Derita Petani Palestina, Punya Tanah, Tapi Dijaga Israel

Petani di Desa Qaffin hanya diizinkan mengunjungi kebunnya tiga kali dalam sepekan.

AP / Oded Balilty
Para petani Palestina mengendarai truk bermuatan terong dekat kota Tepi Barat Jericho di Lembah Jordan, Selasa, 30 Juni 2020. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tampaknya bertekad untuk melaksanakan janjinya untuk mulai mencaplok bagian-bagian Tepi Barat yang diduduki, mungkin secepat Rabu.
Rep: Kamran Dikarma/Rizki Jarayama Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, Tiga hari dalam sepekan, para petani Palestina di desa Qaffin, Tepi Barat, berbaris di depan sebuah gerbang kuning. Mereka hendak mengunjungi kebunnya yang terletak di balik tembok pemisah Israel. Namun sebelum melintas, mereka satu per satu harus menunjukkan surat izin militer ke tentara Israel yang berjaga.

Pemandangan demikian sudah lumrah, tapi sebenarnya janggal. Sebab para petani Palestina itu sesungguhnya hendak menyambangi tanah mereka sendiri. Mereka mengungkapkan, pembatasan Israel semakin ketat dari waktu ke waktu. Meski memiliki kebun, hidup tetap terasa sulit.

Ibrahim Ammar adalah salah satu petani Palestina yang harus rutin menghadapi pemeriksaan tentara Israel saat hendak menyambangi kebunnya. Dulu, dia menanam beraneka buah dan sayur, termasuk semangka serta jagung.

Namun sekarang, ia hanya menanam zaitun dan almon. Alasannya, dua tanaman tersebut hanya memerlukan sedikit perhatian atau perawatan. Pembatasan akses oleh Israel membuat Ammar tak bisa menyemai beraneka ragam sayur atau tanaman lain. Sebab dalam sepekan, dia hanya diizinkan mengunjungi kebunnya tiga kali.

Meski masih bisa menanam zaitun dan almon, kegiatan Ammar sebagai petani tak serta merta menjadi mudah. Saat panen tiba, dia tetap hanya diperkenankan mengunjungi kebunnya selama tiga kali dalam sepekan. Saat Ammar mengajak anggota keluarganya untuk membantunya menuai hasil panen, izin mesti diajukan ke tentara Israel.

“Ayah saya, kakek saya, mereka sangat bergantung pada tanah. Sekarang saya tidak bisa menghidupi diri sendiri dan anak-anak saya,” kata Ammar.

Untuk menambal pendapatan yang tak seberapa, Ammar memutuskan bekerja sampingan sebagai sopir taksi. Berbeda dengan Ammar, petani Palestina lainnya, Taysir Harashe, mengaku sudah frustrasi dengan penerapan pembatasan akses oleh Israel. “Tiga hari tidak cukup untuk merawat tanah. Tanah ini semakin buruk,” ujarnya.

Menyiasati kesulitannya, Harashe memutuskan bercocok tanah dengan memanfaatkan bagian atap rumahnya. PBB memperkirakan, sekitar 150 komunitas Palestina menghadapi kesulitan yang sama dengan Ammar dan Harashe.

Baca Juga

HaMoked, sebuah kelompok hak asasi Israel yang membantu warga Palestina memperoleh izin akses mengatakan, kondisi para petani Palestina kian memburuk. Berdasarkan data yang mereka peroleh dari militer, 73 persen dari pengajuan izin akes yang dikirim warga Palestina, ditolak tahun 2020 lalu. Angka itu meningkat tajam jika dibandingkan 2014, yakni 29 persen.

Pada 2014, Israel berhenti memberi izin kepada kerabat para petani Palestina, kecuali mereka terdaftar sebagai pekerja pertanian di lahan yang lebih besar. Pada 2017, militer Israel mulai membagi kepemilikan yang lebih besar di antara anggota keluarga besar warga Palestina.

Lahan, apa pun yang lebih kecil dari 330 meter persegi, tidak dilanjutkan secara pertanian. Pemilik, yang disebut “petak kecil” ditolak izinnya. “Tidak ada pembenaran keamanan. Mereka telah memutuskan bahwa Anda memiliki sebidang tanah yang menurut mereka terlalu kecil untuk ditanami,” kata Direktur HaMoked Jessica Montell di hadapan Mahkamah Agung Israel.

Montell menjelaskan, sementara peraturan lain, seperti berapa banyak tangan yang dibutuhkan untuk merawat berbagai tanaman, disandarkan pada perhitungan rumit. “Mereka mengatakan, jika Anda menanam mentimun, Anda bisa mendapatkan sekian jumlah pembantu per dunam,” ucapnya.

Sementara militer Israel menampik bahwa pembatasan yang mereka terapkan bertujuan menyulitkan kehidupan warga Palestina. Sebaliknya, mereka mengklaim tindakan semacam itu diterapkan untuk memastikan tatanan kehidupan yang lancar bagi semua pihak.

Kemudian terkait tembok pembatas, Israel mengatakan hal itu tidak dimaksudkan untuk menggambarkan perbatasan permanen. “Pagar itu dibangun hanya untuk kebutuhan keamanan saja,” kata Netzah Mashiah, pensiunan kolonel Israel yang mengawasi pembangunan tembok pembatas di Tepi Barat hingga 2008.

Menurut dia, saat proses pembangunan berlangsung, tembok pembatas itu mungkin bakal menjadi perbatasan di masa depan. “Tapi itu bukan tujuan pagar ini,” ujarnya.

Pengenalan wajah

Penindasan Israel terhadap bangsa Palestina tidak hanya soal lahan pertanian. Israel juga mengambil privasi rakyat Palestina melalui kamera pengenalan wajah.

Israel telah mengerahkan program pengenalan wajah di Tepi Barat yang diduduki selama dua tahun terakhir. Israel menggunakan perangkat seluler untuk mengambil foto wajah orang Palestina, kemudian dicocokkan dengan basis data.

Program pengenalan wajah itu disebut sebagai Blue Wolf. Seorang mantan perwira Israel menyebut program itu sebagai "Facebook untuk Palestina". Aplikasi akan berkedip dan memunculkan warna yang berbeda, untuk menunjukkan apakah seseorang yang telah difoto harus ditahan.

Tahun lalu, Tentara Israel berpartisipasi dalam sebuah kompetisi siapa yang dapat menangkap jumlah foto wajah warga Palestina terbanyak. Mereka mengambil foto anak-anak dan orang tua, dengan jumlah total mencapai ribuan.

Beberapa warga Palestina, terutama wanita yang lebih tua, dilaporkan menolak untuk difoto. Tetapi tentara Israel akan memaksa mereka untuk mematuhinya.

 
Berita Terpopuler