Terseok-seok di Serie A, Apa Sebab Juventus Digdaya di UCL?

Allegri kembali ke Juventus ketika tim diisi banyak wajah baru.

Paola Garbuio/LaPresse via AP
Pelatih Juventus Massimiliano Allegri.
Rep: Frederikus Bata Red: Endro Yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juventus dengan mudahnya lolos ke babak 16 besar Liga Champions UEFA (UCL) musim ini. Setelah menyelesaikan empat pertandingan di Grup H, Juve pun melaju.

Masih ada dua partai tersisa. Andai gagal meraih poin penuh di sejumlah laga mendatang, posisi Bianconeri sudah di level aman.

Mungkin saja pelatih Juve Massimiliano Allegri masih mengincar status juara grup. Terkait hal itu, pasukan Juve akan bersaing dengan Chelsea.

Sebelum sampai pada pertemuan kedua kubu, sorotan penikmat sepak bola tertuju pada kondisi Si Nyonya Tua dalam dua kaca mata. Sangat kontradiktif.

Juventus yang digdaya di Eropa, melempem di Serie A Liga Italia. Setidaknya hingga giornata ke-11. Mengapa demikian?

Pada intinya, klub asal Kota Turin itu enggan terbiasa bermain dengan garis pertahanan tinggi. Ini salah satu budaya Juventus selama puluhan tahun.

Si Nyonya Tua cenderung memperkuat lini belakang, kemudian memikirkan serangan balik. Sebenarnya dalam 10 tahun terakhir, perlahan tapi pasti, taktik Juve lebih fleksibel.

Tidak seperti Liverpool, Bayern Muenchen, atau bahkan Barcelona yang selalu menjadi diri sendiri saat berhadapan dengan tim mana pun, skuad Bianconeri cenderung menyesuaikan dengan kapasitas lawan. Ada saatnya Juve menyerang, atau memilih lebih turun ke belakang.

Allegri sangat menguasai strategi ini. Sayangnya, ia kembali ke Juventus yang diisi banyak wajah baru. Ia perlu melihat sejauh mana kualitas anak asuhnya. Alhasil dalam empat laga perdana di Serie A, timnya gagal meraih kemenangan.

Juve baru bisa berjaya di markas Malmo pada pentas Liga Champions. Dua keadaan itu sudah menggambarkan perjalanan pasukan hitam-putih sejauh musim ini bergulir.

Baca Juga

Allegri nampak terlalu berhati-hati di liga domestik. Saat kebobolan di menit-menit terakhir, ia lantas menginstruksikan anak asuhnya untuk menyerang. Sayangnya, dalam situasi demikian, Juve rentan terkena serangan balik. Itu terlihat dalam duel melawan Udinese dan Sassuolo.

Sejak menit pertama, Allegri tidak memasang para penyerangnya untuk lebih dekat dengan area pertahanan lawan. Alhasil, pemain-pemain seperti Paulo Dybala, Federico Chiesa, dan Alvaro Morata kesulitan mendapatkan pasokan bola. Ketiganya bukan tipikal petarung dan lebih bertaji jika timnya memainkan strategi menyerang.

Itu terlihat dalam partai Bianconeri melawan Zenit Saint Petersburg pada matchday keempat Liga Champions. Setelah kebakaran jengkot karena mengalami dua kekalahan terakhir di Serie A, Allegri menginstruksikan anak asuhnya tampil menekan sejak awal. Wakil Italia itu unggul 4-2 atas Zenit di Stadion Allianz, Turin, Rabu (3/11) dini hari WIB.

Statistik menunjukkan Juventus menguasai bola hingga nyaris 60 persen. Tuan rumah melepaskan 26 tembakan dengan 12 di antaranya mengarah ke gawang lawan. Taktik ini bukannya tanpa kelemahan.

Zenit bisa menciptakan 12 tembakan, dengan empat shots on target. Tapi setidaknya Juve jauh lebih mengancam. Meski pada saat yang sama, berisiko kebobolan.

"Saya pikir ketika Anda mengambil risiko, wajar jika Anda dapat mencetak gol dengan lebih mudah. Anda memiliki lebih banyak peluang untuk mencetak gol dengan lebih banyak pemain yang mendekati gawang lawan. Kami bermain bagus dalam serangan dan kami bahkan bisa melakukannya, mencetak beberapa gol lagi," ujar Dybala, dikutip dari uefa.com.

Artinya La Joya, julukan Dybala, nyaman dengan pendekatan seperti ini. Ia tidak perlu bersusah payah turun ke tengah, lalu membangun serangan dengan melewati para pemain bertubuh tinggi besar. Pertanyaannya, beranikah Allegri konsisten menerapakan taktik seperti ini?

Para pemain Juventus melakukan selebrasi pada akhir pertandingan sepak bola Grup H Liga Champions antara Juventus dan Zenit St Petersburg, di Stadion Allianz di Turin, Italia, Rabu dini hari WIB, 3 November 2021. - (Marco Alpozzi/LaPresse via AP)

Jawabannya, bisa iya, bisa tidak. Kuncinya cuma satu. Saat membangun serangan dari belakang, para penggawa Si Nyonya Tua harus bisa mempertahankan penguasaan bola senyaman mungkin. Ini agar tidak mudah direbut oleh kubu lawan.

Tampaknya Allegri masih ragu. Pelatih usia 54 tahun ini belum memiliki kemantapan hati layaknya Juergen Klopp atau Hansi Flick. Itu tercermin lewat kata-katanya usai duel kontra Zenit.

"Lima menit terakhir adalah tipikal tim ini. Saat unggul 4-1, kami memiliki empat serangan balik, dan kami tidak menyelesaikan dengan baik. Kami akhirnya kebobolan satu gol," jelas Allegri.

Allegri terlalu khawatir akan kebobolan. Sementara para klub raksasa Eropa lainnya, lebih cenderung memikirkan kemenangan besar. Namun keadaan bisa berubah.

Allegri tentu melihat timnya menang mudah atas Malmo dan Zenit dengan gaya menyerangnya. Tapi Juve meraih kemenangan buruk atas AS Roma dan Torino, serta dikalahkan Verona dan Napoli, ketika memulai laga dengan garis pertahanan rendah.

 
Berita Terpopuler