Perempuan Ikut Angkat Senjata Lawan Rezim Militer Myanmar

Partisipasi perempuan dalam gerakan perlawanan di Myanmar bukan sesuatu yang baru

STRINGER/EPA
Demonstran wanita berlatih sling shot selama protes menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, Kamis (18/3). Partisipasi perempuan dalam gerakan perlawanan di Myanmar bukan sesuatu yang baru.
Rep: Lintar Satria Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW - Sebelum angkat senjata melawan rezim militer pada Juli lalu, Kabya May tidak pernah memakai celana panjang. Seperti kebanyakan perempuan Myanmar lainnya, guru berusia 23 tahun dari daerah Sagaing itu kerap memakai sarung sampai batas kaki yang disebut Htamein.

Kini ia menjadi salah satu anggota pejuang perempuan, Myaung Women Warriors. Kelompok itu merupakan kelompok milisi bersenjata Myanmar pertama yang semua anggotanya perempuan.  

"Saya bergabung untuk menghabisi anjing-anjing itu," kata Kabya May menggunakan bahasa yang kerap digunakan pemberontak merujuk pasukan keamanan Myanmar seperti dikutip Aljazirah baru-baru ini.

"Alasan saya bergabung dengan kelompok pemberontak perempuan adalah untuk menunjukkan perempuan bisa melakukan apa yang laki-laki lakukan," tambahnya.

Kabya May menjadi salah satu perempuan yang bergabung dengan pasukan pemberontak bersenjata yang bermunculan sejak kudeta militer 1 Februari lalu. Empat anggota Myaung Women Warriors mengatakan selain ingin menghancurkan kediktatoran militer ,mereka juga ingin mengubah norma-norma gender tradisional. Mereka ingin memastikan peran perempuan yang setara dalam membangun bangsa baru.

Kabya May bukan nama aslinya karena khawatir dengan serangan balasan militer. Perempuan ini memainkan peranan besar dalam aksi unjuk rasa yang bergulir sejak panglima militer Min Aung Hlaing berkuasa.

Buruh pabrik garmen menjadi kelompok pertama yang turun ke jalan dan perempuan terus menjadi garda depan dalam demonstrasi pro-demokrasi. Mereka merupakan tokoh utama Gerakan Pembangkangan Sipil dan menuntut hak-hak masyarakat etnis minoritas.

Perempuan sering menggunakan feminitas mereka sebagai alat perjuangan. Para perempuan Myanmar menentang takhayul yang menyatakan laki-laki akan mandul apabila melewati atau bersentuhan dengan bagian bawah pakaian perempuan. Mereka mengibarkan bendera yang terbuat dari sarung, menempelkan pembalut dan celana dalam ke foto Min Aung Hlaing. Para perempuan juga menggunakan pembalut dan pakaian dalam untuk mengejek dan mempermalukan pasukan keamanan di jalan.

Baca Juga

Perempuan tidak luput dari tindakan keras militer terhadap aktivis pro-demokrasi. Organisasi aktivis, Assistance Association for Political Prisoners, mengatakan sejak kudeta sudah 1.260 orang tewas dibunuh pasukan keamanan dan sekitar 87 di antaranya perempuan. Sementara 1.300 dari 12 ribu orang yang ditahan, dipenjara, atau didakwa sejak kudeta adalah perempuan.

Partisipasi perempuan dalam gerakan perlawanan di Myanmar bukan sesuatu yang baru. Sejumlah pasukan bersenjata masyarakat etnis terbesar di negara itu mengklaim memiliki ratusan pasukan perempuan.

Mantan wakil dewan Karen National Union yang menjabat sebagai negosiator utama organisasi kelompok etnis bersenjata dalam perjanjian damai 2015 lalu adalah perempuan, Naw Zipporah Sein. Perjanjian itu menandai gencatan senjata dengan militer.

Namun dalam laporan 2019, Peace Research Institute Oslo menemukan perempuan-perempuan di organisasi etnis bersenjata di Myanmar masih menjadi kaum pinggiran. Pemimpin-pemimpin laki-laki gagal mengakui kemampuan perempuan dan mengabaikan gagasan mereka dan potensi perempuan berkontribusi menciptakan perdamaian di Myanmar 'sangat tidak dianggap'.

