104 Tahun Deklarasi Balfour, Palestina Tuntut Maaf Inggris

Kebijakan Inggris di masa lalu menyengsarakan rakyat Palestina hingga kini.

AP
104 Tahun Deklarasi Balfour, Palestina Tuntut Maaf Inggris. Rakyat Palestina menggelar demonstrasi di perbatasan Israel dengan Jalur Gaza, Rabu (15/5). Palestina memperingati Hari Nakbah ke-71 yang menandai pengusiran massal mereka saat perang Timur Tengah 1948. Demonstrasi terjadi di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Rep: Alkhaledi Kurnialam/Meiliza Laveda Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alkhaledi Kurnialam, Meiliza Laveda

Baca Juga

RAMALLAH -- Palestina menuntut permintaan maaf Inggris atas Deklarasi Balfour. Deklarasi berusia 104 tahun tersebut telah menyengsarakan rakyat Palestina hingga detik ini.

Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Palestina mengatakan akan ada upaya diplomatik untuk mendapatkan permintaan maaf Inggris kepada rakyat Palestina. Dilansir dari Wafa News, Senin (1/11), dalam sebuah pernyataan, Penasihat Politik Menteri Luar Negeri Palestina Ahmed Al-Deek mengatakan permintaan maaf Inggris adalah bagian integral dari pengakuan Inggris atas tanggung jawabnya atas deklarasi tersebut. Deklarasi ini berdampak pada perpindahan dan kerusakan yang dialami rakyat Palestina.

Al-Deek menyerukan Inggris untuk mengambil inisiatif untuk mengakui negara Palestina sebagai bagian lain dari kompensasi atas dosa dan agresi yang dilakukan terhadap rakyat. Termasuk penderitaan dan ketidakadilan sejarah yang masih berlangsung. 

Dia menambahkan mengakui negara Palestina akan menjadi awal untuk memperbaiki jalannya Deklarasi Balfour yang tidak adil. Ini disebutnya akan membantu dan memberdayakan rakyat Palestina untuk mendapatkan hak-hak nasional mereka yang adil dan sah, termasuk hak untuk kembali, menentukan nasib sendiri.

Selain itu, sebuah negara Palestina merdeka di perbatasan 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Presiden Mahmoud Abbas menetapkan keputusan presiden (Kepres) yang memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang pada 2 November setiap tahun. Pengibaran bendera setengah tiang dilakukan di lembaga-lembaga, kedutaan besar, dan perwakilan Negara Palestina.

 

Kebijakan ini sebagai peringatan Deklarasi Balfour yang bersejarah dan berdampak besar bagi Palestina hingga kini. Dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Abbas memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang di semua kementerian dan departemen pemerintah, dan di semua kedutaan dan kantor perwakilan Palestina di luar negeri. 

Dekrit tersebut bertujuan mengingatkan dunia pada umumnya dan Inggris pada khususnya tentang penderitaan rakyat Palestina dan hak-hak mereka untuk mencapai kemerdekaan, kenegaraan, dan penentuan nasib sendiri. Negara itu perlu memikul tanggung jawab membantu rakyat Palestina mendapatkan hak-hak mereka. 

Jika menelusuri sejarah, awal dari konflik ini adalah adanya Deklarasi Balfour yang dikeluarkan pada 2 November 1917. Percaya atau tidak, sebanyak 112 kata yang diketik itu bisa mengubah nasib rakyat Palestina. 

Inggris secara terbuka berjanji mendirikan “rumah nasional” bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Dokumen Balfour dianggap paling kontroversial dan diperdebatkan dalam sejarah modern dunia Arab dan telah membingungkan para sejarawan selama beberapa dekade.

Deklarasi Balfour adalah perjanjian berisi 112 kata oleh Inggris pada 1917 yang menyatakan tujuannya untuk membangun “rumah nasional” bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Pernyataan itu datang dalam bentuk surat dari Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour yang ditujukan kepada tokoh komunitas yahudi Inggris Lionel Walter Rothschild. Itu dibuat selama Perang Dunia I (1914-1918) dan dimasukkan dalam persyaratan mandat Inggris untuk Palestina setelah pembubaran Kekaisaran Ottoman.

Grafis Deklarasi Balfour - (republika)

 

Deklarasi ini bermula pada 1897 dan pendirian organisasi zionis di Swiss oleh Theodore Herzl. Organisasi itu berusaha mewujudkan aspirasi politik zionisme, rumah bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Beberapa tahun kemudian, zionis politik mulai mendorong migrasi lebih lanjut ke Palestina dengan harapan Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat akan mendukungnya.

Dikutip Middle East Eye, Perdana Menteri Inggris David Lloyd George adalah orang Kristen Evangelis Welsh dan salah satu dari sekelompok politisi Kristen yang taat. Dia menganggap pendirian tanah air Yahudi sebagai pemenuhan nubuatan alkitabiah, bahwa orang-orang yang telah lama teraniaya akan dapat kembali dari pengasingan ke tanah air mereka.

Pada 1914, Pemimpin Zionis Chaim Weizmann melakukan kontak dengan Rothschild dan mulai melobi anggota pemerintah Inggris. Setahun kemudian, kabinet Inggris untuk pertama kalinya membahas gagasan tanah air bagi orang Yahudi di Palestina.

John Bond dari Proyek Balfour mengatakan diskusi di antara para politikus Inggris tidak terlalu berfokus pada agama dan lebih pada keamanan geopolitik. Dia menyebut motifnya adalah imperialisme. Di sini, Inggris melihat adanya manfaat strategis. Sejak dimulainya mandat, Inggris mulai memfasilitasi imigrasi orang-orang yahudi Eropa ke Palestina. Antara 1922 dan 1935, populasi Yahudi meningkat dari sembilan persen menjadi hampir 27 persen.

Meskipun Deklarasi Balfour menyatakan tidak ada yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama dari komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, mandat Inggris menerapkan cara yang mengorbankan orang Arab Palestina.

Anak Palestina Diincar Israel - (Republika)

 
Berita Terpopuler