Potret Kerukunan Umat Islam dan Sunda Wiwitan di Badui

Mereka dapat hidup rukun dan saling menghargai keyakinan masing-masing.

Republika
Suku Badui Muslim, hijrah ke agama Islam dari sebelumnya menganut kepercayaan Sunda Wiwitan.
Rep: Fuji E Permana Red: Esthi Maharani

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Di daerah pelosok Banten terdapat masyarakat Sunda yang masih memegang teguh adat istiadat dan ajaran hidup Sunda Wiwitan. Mereka berada di wilayah yang dikenal secara umum sebagai wilayah suku Badui di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Suku Badui yang tinggal di wilayah Badui dalam, yakni mereka yang sangat memegang teguh adat istiadat. Suku Badui yang tinggal di wilayah Badui luar, mereka juga masih memegang teguh adat istiadat, namun pengaruh dari luar sudah mulai masuk. Di antara mereka bahkan sudah ada yang memeluk agama Islam.

Wilayah Badui luar berbatasan langsung dengan wilayah kampung Ciboleger di Kecamatan Lewi Damar yang penduduknya hampir semuanya beragama Islam. Ini menjadi penyebab intensnya interaksi masyarakat Badui luar dengan masyarakat Muslim modern. Meski berdampingan, mereka dapat hidup rukun dan saling menghargai keyakinan masing-masing.    

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Lebak, Kiai Baijuri, menerangkan, masyarakat Badui luar sebagian ada yang telah memeluk agama Islam sehingga bisa dikatakan mereka hidup berdampingan dengan penganut kepercayaan atau ajaran Sunda Wiwitan.

"Hubungan mereka (yang telah menjadi Muslim) dengan (masyarakat) Badui dalam, hubungannya baik-baik saja," kata Kiai Baijuri saat diwawancarai Republika, Senin (15/11) malam.

Kiai Baijuri mengungkapkan, kerukunan dan keharmonisan umat Islam dan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan nampak dari sikap mereka yang saling menghormati dalam setiap interaksinya. Mereka tidak saling menyerang dalam bentuk apapun.

Ia menceritakan, masyarakat Muslim yang menjadi mayoritas tidak mengatakan bahwa masyarakat Badui adalah orang musyrik atau kafir. Masyarakat Muslim juga tidak menganggap orang Badui harus diperangi atau harus didakwahi.

"Jadi polanya, (masyarakat) Badui luar yang masuk Islam itu bukan karena tekanan tapi karena kemauan mereka sendiri," ujarnya.

Ia menerangkan, adanya orang-orang Badui yang menjadi mualaf itu bukan hasil paksaan. Jadi mereka didekati dan diberitahu tentang ajaran Islam, kemudian mereka memutuskan sendiri apakah akan memeluk agama Islam atau tetap memegang teguh kepercayaannya.

"Mereka (orang Badui) diberi tahu, urang kabehan hayang salamet (semua manusia ingin selamat), Islam itu agama yang mengantarkan manusia untuk selamat hidup baik di dunia maupun akhirat, sehingga ada ketertarikan dari mereka karena selamat itu kebutuhan semua orang," kata Kiai Baijuri.

Kiai Baijuri menyampaikan kunci kerukunan antara Muslim dan penganut Sunda Wiwitan. Kuncinya karena umat Islam dakwahnya tidak dengan cara kekerasan dan pemaksaan terhadap orang-orang Badui luar.

Menurutnya, orang Badui dalam dan luar dibiarkan sebagai komunitas yang memiliki keyakinan tersendiri yakni Sunda Wiwitan. Namun, masyarakat Badui luar memang sebagian sudah ada yang memeluk agama Islam dan agama non Islam.

Prinsip hidup masyarakat Muslim dan Badui juga menjadi kunci keharmonisan dan kerukunan di sana. Kiai Baijuri menjelaskan, prinsip hidup mereka tidak menghina orang lain, tidak menghakimi, hidup bersama atau gotong royong di satu lingkungan, dan tidak boleh menyerobot tanah adat.

"Prinsip hidupnya tidak boleh mengganggu kehidupan satu sama lain, ini maksudnya satu sama lain antara orang Badui dengan orang Islam dan non Islam lainnya," jelas Kiai Baijuri.

Menurut FKUB Kabupaten Lebak, di wilayahnya mayoritas beragama Islam, ada juga yang beragama Katolik, Protestan dan Buddha. Masyarakat penganut ajaran Sunda Wiwitan juga sedikit dan bisa dikatakan minoritas.

