Kepala MI6: China, Rusia, Iran Timbulkan Ancaman Besar

Kepala badan intelijen luar negeri Inggris sebut China, Rusia, Iran sebagai ancaman

Baderkhan Ahmad/AP
Polisi militer Rusia memegang senjata di atas kendaraan lapis baja di Suriah Utara. Kepala badan intelijen luar negeri Inggris (MI6) Richard Moore menyatakan China, Rusia, dan Iran menimbulkan tiga ancaman terbesar bagi Inggris. Ilustrasi.
Rep: Dwina Agustin/Rizky Jaramaya Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kepala badan intelijen luar negeri Inggris (MI6) Richard Moore menyatakan China, Rusia, dan Iran menimbulkan tiga ancaman terbesar bagi Inggris di dunia yang cepat berubah dan tidak stabil, Selasa (30/11). Dia menunjuk tiga negara itu dan terorisme internasional merupakan empat besar masalah keamanan yang dihadapi mata-mata Inggris.

Dalam pidato publik pertama sejak menjadi kepala Dinas Intelijen Rahasia pada Oktober 2020, Moore mengatakan di International Institute for Strategic Studies bahwa China adalah prioritas tunggal terbesar badan tersebut. Penetapan ini berdasarkan pertimbangan kepemimpinan negara itu semakin mendukung tindakan berani dan tegas untuk memajukan ketertarikannya.

"Negara otoriter dengan nilai-nilai yang berbeda dari kita,” kata Moore merujuk pada Beijing.

Menurut Moore, Beijing melakukan operasi spionase skala besar terhadap London dan sekutunya. Negara itu mencoba untuk mendistorsi wacana publik dan pengambilan keputusan politik, serta mengekspor teknologi yang memungkinkan jaringan pengawasan otoriter di seluruh dunia.

Moore menjelaskan Inggris juga terus menghadapi ancaman akut dari Rusia. Dia menyatakan Moskow telah mensponsori upaya pembunuhan, seperti meracuni mantan mata-mata Sergei Skripal di Inggris pada 2018, meningkatkan serangan siber, dan upaya untuk mengganggu proses demokrasi negara lain.

"Kami dan sekutu serta mitra kami harus berdiri dan mencegah aktivitas Rusia yang bertentangan dengan sistem berbasis aturan internasional," ujar dia.

Moore mengatakan Iran juga merupakan ancaman besar dan menggunakan kelompok politik dan militan Hizbullah untuk membuat negara di dalam negara. Kondisi ini memicu gejolak politik di negara-negara tetangga.

Mata-mata Inggris, menurut Moore, harus melepaskan sebagian dari kerahasiaan yang mengakar dan mencari bantuan dari perusahaan teknologi. Upaya ini ditempuh untuk memenangkan perlombaan senjata keamanan siber yang memberi negara dan kelompok bermusuhan memiliki kapasitas yang lebih besar.

"Menurut beberapa penilaian, kita mungkin mengalami lebih banyak kemajuan teknologi dalam 10 tahun ke depan daripada di abad terakhir, dengan dampak disruptif yang setara dengan Revolusi Industri,” katanya.

Potensi gangguan kecerdasan buatan dan teknologi berkembang pesat lainnya terjadi saat ini. Artinya agen mata-mata harus menjadi lebih terbuka untuk tetap merahasiakan di dunia perubahan teknologi yang tidak stabil. "Sebagai masyarakat, kami belum menginternalisasi fakta yang nyata ini dan potensi dampaknya terhadap geopolitik global," ujar Moore.

"Musuh kami menggelontorkan uang dan ambisi untuk menguasai kecerdasan buatan, komputasi kuantum, dan biologi sintetis karena mereka tahu menguasai teknologi ini akan memberi mereka pengaruh," kata Moore.

Untuk mengikutinya, sekarang MI6 mengejar kemitraan dengan komunitas teknologi. Komunitas itu membantu mengembangkan teknologi kelas dunia untuk memecahkan masalah misi terbesarnya. "Tidak seperti Q di film Bond, kami tidak bisa melakukan semuanya sendiri," ujar Moore mengacu pada pembuat gadget MI6 fiksi dalam film-film James Bond.

Baca Juga

Moore mengatakan bekerja dengan sektor swasta adalah perubahan besar bagi sebuah organisasi yang terjerat dalam kerahasiaan. Hingga 1992, pemerintah Inggris menolak untuk mengonfirmasi keberadaan MI6.

Organisasi itu secara bertahap menjadi lebih terbuka dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan lembaga ini memungkinkan publikasi sejarah resmi meskipun hanya sampai 1949. MI6 mulai secara terbuka menyebutkan pemimpinnya, yang menggunakan nama kode C, pada 1990-an. Moore adalah kepala MI6 pertama yang memiliki akun Twitter.

Perlombaan Senjata

Badan-badan intelijen Barat khawatir Beijing dapat mendominasi semua teknologi penting yang muncul dalam beberapa dekade, terutama kecerdasan buatan, biologi sintetis, dan genetika. Kebangkitan ekonomi dan militer China selama 40 tahun terakhir dianggap sebagai salah satu peristiwa geopolitik paling signifikan belakangan ini.

Sekretaris Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) Frank Kendall mengatakan saat ini negaranya dengan terlibat perlombaan dengan China dalam mengembangkan senjata hipersonik. Menurut dia, hal tersebut sudah berlangsung cukup lama.

“Ada perlombaan senjata, tidak harus untuk peningkatan kuantitas, tapi untuk peningkatan kualitas. Ini adalah perlombaan senjata yang telah berlangsung cukup lama. China sudah melakukannya dengan sangat agresif,” kata Kendall, Selasa (30/11).

Pada Oktober lalu, perwira tinggi militer AS Jenderal Mark Milley mengonfirmasi pengujian senjata hipersonik China. Menurut para ahli, Beijing tampaknya memang berupaya memantapkan pengembangan jenis senjata tersebut guna menghindari pertahanan rudal Amerika.

 
Berita Terpopuler