Krisis Politik Membuat Ekonomi Myanmar Carut Marut

Kudeta militer telah menyebabkan perekonomian Myanmar mengalami kemunduran.

AP/Thein Zaw
Biksu Buddha yang mengenakan masker menerima makanan dari umat saat mereka mengumpulkan sedekah pagi Kamis, 15 Juli 2021, di Yangon, Myanmar.
Rep: Rizki Jaramaya Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID,  YANGON -- Kudeta militer telah menyebabkan perekonomian Myanmar mengalami kemunduran. Kerusuhan dan kekerasan politik mengganggu perbankan, perdagangan, dan jutaan orang jatuh ke dalam kemiskinan.

Baca Juga

Myanmar sudah berada dalam resesi ketika pandemi melanda pada 2020, dan melumpuhkan sektor pariwisata yang menguntungkan.  Pergolakan politik setelah militer menggulingkan pemerintahan sipil pada 1 Februari, telah menambah kesengsaraan bagi sekitar 62 juta penduduk Myanmar. Harga pangan dan kebutuhan lain melonjak tajam, karena nilai mata uang kyat, yang merupakan mata uang nasional telah anjlok.

Kepala kemanusiaan PBB Martin Griffiths pekan lalu mengimbau para pemimpin militer Myanmar untuk mengizinkan akses tanpa hambatan bagi lebih dari 3 juta orang yang membutuhkan bantuan. Griffiths semakin khawatir tentang laporan meningkatnya tingkat kerawanan pangan di seluruh Myanmar. Ratusan ribu orang di negara itu kehilangan pekerjaan, dan terjerumus dalam kemiskinan karena inflasi Myanmar yang meroket.

”Makanan dan obat-obatan impor harganya dua kali lipat dari biasanya, sehingga orang hanya membeli apa yang mereka butuhkan. Dan ketika pedagang menjual barang seharga 1.000 kyat di hari itu, kemudian naik menjadi 1.200 kyat di hari berikutnya, itu berarti penjual merugi saat menjual,” kata seorang pedagang di Mawlamyne, Ma San San.

Menurut Asian Development Bank, ekonomi Myanmar diperkirakan menyusut 18,4 persen pada 2021. Ini merupakan salah satu kontraksi terdalam di suatu negara.

 

 

Sebelum kudeta militer, pemerintahan sipil yang digulingkan telah membuat kemajuan ekonomi Myanmar meskipun berjalan lambat. Setelah puluhan tahun terisolasi di bawah rezim militer pada masa lalu, perekonomian Myanmar lambat laun mulai membaik. Ekspor Myanmar melonjak, serta banyak investor asing mendirikan pabrik garmen dan barang-barang manufaktur ringan lainnya. 

Myanmar menawarkan tenaga kerja usia muda dengan biaya rendah untuk menarik investasi. Selain itu, bisnis swasta bermunculan, sehingga menciptakan lapangan kerja dan memenuhi permintaan yang telah lama hilang seperti ponsel dan mobil. Namun sejak kudeta, perdagangan pasar gelap di Myanmar semakin menggeliat sehingga menyebabkan penimbunan dolar AS.

“Sekarang kebanyakan orang kehilangan kepercayaan pada mata uang Myanmar dan membeli dolar, sehingga harga melonjak,” kata Ketua Asosiasi Produsen dan Distributor Mobil Myanmar, Soe Tun. 

Soe Tun mengatakan, perdagangan telah terhambat oleh kekurangan pasokan  dan melonjaknya biaya. Total perdagangan Myanmar turun 22 persen dari tahun sebelumnya dalam 10 bulan dari Oktober 2020 hingga Juli 2021.

Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengatakan, Myanmar mencatat defisit perdagangan sebesar 368 juta dolar AS.

Semakin sedikit ekspor Myanmar, maka pendapatan dalam mata uang asing terutama dolar makin menurun. Hal ini membuat greenback atau uang kertas dolar AS semakin langka dan berharga dibandingkan kyat.

 

 

Pada Januari, nilai tukar satu dolar AS sekitar 1.300-1.400 kyat. Pada akhir September, nilai tukar mencapai rekor tertinggi yaitu 3.000 kyat.Hal itu telah mendorong kenaikan harga kyat untuk kebutuhan pokok seperti minyak goreng, kosmetik, makanan, elektronik, bahan bakar, dan perlengkapan lain yang harus diimpor menggunakan dolar.

Beberapa orang membentuk kelompok penukaran uang untuk menukar kyat dengan dolar secara daring terlepas dari risikonya. Bank sentral belum lama ini mengeluarkan pemberitahuan yang melarang transaksi tidak resmi semacam itu.

"Penukaran secara daring lebih mudah akhir-akhir ini.  Anda dapat dengan mudah menemukan orang yang ingin membeli atau menjual.  Tetapi Anda perlu membangun kepercayaan antara penjual dan pembeli. Ada juga scammer online,” kata Ko Thurein, yang sering mengunggah penjualan dolar di Myanmar Money Changer Group.

Pihak berwenang Myanmar menangguhkan impor kendaraan mulai 1 Oktober untuk menghemat devisa.  Untuk menahan jatuhnya kyat, Bank Sentral Myanmar telah melakukan intervensi di pasar sebanyak 36 kali sejak Februari.  Tetapi operasi semacam itu hanya berdampak kecil, karena sebagian besar dolar yang dijual oleh bank sentral digunakan untuk bisnis pro-militer.

“Beberapa orang mengatakan dolar yang dikeluarkan oleh bank sentral tidak memenuhi permintaan domestik, dan kami menerima bahwa itu benar,” ujar kepala juru bicara pemerintahan militer Myanmar, Zaw Min Tun.

 

“Sebagai pemerintah, kita harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi di zaman kita daripada menyalahkan masa lalu. Saya ingin mengatakan bahwa pemerintah kita bekerja keras untuk menemukan solusi terbaik," kata Zaw Min Tun.

Zaw Min Tun, mengatakan, Myanmar sedang mengerjakan proyek pembangkit listrik tenaga air dan angin jangka panjang. Pembangunan ini merupakan upaya untuk menghemat energi dan memotong impor, karena tidak dapat menutupi permintaan bahan bakar.

Pemimpin tertinggi militer Min Aung Hlaing telah mendesak masyarakat untuk membantu mengurangi penggunaan energi.

Kelangkaan bahan bakar telah menjadi masalah utama di Myanmar. Hal ini disebabkan kenaikan harga minyak global, dan biaya bensin yang diimpor. Myanmar memiliki kapasitas penyulingan yang sedikit, sehingga harga bensin meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi sekitar 1.500 kyat per liter dari sekitar 700 kyat pada Januari.

 “Sulit untuk membeli dolar, dan perusahaan minyak tidak lagi menjual secara kredit. Anda tidak dapat membeli semua yang Anda inginkan dan kami kesulitan membangun kepercayaan dengan mereka. Jadi kami hanya berusaha untuk tidak kehilangan terlalu banyak saat ini," kata seorang pejabat dari Max Energy, konglomerat besar yang mengoperasikan puluhan stasiun pengisian bahan bakar.  

“Bahkan di negara kami, orang tidak saling percaya, dan tidak diragukan lagi bahwa orang asing tidak mempercayai kami.  Itu juga karena sistem perbankan sedang kacau,” kata pejabat itu, yang berbicara dengan syarat anonim.

 

 

 

 

 
Berita Terpopuler