunjukkan mungkin ada kurangnya pemahaman oleh propaganda Cina dan penyedia media tentang apa yang dapat dipercaya atau sah.


 
Berita Terpopuler