Kudeta mendorong pandangan tersebut dievaluasi ulang. Gerakan unjuk rasa yang sebagian besar dipimpin anak muda tidak hanya menuntut perbaikan seluruh sistem politik yang catat tapi juga ketidaksetaraan sosial. Juru bicara Myaung Women Warriors Amara mengatakan kelompoknya menentang batas-batas kategori gender kaku.

"Masyarakat membingkai tugas-tugas tertentu pada laki-laki dan perempuan. Kami mendobrak stereotip ini dan untuk menunjukkan tangan yang mengayunkan ayunan bayi juga bisa menjadi bagian dari revolusi bersenjata," kata Amara yang juga tidak menggunakan nama aslinya.

Sebelum kudeta Amara tidak pernah membayangkan akan menjadi pejuang revolusi. Namun setelah menyaksikan pembunuhan dan kekerasan di sekitarnya, ia terdorong mengambil langkah yang diperlukan.

"Saya angkat senjata ketika saya tidak memiliki pilihan lain. Saya gelisah mengenai bahaya apa yang akan menimpa saya. Di sisi lain, kami bertekad untuk memenangkan ini. Kami mempersiapkan mental kami, kami tidak merasa normal, tapi kami harus mengendalikan pikiran kami," katanya.

Myaung Women Warriors salah satu dari ratusan kelompok pemberontak bersenjata di Myanmar. Kelompok-kelompok yang dikenal sebagai Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) muncul di seluruh penjuru Myanmar sekitar bulan April. "Karena seluruh negeri dalam revolusi, kami memainkan peran kami dan juga mempromosikan peran perempuan," kata Amara.

Pada 29 Oktober lalu mereka ambil bagian dalam koalisi PDF membakar kantor polisi. Amara mengatakan aksi itu dilakukan untuk mencegah tentara dan polisi menggunakan kantor-kantor tersebut sebagai markas sebelum menyerang desa setempat.

Foto operasi mereka tersebar di media sosial dan menarik banyak perhatian. Amara mengatakan melihat besarnya dukungan masyarakat memberi kekuatan pada para perempuan tapi mereka tetap fokus pada misi mereka.

"Kami pejuang perempuan. Kami siap untuk bertempur di mana pun. Pejuang itu berani, loyal dan tegas, kami siap berjuang untuk rakyat," tambahnya.

Kabya May bergabung dua bulan lalu sebelum Myaung Women Warriors terbentuk. Seperti kebanyakan anak muda di seluruh Myanmar, mantan guru itu memutuskan angkat senjata setelah merasakan kesulitan, kecemasan fisik, dan masa depan yang suram.

"Sejak kudeta tidak akan yang berjalan baik. Anak muda merasa kami membuang-buang waktu kami. Kami tidak bisa jalan-jalan dengan bebas. Ketika anjing militer datang, rakyat takut, saya tidak ingin melihat hal itu lagi," jelasnya. 

Anak tertua dari lima bersaudara ini lulus dari sekolah guru pada awal 2020. Ia berharap gaji bulanannya dapat membantu ayahnya pensiun dari pekerjaan harian menyiram pestisida di pertanian setempat.

Namun beberapa bulan kemudian karena pandemi sekolah di seluruh Myanmar tutup. Ia kemudian terpaksa bekerja di toko barbekyu.

Kudeta mendorong guru menggelar unjuk rasa menolak bekerja di bawah pemerintahan militer. Kabya May pun bergabung dengan gerakan tersebut. Ketika toko barbekyu tempatnya bekerja tutup, ia ikut ayahnya menyiram pestisida dengan ayahnya dan mengambil semua pekerjaan yang bisa ia lakukan.

"Keluarga saya besar dan kami sangat tergantung pada upah harian. Jika kami tidak bekerja sehari, kami tidak memiliki apa-apa untuk dimakan," katanya.

Ketika ia mendengar orang-orang dari kampung halamannya membentuk kelompok perlawanan bersenjata ia bertanya apakah perempuan juga dapat bergabung. Pada bulan Juli ia mulai latihannya. Kesempatan ini membuat Kabya tidak hanya pertama kalinya memakai celana panjang tapi juga pertama kalinya dekat dengan laki-laki selain keluarganya.

"Ketika saya pertama kali bergabung, saya merasa malu. Namun kemudian saya merasa nyaman dan kami menjadi rekan seperjuangan. Kami berlatih bersama (laki-laki), seperti push-up. Saya mencoba menyeimbangi, saya merasa sakit otot dan punggung tapi saya menahannya," papar Kabya May.

 
Berita Terpopuler