Permendikbudristek 30 Tuai Polemik, Ini Sikap Netizen

Permendikbud 30 memunculkan pro dan kontra di publik.

Alexander Shatov Unsplash
Permendikbudristek 30 Tuai Polemik, Ini Sikap Netizen. Foto: Beragam media sosial (ilustrasi)
Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Diundangkannya Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi menuai polemik di media sosial. Sikap netizen alias warganet terbelah dalam kelompok pro dan kontra menanggapi munculnya beleid tersebut.

Baca Juga

Indonesia Indicator (I2) sebuah sebuah perusahaan Intelijen Media dengan menggunakan piranti lunak kecerdasan buatan (AI) mencatat, sepanjang 28 Oktober-11 November 2021 ruang percakapan media sosial diramaikan dengan isu Permendikbudristek PPKS.

“Berdasarkan data agregat media sosial dalam rentang waktu 28 Oktober -11 November  2021 tercatat sebanyak 48.315 unggahan konten yang memperbincangkan mengenai polemik Permendikbudristek PPKS,”  ujar Direktur Komunikasi Indonesia Indicator (I2), Rustika Herlambang kepada media, Ahad (14/11).

Menurut Rustika, sebanyak 55 persen netizen mendukung diundangkannya Permendikbudristek PPKS. Berdasarkan riset, netizen kelompok pendukung menilai aturan tersebut dapat menekan angka kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Selain itu, kelompok netizen pro juga berpendapat, beleid tersebut juga dapat menjadi payung hukum bagi korban kekerasan agar lebih berani bersuara.

Kelompok pendukung Permendikbudristek PPKS, kata Rustika, mengangkat tagar #DukungPermenPPKS #BerantasPredatorDikampus dan #DukungPermendikbud30 di media sosial. Sementara, kelompok netizen yang menolak atau kontra mencapai 45 persen.

“Netizen kelompok kontra/menolak menilai Permendikbudristek PPKS akan melegalkan seks bebas dan tak sesuai norma hukum, agama dan budaya Indonesia,” ungkap Rustika. Kelompok penolak menyuarakan tagar #CabutPermendikbudristek No30 #IndonesiaTanpaJil dan #NadiemOleng.

Berdasarkan riset I2, ada beberapa poin dalam Permendikbudristek PPKS yang menuai pro dan kontra. Netizen yang mendukung menilai aturan tersebut hadir demi melindungi korban-korban kekerasan seksual di dunia pendidikan. Warganet juga meyakini beleid itu dapat membuat para korban kekerasan seksual berani bersuara.

Kubu pendukung juga meyakini hadirnya aturan tersebut dapat memastikan terjaganya hak warga negara atas Pendidikan. Selain itu, menurut Rustika, aturan dibuat untuk menekan kasus kekerasan seksual di kampus. Netizen yang pro juga menganggap Permendikbud PPKS itu sebagai  langkah alternatif cepat di tengah lamanya proses legislasi RUU PKS.

Sementara, kubu netizen yang kontra terhadap Permendikbudristek itu berpendapat, aturan tersebut bernuansa liberal serta melegalkan seks bebas. Selain itu, aturan azas konsensus dalam aturan tidak sesuai norma hukum di Indonesia. Menurut Rustika, kelompok yang kontra menilai aturan itu cacat formil karena proses penyusunannya tak terbuka. Kubu kontra mendesak perlunya revisi diksi “persetujuan korban” dalam Pasal 5 ayat 2 karena dinilai multitafsir. 

“Jadi kunci dalam perdebatan ini sebenarnya terletak pada frasa “persetujuan korban” yang kemudian diinterpretasikan secara multitafsir oleh berbagai pihak. Selain itu, data analisis juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan emosi yang dimunculkan dari akun yang dideteksi berjenis kelamin laki-laki dan perempuan,”ujar Rustika. 

Secara demografi akun medsos yang membicarakan Permendikbud PPKS itu terdiri dari 76 persen laki-laki dan 24 persen perempuan. Urutan emosi terbesar yang dimunculkan dari percakapan akun perempuan berturut-turut adalah anticipation, trust, dan disgust. Hal ini menunjukkan bahwa akun perempuan sangat berharap besar pada Permendikbud PPKS, meski sebagian kecil perempuan juga mengingatkan soal frasa yang dianggap melegalkan zina tersebut. 

Sementara akun laki-laki, urutan emosi terbesarnya adalah trust, disgust, dan anticipation. Selain ada dukungan kuat, ada juga penolakan yang dimunculkan dari kaum laki-laki. Menurut Rustika, emosi Trust ramai diekspresikan netizen sebagai bentuk dukungan atas Permendikbudristek PPKS. Sedangkan, emosi Anticipation muncul dari berbagai komentar netizen yang berharap agar pemerintah merevisi aturan tersebut. Namun, kata dia, kelompok netizen lain juga berharap agar Permendikbudristek PPKS dapat terus dilanjutkan dan mendapat dukungan. 

 

 

Sebelumnya, Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Nizam, menyebut pembuatan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 telah melibatkan pihak. Salah satu yang diundang dalam penyusunannya adalah organisasi keagamaan.

 

 "Penyusunan Permen tersebut sudah melibatkan banyak pemangku kepentingan, termasuk ormas dan organisasi-organisasi keagamaan. Tentu tidak semua ormas terakomodasi dalam penyusunannya," kata dia dalam pesan yang diterima Republika, Selasa (9/11).

 

 Ia menegaskan, tujuan dibuatnya Permendikbudristek tersebut sangat jelas, yakni mencegah dan mengatasi kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Dengan demikian, pasal-pasal yang diatur dalam aturan itu seputar hal tersebut.

 

Beragam komentar pun bermunculan paska diumumkannya Permenkes yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi itu. Salah satunya menyoroti frasa "tanpa persetujuan korban", yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa.

 

Untuk hal tersebut, Nizam menjelaskan frasa itu dimuat dalam konteks definisi kekerasan seksual. Di sisi lain, untuk pembentukan akhlak mulia serta nilai-nilai luhur sebagai tujuan utama pendidikan sudah secara eksplisit diatur.

 

 "Pembentukan akhlak mulia serta nilai-nilai luhur sebagai tujuan utama pendidikan sudah secara eksplisit diatur mulai dari UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi, hingga Permendikbud Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (Permendikbud No 3/2020). Jadi mohon jangan dicampur adukkan atau diplintir," lanjutnya.

 

Ke depannya, ia menyebut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi akan melakukan sosialisasi, bersama dengan berbagai pemangku kepentingan. Sosialisasi ini dilakukan kepada masyarakat kampus khususnya, agar warga kampus betul-betul aman dan terlindungi dari pelaku kekerasan seksual.

 

 

 
Berita Terpopuler