Sisi Gelap Shinkansen Si Kereta Peluru Jepang

Operasional shinkansen yang dicampuri politik membuat bisnis tak berjalan mulus

en.wikipedia.org
Operasional kereta cepat shinkansen yang dicampuri politik membuat bisnis tak berjalan mulus. Ilustrasi.
Rep: Mabruroh Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Kereta Api Nasional Jepang (JNR) pertama kali beroperasi pada 1964 dan belum disubsidi negara. Pada 1964 dibuka layanan shinkansen sebagai jalur utama antara Tokyo dan Osaka pada waktunya untuk Olimpiade Musim Panas.

Kereta peluru shinkansen ini memiliki kecepatan rata-rata 86 mil/jam. Shinkansen merupakan kereta tercepat di dunia saat itu sehingga menjadi kecemburuan negara-negara lain. Bahkan Shinkansen menyebabkan Kongres Amerika Serikat meloloskan undang-undang yang mempromosikan kereta api berkecepatan tinggi pada 1965.

Sejak munculnya kereta peluru, para pegawai dan turis naik Shinkansen di sepanjang pulau utama Jepang, Honshu, serta di pulau-pulau terluar Hokkaido dan Kyushu. Namun kejayaan kereta cepat ini kemudian dirusak oleh politisi yang haus kekuasaan. Shinkansen dibelokkan oleh politisi dan akhirnya lebih banyak merugikan daripada menguntungkan ekonomi Jepang.

JNR harus meminjam 80 juta dolar dari Bank Dunia pada 1961 untuk mengembangkan jalur-jalur yang akan dilewati. Jalur sepanjang 320 mil ini awalnya diproyeksikan menelan biaya 200 miliar yen tetapi akhirnya menghabiskan biaya hampir dua kali lipat yakni 17 miliar dolar AS.

Biaya itu lebih rendah daripada yang mungkin terjadi karena pada tahun 1940 JNR telah membeli hak jalan, menggali beberapa terowongan, dan menilai beberapa rute dalam upaya membangun jalur berkecepatan tinggi. Pinjaman Bank Dunia senilai 80 juta dolar mewakili kurang dari sembilan persen dari total biaya, dengan sisanya berasal dari penjualan obligasi dan pinjaman dari pemerintah Jepang, khususnya melalui sistem perbankan pos negara itu.

Tahun 1963, JNR berhasil melunasi utang tersebut tetapi tahun itu juga menjadi tahun terakhir dalam sejarah kereta shinkansen yang menghasilkan keuntungan. Pada 1972, kereta shinkansen terus merugi lebih dari 10 miliar yen atau sekitar 100 juta dolar setahun (Rp 1,4 triliun).

Untuk mengatasi kerugian ini, JNR berulang kali menaikkan tarif penumpangnya. Langkah tersebut justru mempercepat peralihan dari perjalanan kereta api ke mobil.

Baca Juga

Laporan News Geography yang terbit pada 3 Februari 2021 menyebut kerugian JNR ini disebabkan oleh beberapa hal yang semuanya bermuara pada politik. Pertama, JNR mengoperasikan kereta apinya di empat pulau Jepang. Akan tetapi hanya satu pulau yang menghasilkan uang yakni di pulau utama tempat lebih dari 80 persen penduduk Jepang tinggal. Politisi Jepang mencegahnya menutup jalur yang merugi di pulau-pulau terluar.

Kedua, politisi juga mencegah JNR mengambil keuntungan dari peningkatan produktivitas pekerja, memaksanya untuk tetap membayar gajinya lebih dari dua kali lipat jumlah karyawan yang dibutuhkan. Ketiga, prestise Tokaido Shinkansen membuat politisi di seluruh negeri menuntut JNR membangun jalur shinkansen ke prefektur mereka dan sebagian besar jalur ini gagal menutupi biaya operasional mereka.

Yang paling terkenal adalah Joetsu Shinkansen, yang berakhir di kota Niigata di pantai utara Jepang. Dibangun melalui wilayah pegunungan, jalur ini jauh lebih mahal untuk dibangun daripada jalur Tokaido tetapi hanya membawa seperempat penumpang.

Jalur ini dibangun atas perintah Kakuei Tanaka, seorang anggota Diet Jepang, jalur ini berakhir di Niigata, kampung halaman Tanaka, yang wilayah metropolitannya hanya memiliki sekitar satu juta penduduk. Tanaka adalah perdana menteri Jepang selama dua setengah tahun sebelum dipaksa mengundurkan diri secara memalukan. Ia diadili serta dihukum karena korupsi, menerima suap, dan mengarahkan kontrak konstruksi pemerintah ke prefekturnya.

Pada 1986, JNR dan perusahaan konstruksi terkaitnya telah mengumpulkan lebih dari lima triliun utang untuk membangun Joetsu dan jalur shinkansen lainnya. JNR juga memiliki utang lebih dari 25 triliun karena kehilangan uang selama puluhan tahun untuk mengoperasikan keretanya.

Bersama dengan beberapa utang lain yang relatif kecil, totalnya mencapai 32,1 triliun atau dalam dolar saat ini, sekitar 550 miliar dolar AS. Selain itu, ia memiliki lima triliun dalam kewajiban pensiun yang tidak didanai.

 
Berita Terpopuler