Hikmah Kisah Perjalanan Nabi Musa Menemui Nabi Khidir

Kisah perjalanan Nabi Musa diabadikan dalam Alquran.

Dok Republika
Hikmah Kisah Perjalanan Nabi Musa Menemui Nabi Khidir. Foto: Alquran (ilustrasi)
Rep: Andrian Saputra Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik dalam kisah perjalanan Nabi Musa mencari Nabi Khidir untuk memperoleh ilmu Allah Subahanahu wa Ta'ala. Kisah perjalanan nabi Musa ini diabadikan dalam Alquran yaitu pada surat Al Kahf terutama pada ayat 60-65.

Baca Juga

Pakar tafsir Alquran yang juga dosen Ilmu Tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ustaz Dr. Syahrullah Iskandar menjelaskan hikmah-hikmah dalam setiap ayat tentang kisah perjalanan nabi Musa mencari nabi Khidir. 

Dalam kajian tafsir kitab Al Qishah fi Al Quran Al Karim karya Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi yang diselenggarakan virtual oleh Nasaruddin Umar Office (NUO) beberapa waktu lalu, ustaz Syahrullah mengatakan bahwa perjalanan nabi Musa menemui nabi Khidir menggambarkan begitu gigihnya nabi Musa dalam mencari ilmu Allah. Selain itu tergambar tentang bagaimana perlakuan Nabi Musa kepada orang yang menemani perjalanannya menemui nabi Khidir. 

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّىٰ أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun" (Alquran surat Al Kahf ayat 60). 

Ustaz Syahrullah mengatakan ayat tersebut menjelaskan percakapan nabi Musa dengan fatahu. Sebagian mufasir berpendapat fatahu berarti ponakan nabi Musa, ada juga yang berpendapat itu adalah pengikut setia nabi Musa, dan ada juga pendapat bahwa itu adalah murid nabi Musa, dan ada yang menyebut fatahu itu adalah murid nabi musa bernama Yusa' bin Nun. Meski begitu Alquran tidak menyebut spesifik siapa orang yang diajak bicara nabi Musa pada ayat ke-60 surat Al Kahf. 

Menurut ustaz Syahrullah kata fatahu juga menunjukan bagaimana nabi Musa memuliakan orang yang diajak bicara itu. Dari percakapan ini, menurut ustaz Syahrullah dapat dipetik hikmah agar memuliakan orang yang menjadi teman bicara dan memanggilnya dengan panggilan yang bagus dan tidak merendahkan. Sebab fatahu sendiri menurut ustaz Syahrullah bisa berarti anak muda. 

"Ungkapan fatahu itu merupakan ungkapan yang memuliakan seseorang. Meskipun mungkin posisinya dia di bawah nabi Musa. Tapi Alquran menyebutnya fatahu, seorang pemuda. Padahal boleh jadi orang itu adalah hambanya (pembantunya) nabi Musa tapi Alquran tak menyebutnya dengan 'Abd," kata ustaz Syahrullah yang juga pengasuh Pondok Pesantren Bayt Alquran-Pusat Studi Alquran Jakarta. 

"Maka disini ada keteladanan yang diberikan Nabi Musa. Bahwa seseorang meskipun yang bergaul dan berinteraksi dengan dirinya lebih rendah derajatnya, sosialnya atau ekonominya atau akademiknya tetapi tetap kita mengangkat derajat orang itu, memuliakan orang itu, termasuk dalam sebutan-sebutan pada orang tersebut kita muliakan," katanya.  

Pada ayat ke-60 itu Nabi Musa mengatakan pada muridnya bahwa Nabi Musa tidak akan berhenti dalam melakukan pencarian terhadap sosok orang yang telah diberitahukan Allah dan juga tempat bertemunya yaitu di Majmaal Bahrain atau dua laut yang bertemu. Ustaz Syahrullah mengatakan pernyataan Nabi Musa itu menunjukan bahwa Nabi Musa sangat gigih untuk memperoleh ilmu dari sosok orang tersebut.

Perjalanan nabi Musa menemui sosok orang yang ditunjukan Allah itu sebenarnya dilatarbelakangi ketika nabi Musa berkhutbah dihadapan bani Israil. Dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa orang-orang Bani Israil bertanya kepada nabi Musa tentang apakah ada orang yang lebih tinggi ilmu pengetahuannya dari nabi Musa. Nabi Musa menjawab tidak ada orang yang lebih tinggi ilmunya dari dirinya. Maka Allah Subahanahu wa Ta'ala pun memperingatkan nabi Musa. 

Allah mewahyukan kepada nabi Musa bahwa ada seseorang yang sangat 'alim di muka bumi yang bahkan ketinggian ilmunya melebihi Nabi Musa. Mengetahui hal itu Nabi Musa pun memohon kepada Allah untuk bisa dipertemukan dengan sosok orang yang 'alim itu. Hal ini sekaligus menunjukkan betapa tingginya hasrat nabi Musa untuk berguru kepada orang yang lebih 'alim darinya itu. 

Sementara tentang Majmaal Bahrain atau dua laut yang bertemu yang nantinya menjadi tempat pertemuan Nabi Muda dengan sosok orang yang dicarinya itu, pada ahli tafsir berbeda dan. Ada yang berpendapat lokasinya adalah di daerah Tunis, ada juga yang berpendapat itu di Palestina, namun ada juga yang menyebut itu adalah Mesir. 

Selain itu menurut ustaz Syahrullah dari perkataan nabi Musa pada ayat ke-60 juga dapat diambil pelajaran bahwa ketika seseorang akan menuntut ilmu maka ia harus mempersiapkan untuk mengorbankan tenaganya, waktunya, hingga hartanya. 