Kiai Baijuri menerangkan, tidak banyak kesamaan antara agama Islam dan ajaran Sunda Wiwitan. Namun masyarakat Badui yang menganut ajaran Sunda Wiwitan mengakui adanya Nabi Adam sebagai manusia pertama, mereka mengaku sebagai umatnya Nabi Adam.

"Mereka (orang Badui) mengakui bahwa Nabi Adam sebagai Nabinya sebagai orang yang mengajarkan tentang cara-cara dan praktik-praktik dan pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep yang menyelamatkan," jelas Kiai Baijuri.

Kiai Baijuri mengatakan, bagi masyarakat Badui yang memegang teguh adat istiadat, mereka tidak membutuhkan infrastruktur apapun. Jadi di satu sisi mereka adalah saudara sebangsa, tapi di sisi lain mereka tidak mau menerima pendidikan modern seperti sekolah.

Tapi, menurutnya, sebagian orang Badui luar sudah ada yang mau sekolah. Ada juga yang mau ke majelis taklim yakni mereka yang telah menjadi mualaf.

Menurut Kiai Baijuri, mungkin yang dibutuhkan adalah infrastruktur jalan yang disesuaikan dengan keinginan masyarakat Badui luar dan umat Islam di sekitarnya. Karena jalan untuk akses keluar dan masuknya barang, jadi supaya arus barang menjadi cepat dan perekonomian mereka terbantu.

"Selain daripada itu, mungkin di Badui luar bisa dibantu, misalnya (memberi bantuan) rumah-rumah sederhana gratis, supaya terjadi kerapihan, karena ada rumah yang rumahnya kumuh," ujarnya.

Kiai Baijuri mengingatkan, hal yang paling penting adalah tanah adat masyarakat Badui jangan diganggu. Artinya tidak diserebot oleh siapapun selain oleh orang Badui itu sendiri.


Mualaf Badui

Masyarakat Badui sebagian ada yang telah memeluk agama Islam. Biasanya, mereka yang telah beragama Islam berdasarkan aturan adat istiadat harus keluar dari wilayah Badui dalam. Meski seperti itu, hubungan mereka tetap baik-baik saja, hanya saja aturan adat tetap harus dipatuhi.

Bagi masyarakat Badui dalam dan luar, orang yang telah memeluk agama Islam dari kalangan mereka disebut sebagai semah atau tamu. Jadi hubungan mereka tetap baik, hanya status dan haknya yang berubah.

Koordinator Mualaf Orang Badui, Ustaz Muhammad Kasja, menyampaikan, ada 21 titik lokasi di enam kecamatan tempat orang-orang Badui yang menjadi mualaf. 21 titik lokasi ini yang baru terdata, pendataan masih terus dilakukan.

"Ini termasuk kita sekarang membuat perumahan untuk mualaf sekitar 40 rumah, diperuntukan untuk mualaf yang masih baru dan belum memiliki rumah," kata Ustaz Kasja.

Ia menceritakan, mualaf dari Badui terpencar-pencar di 21 titik lokasi, karena mereka banyak yang ikut dengan orang lain yang telah beragama Islam. Bagi mualaf yang baru keluar dari Badui, biasanya tidak memiliki tempat tinggal karena itu dibangun rumah untuk membantu mereka.

Menurutnya, jumlah mualaf dari Badui dari tahun 1990 sampai sekarang ada sekitar 350 orang sampai 400 orang. Namun pendataan masih terus dilakukan untuk mendapatkan jumlah pastinya.

Ustaz Kasja asli orang Badui yang telah memeluk agama Islam pada tahun 1990. Setelah mengenyam pendidikan, dia kembali ke Badui untuk membimbing dan membina para mualaf serta membantu memfasilitasi mereka yang membutuhkan bantuan.

"Sejak 2005 saya merintis supaya mereka (mualaf Badui) ada pembenahan, sampai sekarang saya masih melakukan pembenahan," ujarnya.

Ustaz Kasja prihatin karena masih ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab mengatas namakan mualaf dari Badui untuk mendapatkan keuntungan. Karena itu, dia menjadi koordinator mualaf orang Badui untuk memastikan tidak ada pihak yang mencari keuntungan dengan menjual nama para mualaf.

 

 
Berita Terpopuler