Aplikasi Didi, Ditutup di China, Diminta Delisting dari AS

Regulator China menyebut aplikasi transportasi online Didi mengumpulkan data ilegal.

Florence Lo | Reuters
Aplikasi taksi online di China, Didi. Regulator China menyebut aplikasi transportasi online Didi mengumpulkan data konsumen secara ilegal.
Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani  Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, SHANGHAI -- Regulator China menekan eksekutif Didi Global Inc untuk menyusun rencana delisting dari New York Stock Exchange. Sebabnya, ada kekhawatiran tentang keamanan data. Hal itu dikatakan oleh dua sumber yang mengetahui masalah itu kepada Reuters.

Baca Juga

Diketahui, pada Juli 2021 lalu, Otoritas Pengawas Siber China atau Cyberspace Administration of China (CAC) memerintahkan layanan aplikasi transportasi online Didi dihapus dari aplikasi di semua telepon genggam. Hal ini terjadi karena China menemukan aplikasi Didi telah mengumpulkan data pribadi pengguna secara ilegal.

Aplikasi ini juga telah listing di bursa New York. Empat hari setelah Didi mulai berdagang di New York Stock Exchange, setelah mengumpulkan 4,4 miliar dolar AS dalam penawaran umum perdana. 

Dilansir dari Reuters, Jumat (26/11), CAC telah meminta manajemen untuk mengeluarkan perusahaan dari bursa Amerika Serikat karena kekhawatiran tentang kebocoran data sensitif.

CAC juga ingin raksasa ride hailing itu berjanji menyelesaikan masalah delisting dalam jangka waktu tertentu, kata orang tersebut. Regulator dunia maya mengatakan, prasyarat untuk peluncuran kembali aplikasi ride-hailing dan aplikasi lain Didi di China adalah bahwa perusahaan harus setuju untuk delisting dari New York.

Proposal yang sedang dipertimbangkan termasuk privatisasi langsung atau listing kedua di Hong Kong diikuti oleh delisting dari AS, menurut sumber. Pada Juli, CAC memerintahkan toko aplikasi untuk menghapus 25 aplikasi seluler yang dioperasikan oleh Didi, hanya beberapa hari setelah perusahaan tersebut terdaftar di New York. 

CAC juga menyuruh Didi untuk berhenti mendaftarkan pengguna baru. Alasannya adalah  keamanan nasional dan kepentingan umum.

Reuters melaporkan awal bulan ini bahwa Didi sedang bersiap untuk meluncurkan kembali aplikasinya di negara itu pada akhir tahun sebagai antisipasi bahwa penyelidikan keamanan siber Beijing terhadap perusahaan tersebut akan selesai pada saat itu. 

Baik Didi maupun CAC belum menanggapi permintaan komentar dari Reuters. Orang-orang tersebut menolak untuk disebutkan namanya karena mereka tidak berwenang untuk berbicara kepada media.

Bloomberg pertama kali melaporkan permintaan regulator bagi Didi untuk delisting pada Jumat (26/11). Saham investor Didi, SoftBank Group Corp dan Tencent Holdings masing-masing turun lebih dari lima persen dan 3,1 persen menyusul laporan tersebut.

SoftBank Vision Fund memiliki 21,5 persen dari Didi, diikuti oleh Uber Technologies Inc dengan 12,8 persen dan Tencent 6,8 persen, menurut pengajuan pada Juni oleh Didi.

Jika privatisasi berlanjut, pemegang saham kemungkinan akan ditawari setidaknya harga IPO 14 dolar AS per saham. 

Didi bertabrakan dengan otoritas China ketika terus maju dengan listing di New York, meskipun regulator mendesaknya untuk menunda. Sebab, tinjauan keamanan siber terhadap praktik datanyaoleh otoritas belum selesai.

Segera setelah itu, CAC meluncurkan penyelidikan terhadap Didi atas pengumpulan dan penggunaan data pribadinya. CAC mengatakan data dikumpulkan secara ilegal.

Didi menanggapi pada saat itu dengan mengatakan telah berhenti mendaftarkan pengguna baru dan akan membuat perubahan untuk mematuhi aturan tentang keamanan nasional dan penggunaan data pribadi dan akan melindungi hak-hak pengguna.

Raksasa teknologi dan internet dalam cengkraman China

Raksasa teknologi China berada di bawah pengawasan ketat negara atas perilaku anti-monopoli dan penanganan data konsumen mereka yang luas. Pemerintah China mencoba untuk mengendalikan dominasi mereka setelah bertahun-tahun mengalami pertumbuhan yang tak terkekang.

 

Saat ini, China juga memperketat cengkeramannya pada platform internet. Hal tersebut dilakukan untuk melumpuhkan persaingan, penyalahgunaan data konsumen, dan pelanggaran hak-hak konsumen.

Regulator pasar China pada Sabtu (20/11) mengenakan denda kepada perusahaan teknologi raksasa termasuk Alibaba, Baidu, dan JD.com. Hal tersebut dilakukan karena ketiga perusahaan tersebut tidak merealisasikan 43 kesepakatan yang dibuat pada 2012 sesuai dengan Undang-undang Anti Monopoli.

Pada Desember 2020, China juga menetapkan denda kepada Alibaba, China Literature yang didukung Tencent, dan Shenzhen Hive Box. Masing-masing dikenakan denda hingga 500 ribu yuan karena tidak melaporkan kesepakatan masa lalu dengan benar untuk tinjauan antimonopoli.

 

 
Berita Terpopuler