Tak Setuju Aksi Mogok, DPR Minta Buruh Pilih Dialog Soal UMP

Wakil Ketua Komisi IX menanggapi rencana aksi mogok kerja buruh terkait UMP 2022.

Istimewa
Emanuel Melkiades Laka Lena.
Rep: Rizky Suryarandika, Febryan. A, Haura Hafizhah Red: Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Melki Laka Lena, menanggapi rencana mogok kerja nasional pada Desember 2021 yang akan dilakukan dua juta buruh. Langkah ini ditempuh Buruh karena pemerintah hanya menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 1,09 persen.

Baca Juga

Melki mengingatkan bahwa mekanisme dialog mesti menjadi fokus utama buruh guna menyalurkan aspirasinya. Ia tak sepakat dengan rencana aksi unjuk rasa buruh. "Dialog harus lebih diutamakan dalam situasi dan kondisi sulit saat ini," kata Melki kepada Republika.co.id, Jumat (19/11).

Politikus dari partai Golkar tersebut menyatakan siap membantu menggelar mediasi antara buruh-pengusaha-pemerintah atau tripartit asalkan diminta oleh mereka yang bersengketa.

"Kami terbuka untuk fasilitasi dan melangsungkan dialog tripartit jika diminta para pihak," ujar Melki.

Walau demikian, Melki mempersilahkan buruh mengadakan aksi unjuk rasa sebagai jalan menyalurkan aspirasi di negara demokrasi. Hanya saja, ia menyinggung agar aksi buruh jangan sampai berdampak negatif terhadap pemulihan ekonomi.

"Demo sebagai ekspresi demokrasi tentu bisa dipahami tapi dalam sikon sulit pemulihan pasca badai gelombang Covid tentu pimpinan serikat buruh dan pengusaha difasilitasi pemerintah harus duduk bersama mencari solusi terbaik," ucap Melki.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, sebanyak dua juta buruh akan melakukan mogok kerja nasional pada Desember 2021. Langkah ini ditempuh karena pemerintah hanya menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 1,09 persen.

Said mengatakan, KSPI sudah menggelar rapat dengan 60 serikat buruh tingkat nasional. Keputusannya adalah melakukan mogok produksi secara nasional pada Desember mendatang.

"60 federasi tingkat nasional memutuskan mogok nasional, setop produksi. Ini akan diikuti 2 juta buruh, (sehingga) lebih dari ratusan ribu pabrik akan berhenti bekerja," ungkap Said dalam konferensi pers daring, Selasa (16/11).

Said menyebut, mogok nasional ini akan dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Tapi, tanggal pelaksanaannya belum disepakati antara serikat buruh. Untuk sementara, direncanakan aksi mogok nasional digelar pada tanggal 6 hingga 8 Desember 2021. 

Sebelum aksi mogok nasional, kata Said, akan terdapat sejumlah aksi pendahuluan. Mulai hari ini, Rabu (17/11), buruh-buruh di daerah akan menggelar demonstrasi di kantor pemerintah daerah dan DPRD setempat.

Setelah itu, puluhan ribu buruh yang tergabung dalam 60 federasi akan menggelar unjuk rasa di Istana Negara, kantor Kemenaker, dan gedung DPR RI. Selanjutnya, buruh-buruh di daerah mulai melakukan mogok kerja secara bergelombang.

Puncaknya, akan digelar mogok nasional pada 6-8 Desember. "Mogok nasional karena kami sudah kehilangan akal sehat terhadap kebijakan Menteri Tenaga Kerja, dan permufakatan jahat para menteri yang menyusun PP 36," ujar Said.

Said menegaskan, aksi unjuk rasa maupun aksi mogok nasional adalah sesuatu yang legal. Pihaknya pun akan berkoordinasi dengan Satgas Covid-19 dan Kepolisian dalam pelaksanaan semua aksi tersebut.

KSPI diketahui menolak keras formula penetapan Upah Minimum Provinsi 2022, yang hanya menaikkan UMP sebesar 1,09 persen. Bagi KSPI, kebijakan upah murah ini jauh lebih buruk dibanding yang terjadi pada rezim Orde Baru-nya Soeharto.

"Soeharto aja enggak melakukan ini di Orde Baru. Jahat sekali, jahat sekali para menteri ini," katanya.

Sebelumnya, Kemenaker telah melakukan perhitungan kenaikan UMP 2022. Besaran UMP 2022 tertinggi adalah DKI Jakarta, yakni Rp 4.453.724. Sedangkan UMP terendah adalah Jawa Tengah dengan besaran Rp 1.813.011.

Secara rata-rata nasional, UMP 2022 naik hanya sebesar 1,09 persen. Padahal, kelompok buruh menuntut kenaikan UMP 7-10 persen.

Sebagai perbandingan, dalam lima tahun terakhir, Upah Minimum selalu naik di atas 3 persen. Periode 2017 - 2020, Upah Minimum selalu naik di angka 8 persen lebih. Sedangkan pada 2021, tepat ketika pandemi Covid-19 sedang menggila, Upah Minimum naik 3 persen lebih.

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), Indah Anggoro Putri, menanggapi terkait ancaman mogok kerja nasional yang akan dilakukan oleh para pekerja karena kenaikan UM yang hanya 1,09 persen. Menurutnya, ia akan melakukan sosialisasi terhadap para pekerja tersebut.

"Dapat kami sampaikan bahwa penyesuaian nilai UM tahun 2022 akan bervariasi di daerah karena sangat bergantung pada data makro, seperti rata-rata konsumsi perkapita setempat dan nilai PE atau inflasi Provinsi di masing-masing wilayah. Oleh karena itu, seluruh pihak sudah seharusnya mempedomani PP 36/2021 dalam rangka penetapan UM," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (17/11).

Kemudian, ia melanjutkan dalam menyikapi rencana aksi buruh atas kenaikan UM tahun 2022. Pihaknya akan melakukan sosialisasi terkait penetapan UM tahun 2022 berdasarkan PP 36/2021 secara lebih masif. Lalu, menjelaskan filosofi dan dasar penetapan UM seperti pemberlakuan UM bagi pekerja atau buruh dengan masa kerja kurang 1 tahun.

"Kami juga jelaskan pengenalan kanal informasi pengupahan (Wagepedia) serta urgensi penerapan struktur dan skala upah dan pengupahan berbasis produktivitas," ujarnya.

Putri menambahkan, akan melakukan koordinasi dengan kepala dinas yang membidangi ketenagakerjaan provinsi dan Kabupaten/Kota serta dewan pengupahan daerah dan melaksanakan dialog dengan Depenas dan BP LKS Tripnas.

"Kami juga melakukan koordinasi dengan BPS, Kemendagri, Kepala Daerah dan Kementerian/Lembaga terkait," katanya.

 

 
Berita Terpopuler