Millenials Mari Take Over Hari Pahlawan!

Para milenial harus beri makna baru sosok pahlawan

REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Massa dari berbagai ormas Islam berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu (10/11). Dalam unjuk rasa yang bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan tersebut, mereka mengkritisi sejumlah permasalahan di Indonesia seperti isu kesehatan, jaminan perlindungan buruh dan pekerja, permasalahan hutang negara, serta mengingatkan pemerintah untuk tidak berbisnis dengan rakyat. Foto: Republika/Abdan Syakura
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Verdy Firmantoro, Dosen Uhamka dan Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

Generasi milenial banyak tampil menjadi pelopor dan pemimpin perubahan. Di satu sisi kondisi tersebut positif sebagai tanda terpangkasnya elitisme sirkulasi generasi. Di sisi lain, pergeseran yang disruptif relatif mengganggu kenyamanan posisi dan pikiran-pikiran konvensional. Gerbong pemuda berpotensi mengambil alih pos-pos strategis di berbagai lini. Mereka tengah menafsir ulang pemahaman atas kepahlawanan di masa kini.

Setidakanya di dua bidang, wajah dunia bisnis dan kepemimpinan sudah tak asing diisi kawula muda. Selain secara de facto, generasi di bawah 40 tahun mengepung lebih dari 60 persen jumlah penduduk Indonesia. Akumulasi itu berasal dari angka generasi milenial, gen z dan post gen z (BPS, 2020). 

Usia generasi tak hanya diminta bersahabat secara fisik, tapi juga diorientasikan mengikuti gerak zaman. Turbulensi manusia seringkali terjadi karena ketidakmampuan beradaptasi. Pikirannya ditundukkan oleh rutinitas dan sistem yang membelenggu.

Sementara era terus berubah tanpa pakem. Akibatnya nostalgia terhadap kebesaran masa lalu melupakan tuntutan merajut masa depan. Pertanyaannya untuk menjadi pahlawan, apakah harus angkat senjata melawan penjajah? Sementara penjajah terbesar saat ini bukan lagi kolonial, tapi krisis moral dan kepercayaan diri. 

Surplus Teknologi dan Defisit Nilai?

Ketika nama-nama pahlawan nasional absen dari memori anak bangsa, di situ ada gejala generasi kehilangan keteladanan. Bagaimana mau mengambil alih kepemimpinan jika kita tak ramah dengan nilai-nilai peradaban. Jika pun tanpa berpegang nilai mampu melakukan take over, lantas apa yang bisa diharapkan untuk memperbaiki keadaan?

Tantangan generasi muda saat ini semakin kompleks. Generasi muda diharapkan menjadi solusi atas berbagai problematika. Namun, realitas menguji kualitas, ketika gerbong itu berada di persimpangan. Alih-alih teknologi memudahkan koneksi, tapi juga menggusur nilai-nilai kearifan. 

Disorientasi dan gegar budaya menjadi ancaman yang serius. Perkembangan teknologi tanpa disertai pemahaman literasi akan mengarah pada hal-hal yang kontraproduktif. Laporan Digital Civility Index (DCI) tahun 2020 yang menempatkan netizen Indonesia paling tidak sopan se-Asia Tenggara tentu penting menjadi refleksi kritis bersama. Temuan itu menunjukkan bahwa kemajuan zaman bisa juga kemunduran tindakan.

Krisis karakter itu bukan take over, tapi game over. Sebab kegagalan mempersiapkan diri menjadi gerbang kegagalan menata generasi. Namun, jika gerbong pemuda mampu merawat asanya seperti ilustrasi Jamie Notter & Maddie Grant dalam bukunya When Millenials Take Over, tak berlebihan jika berharap kepemimpinan yang transformasional. Anak muda tak hanya mewarisi buku sejarah, tapi juga mengukir sejarahnya sendiri. 

 

 

 

 

Milenial sebagai Simpul Kolaborasi

Deretan figur milenial menempati jabatan publik atau memimpin perusahaan sebagai representasi sirkulasi kepemimpinan. Anak-anak muda tak harus antre panjang mengikuti pola lama. Melalui kapasitas dan kreativitas, justru merekalah yang dibutuhkan zaman. Berpikir out of the box, berlaku anti mainstream menjadi pola pikir dan pola sikap yang adaptif. 

Tak jarang baik gagasan atau gerakan bersumber dari kontribusi milenial. Anak mudah cukup lincah karena relatif tak punya beban sejarah. Pikirannya merdeka dengan lompatan mimpi-mimpi yang mampu menembus dinding keterbatasan. Usianya memasuki keemasan dengan jangkauan yang panjang.

Gerbong milenial dapat mejadi simpul dan saluran komunikasi. Artinya ia berkesempatan meneruskan perjuangan generasi sebelumnya dan melayani kebutuhan generasi setelahnya. Posisi yang sangat krusial. Saat melanjutkan estafet kepemimpinan dituntut memberi perubahan yang berarti. Sementara ketika menyiapkan regenerasi diproyeksikan seirama dengan laju teknologi.  

Milenial itu bukan hanya usia, tapi juga soal mindset dan kedewasaan psikologis. Pikirannya tak sempit, sikapnya tak egois. Simpul milenial adalah pusat kolaborasi. Sebab di situ tak hanya bicara soal aku atau kamu, tapi kita. Kita yang siap saling bekerjasama, kita yang sanggup berguna untuk bangsa. 

Pahlawan Digital

Kembali ke pertanyaan awal, apakah yang dikatakan pahlawan itu harus angkat senjata melawan penjajah? Apakah bukan pahlawan, orang yang membawa harum nama bangsa dengan prestasi? Apakah bukan pahlawan, tenaga medis yang berjibaku membantu penanganan pandemi? Apakah bukan pahlawan, para orang tua dan guru yang telah mendidik generasi?

Menjawab pertanyaan di atas, kita perlu merenung memaknai hakikat kepahlawanan di masa kini. Pahlawan itu tak hanya angkat senjata, tapi mengangkat harkat martabat bangsa juga layak disebut pahlawan. Dalam konteks millenials take over, anak muda dapat mengisi ruang-ruang strategis. Mengambil peran tak perlu menunggu, kita dapat memulai dari diri sendiri. Kita mulai dari hal-hal kecil sampai tercipta gelombang perubahan yang dicita-citakan.

Momentum hari pahlawan dapat menjadi pijakan untuk kembali mengingat pesan-pesan kebangsaan para pendiri bangsa. Setidaknya jika mereka dahulu telah berjuang mengantar kita ke gerbang kemerdekaan, tugas kita berikutnya memasuki gerbang itu dengan karya-karya keteladanan. 

Di era digital, spirit kepahlawanan dapat dikembangkan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Perangkat itu dapat menjembatani aneka ragam gagasan dan gerakan. Kapasitas yang inovatif menjadi titik tumpu gerbong kepemudaan. 

Anak muda tak perlu diberikan karpet merah. Siapa saja yang saat ini mempersiapkan diri, kelak ada masanya memimpin negeri. Seperti halnya pahlawan, ia tak hanya berani, tapi juga mempunyai komitmen kebangsaan yang tinggi. Oleh karena itu, ada yang jauh lebih utama daripada sekedar mengambil alih segalanya adalah melayani generasi dan menyiapkan regenerasi.

 
Berita Terpopuler