Lebih lanjut ustaz Syahrullah menjelaskan bahwa sebelum Nabi Musa berangkat bersama muridnya yaitu Yusa'bin Nun, Allah telah memerintahkan Nabi Musa untuk membawa perbekalan salah satunya adalah ikan yang sudah mati. Allah memberitahukan pada Nabi Musa bahwa apabila ikan itu hilang dalam perjalan, maka Nabi Musa telah berada di Majmaal Bahrain yang menjadi tempat keberadaan orang yang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Nabi Musa. 

Ketika perjalanan Nabi dan Yusa' bin Nun telah sampai pada satu tempat, yang ternyata itu adalah Majmaal Bahrain, Ikan yang sudah mati dan ditempatkan di sebuah tempat itu tiba-tiba hidup dan meloncat dan mencari jalannya ke laut. Kejadian yang ajaib itu disaksikan langsung oleh Yusa' bin Nun. Sebab ia yang membawa perbekalan itu. Dan menurut ustaz Syahrullah ini menunjukan bahwa sebagai murid Yusa' bin Nun sangat memuliakan gurunya dengan membawakan perbekalan dalam perjalanan Nabi Musa. 

 فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا

Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. (Alquran surat Al Kahf ayat 61). 

Ustaz Syahrullah menjelaskan bahwa sejatinya Yusa'bin Nun sudah punya niatan untuk menginformasikan kejadian itu pada nabi Musa. Namun setan menghalangi Yusa' hingga ia pun lupa untuk menyampaikannya pada Nabi Musa.

Setelah melalui perjalanan panjang, Nabi Musa dan Yusa'bin Nun beristirahat. Nabi Musa lantas meminta Yusa' mengeluarkan perbekalan termasuk ikan yang dibawa. 

فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبًا

Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini". (Alquran surat Al Kahf ayat 62). 

 

Ustaz Syahrullah menjelaskan bahwa dhamir atau kata ganti kita dalam ayat ke-62 menunjukan bagaimana Nabi Musa sangat perhatian terhadap muridnya. Bahwa bekal itu bukan saja untuk Nabi Musa sendiri melainkan juga untuk muridnya. 

Dan pada saat Nabi Musa mempertanyakan bekal itu, Yusa' bin Nun baru tersadar bahwa ia lupa menyampaikan pada Nabi Musa tentang kejadian luar biasa yang dilihatnya dimana ikan yang menjadi bekal perjalanan mereka justru bisa hidup lagi dan loncat ke laut. 

قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ ۚ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا

Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali" (Alquran surat Al Kahf ayat 63).

Nabi Musa pun memberitahu Yusa' bahwa tempat dimana ikan itu hilang sejatinya adalah tempat tujuan Nabi Musa. Maka Nabi Musa dan Yusa'bin Nun kembali ketempat dimana ikan itu hilang. 

قَالَ ذَٰلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ ۚ فَارْتَدَّا عَلَىٰ آثَارِهِمَا قَصَصًا

Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula  (Alquran surat Al Kahf ayat 64).

Maka setelah berada di Majmaal Bahrain, Nabi Musa dan Yusa'bin Nun bertemu dengan seorang hamba Allah.

فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.  (Alquran surat Al Kahf ayat 65).

Ustaz Syahrullah menjelaskan kata 'Abd dalam ayat ke-65 berarti orang yang saleh, tawadhu, berilmu dan mulia di sisi Allah. Sebab pada kelanjutan ayat itu disebutkan bahwa sosok 'Abd itu diberikan rahmat Allah dan mendapatkan ilmu langsung dari Allah. Dalan sejumlah riwayat menyebutkan bahwa 'Abd itu adalah Nabi Khidir. Nama Khidir sendiri mengandung makna hijau. Sebab disebutkan bahwa sosok 'Abd itu duduk dan dibelakangnya hijau. Namun demikian Alqiran tidak menyebutkan tentang nama Khidir. 

Lalu apakah nabi Khidir seorang Nabi? Ustaz Syahrullah menjelaskan bahwa Alquran tidak menyebut secara langsung bahwa 'Abd itu adalah nabi. Tetapi melihat rangkaian redaksi ayat ke-65 di mana 'Abd adalah sosok orang yang memperoleh rahmat dan ilmu langsung dari Allah Subahanahu wa Ta'ala maka dapat diketahui sosok 'Abd yang dalam sejumlah riwayat disebut bernama Khidir adalah seorang nabi. 

Menurut ustaz Syahrullah di samping kisah perjalanan Nabi Musa mencari Nabi Khidir tersebut setidaknya ada beberapa hal yang dapat diambil hikmah. Yaitu ketika seseorang telah mempunyai ilmu maka haruslah rendah hati. Selain itu ketika seseorang telah memiliki ilmu maka tidak boleh berpuas diri untuk menuntut ilmu. Sebab ketika orang yang berilmu berhenti menuntut ilmu maka itulah awal dari kebodohan bagi orang tersebut. 

Selain itu kisah Nabi Musa juga mengajarkan bahwa untuk mencari ilmu dan guru itu tidak memandang status sosial, ekonomi dan lainnya. Dan dalam mencari ilmu pun seseorang harus bersiap dan bersabar karena perlu proses yang panjang mendapatkannya. 

"Terlihat juga bagaimana sikap murid pada gurunya, Yusa bin Nun sebagai murid setia mengikuti gurunya (Nabi Musa). Dan interaksi yang dibangun antara guru dan murid pun harus interaktif, guru mengangkat derajat muridnya, seperti Nabi Musa kepada Yusa' bin Nun," katanya. 

 
Berita Terpopuler