Terpikat Sholat Menjadi Alasan Mualaf Sari Sukma Masuk Islam

Sari Sukma Dewi mengagumi gerakan dan bacaan sholat

Dok Istimewa
Sari Sukma Dewi mengagumi gerakan dan bacaan sholat. Sari Sukma Dewi
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, — Seorang mualaf, Sari Sukma Dewi, merasakan betapa besarnya pengaruh pertemanan. Menurut perempuan yang menjadi Muslimah sejak 1994 itu, hidayah Ilahi diterimanya melalui perantaraan teman. Pemilik nama Tionghoa Chung Sin Yin ini pun bersyukur ke hadirat Allah SWT karena Dia telah menakdirkannya untuk berislam. 

Baca Juga

Wanita yang kini berusia 59 tahun itu mengenang kisah hidupnya. Kepada Republika, ia menuturkan bahwa dahulu dirinya pertama kali tertarik untuk mengenal Islam. Itu terjadi setelah beberapa waktu lamanya ia berpisah dengan suaminya.

Dewi pada mulanya menetap di Jakarta, tetapi kemudian kembali pulang ke daerah tempat kelahirannya, Karawang, Jawa Barat. Di sana, ia memilih pekerjaan sebagai seorang instruktur senam.

Dewi mengenang, saat itu kehidupan religinya tidaklah terlalu menonjol. Baginya, agama yang dianutnya ketika itu hanyalah sekadar identitas. Hampir-hampir tidak pernah dirinya beribadah.

Sebagai seorang yang berdarah Tionghoa, Dewi menjalani ritual budaya dari tradisinya itu. Misalnya, ketika datang hari-hari besar, ia pun berkunjung ke rumah orang tuanya.

Singkatnya, ia merasa tak memiliki pengalaman spiritual apa pun sebelum memutuskan untuk berislam. Karena itu, lanjutnya, hidayah Ilahi yang me nyentuh hatinya adalah salah satu bukti kemahakuasaan Allah SWT. Cahaya petunjuk Ilahi datang tanpa sebelumnya ia mengetahui. Hidayah diterimanya dari arah yang tak pernah disangka.

Sebagai seorang instruktur senam, Dewi sering mendapatkan panggilan privat. Pada 1994, sekelompok ibu-ibu muda memintanya untuk menjadi guru senam bagi mereka.Permintaan itu disanggupinya. 

Di antara mereka, terdapat seorang yang terlihat lebih taat beribadah. Ibu muda itu merupakan seorang Muslimah. Beberapa kali Dewi mendapati, murid senamnya itu pamit sebentar ketika masuk waktu sholat . Bahkan, pada akhirnya seluruh ibu-ibu itu rehat sejenak dari latihan senam setiap azan berkumandang. Semuanya sholat  berjamaah.   

 

Dewi yang saat itu masih menganut agama non-Islam sering memperhatikan mereka diam- diam. Para ibu muda itu berwudhu, lalu sholat bersama-sama. Entah mengapa, terpancar rasa damai dari mereka semua, terlebih ketika para perempuan itu bersujud ke arah yang sama. 

“Apalagi, saat saya melihat mereka bersujud, terasa sekali penghambaan diri manusia kepada Tuhan Yang Mahatinggi,” ujar dia kepada Republika, baru-baru ini.

Selama beberapa waktu, Dewi memperhatikan cara mereka beribadah. Ia kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada seorang dari mereka. Sebut saja namanya Teti. 

Karena sering menyaksikan ibu-ibu muda itu beribadah, Dewi akhirnya hafal gerakan-gerakan sholat . Akan tetapi, dirinya belum memahami bacaan yang diucapkan mereka saat sholat  itu. Apa makna dan maksud doa-doa itu? 

Teti tidak langsung menjelaskan secara panjang lebar. Beberapa hari kemudian, barulah dia meminjamkan sebuah buku tuntunan sholat  kepada Dewi. Instruktur senam itu menerimanya dengan senang hati. Tiap waktu luang, buku itu dibacanya dengan saksama.

Dewi sempat terkejut karena begitu banyak doa yang harus dihafalkan seseorang ketika melaksanakan sholat. Selain banyak, bacaannya ternyata sangat sulit. Inilah untuk pertama kalinya ia mengenal tulisan Arab. Jikapun hanya membaca tulisan Latin, itu pun masih terasa sukar. Sebab, pelafalannya sangat berbeda dengan bahasa Indonesia.

Baca juga : Studi Ungkap Muslim Amerika Sangat Dermawan

Karena penasaran, Dewi lantas meminta Teti untuk meminjamkan buku panduan sholat  itu lebih lama kepadanya. Teti mengaku, tidak masalah. Maka, pelatih senam itu semakin giat menghafal bacaan-bacaan sholat yang ditulis dengan aksara Latin.

Selain itu, terjemahannya pun juga selalu dibacanya berulang-ulang. Meskipun pada akhirnya Dewi hanya mampu menghafalkan tiga bacaan sholat , hal itu sudah membuatnya senang.

Dewi kemudian mengembalikan buku tersebut. Rekan-rekannya heran karena begitu cepat ia mengingat sebagian isi buku ini. Teti pun seperti tidak percaya. Maka, beberapa kawan kemudian menguji Dewi. Ternyata, perempuan yang saat itu non-Muslim ini hafal urutan-urutan sholat, mulai dari takbiratul ihram hingga salam.

Namun, Dewi ketika itu sekadar memperha tikan rekan-rekannya sholat. Belum sampai diri nya mempraktikan ritual Islam itu. Dalam hatinya, tersimpan keinginan untuk segera mencari seorang guru mengaji yang bisa mengajarkannya.     

Dewi pulang ke rumah. Kepada asisten rumah tangganya, ia meminta untuk dicarikan seorang ustadz yang bisa mengajarkannya sholat .Beberapa hari kemudian, ustadz yang dimaksud datang ke rumahnya. Tidak perlu waktu lama baginya untuk lancar melaksanakan sholat. Bahkan, semakin banyak bacaan doa yang berhasil dihafalkannya. 

Sang ustadz pun menyarankannya untuk belajar lebih lanjut, yakni mengaji Alquran. Untuk itu, dirinya harus mulai dari menamatkan enam jilid buku Iqra. Dewi setuju, untuk kemudian melanjutkan pelajarannya.      

Sejak melihat sekelompok ibu-ibu sholat , Dewi pun tertarik mempelajari dan bahkan menghafalkan bacaan doa ibadah itu. Pada akhirnya, ia senang belajar membaca Alquran. Semua itu mengantarkan hatinya untuk mantap memeluk Islam. 

Ya, niatnya sudah bulat untuk berislam. Maka, pada April 1994, ia untuk pertama kalinya mengucapkan dua kalimat syahadat. Rukun Islam pertama itu dilakukannya di hadapan seorang ustaz dan beberapa orang saksi yang diundangnya ke rumah. 

Setelah peristiwa mengharukan itu, ia semakin bersemangat untuk mendalami ajaran Islam. Atas saran beberapa temannya, Dewi pun memilih untuk mengganti pengajarnya dengan seorang ustadzah. Itu untuk menghindari fitnah karena dirinya mengaji secara privat. Selama setahun, mualaf ini lancar mengaji. Membaca Alquran pun dilakukannya sesuai dengan kaidah tajwid. 

Kemudian, Dewi mulai belajar mengaji ke beberapa taklim. Hingga, satu ketika, ia tertarik untuk menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren, Manbaul Ulum, di Bogor, Jawa Barat. Ia juga mengikuti kajian tasawuf, seperti yang diadakan Tarekat Naqsyabandiyah di Tasikmalaya setiap tanggal 11 bulan Hijriyah. 

"Tarekat mengajarkan kita salah satunya adalah pentingnya berzikir. Saya merasa lebih tawadhu dan tak lagi begitu terlalu berpikir hal-hal duniawi," ujar dia.  

Setelah Dewi menjadi Muslim, tentu hal itu diketahui keluarga. Namun, anak dan orang tuanya tidak mempermasalahkan hal ter sebut. Ia bersyukur, ayah dan ibunya memiliki pemikiran yang terbuka. Tidak pernah memaksakan bahwa dalam satu rumah haruslah seagama semua. Menurut mereka, agama apa pun silakan diikuti asalkan dirinya bertanggung jawab dengan pilihan sendiri. 

Bahkan, ayahnya mengoleksi kaligrafi ayat-ayat Alquran atau Asmaul Husna walau tidak bisa membaca tulisan berbahasa Arab.Setelah bapaknya wafat, karya-karya seni itu diwariskan kepada Dewi. 

Baca juag : 9 Langkah yang Disarankan untuk Raih Keutamaan Alquran

Hidayah Ilahi memang tidak sempat menerangi hingga sang ayah meninggal.Tidak demikian halnya dengan seorang putra Dewi. Bersyukur, anaknya itu kini telah menjadi Muslim. Hanya tiga anak lainnya yang tetap mengikut agama lamanya. 

“Anak laki-laki saya dengan kesadaran sendiri memeluk Islam, itu sejak dirinya masih kelas SD. Dia meminta dikhitan dan bersyahadat usai dikhitan,” terangnya.

 

Meski berbeda agama, hubungan dengan orang tua, saudara, dan anak-anak tetap terjalin dengan baik dan hangat. Ketika hari besar, misalnya, Dewi tetap berkunjung ke rumah kedua orang tuanya. Mereka menghabiskan waktu bersama untuk mempererat rasa kekeluargaan.

 
Berita Terpopuler