Laporan: Permusuhan terhadap Muslim Sri Lanka Meningkat

Permusuhan terhadap Muslim di Sri Lanka mengalami peningkatan.

Muslim Sri Langka
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, KOLOMBO -- Permusuhan terhadap Muslim di Sri Lanka mengalami peningkatan, utamanya setelah terjadi serangan bom Paskah.  Hal ini disampaikan Amnesty International dalam sebuah laporan yang baru-baru ini dirilis.

Baca Juga

Amnesty International dalam laporannya juga mendesak pihak berwenang untuk menghentikan tren yang mengkhawatirkan, serta meminta pertanggungjawaban pelaku. Laporan yang diberi judul 'From Burning Houses to Burning Bodies: Anti-Muslim Harassment, Discrimination and Violence in Sri Lanka' ini dikeluarkan pada 17 Oktober.

Laporan tersebut mendokumentasikan kebangkitan sentimen anti-Muslim di Sri Lanka sejak 2013, yang diwarnai dengan kebangkitan nasionalisme Buddha-Sinhala. Kondisi ini lantas meningkatkan diskriminasi terhadap Muslim.

Serangkaian serangan dilakukan, mulai dari aksi massa berujung impunitas, hingga kebijakan diskriminatif pemerintah, salah satunya kremasi paksa korban Covid-19 Muslim.

Dalam laporan yang sama, Pemerintah Sri Lanka disebut harus mengakhiri diskriminasi, pelecehan dan kekerasan yang konsisten terhadap komunitas Muslim, serta menghapus kebijakan negara yang secara eksplisit menargetkan kelompok minoritas.

 

 

Usulan saat ini untuk melarang niqab (cadar) dan madrasah (sekolah agama) adalah kasus terbaru dari kebijakan diskriminatif negara terhadap komunitas Muslim.

“Sentimen anti-Muslim di Sri Lanka bukanlah hal baru, namun situasinya kini meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Insiden kekerasan terhadap Muslim, yang dilakukan dengan persetujuan diam-diam dari pihak berwenang, telah terjadi dengan frekuensi yang mengkhawatirkan," kata Wakil Sekretaris Jenderal Amnesty International, Kyle Ward, dikutip di UCA News, Kamis (21/10).

Peningkatan sentimen ini disertai dengan penerapan retorika dan kebijakan pemerintah saat ini, yang secara terbuka memusuhi Muslim.

Pihak berwenang Sri Lanka juga disebut harus mematahkan tren ini dan menegakkan tugas mereka dalam melindungi Muslim dari serangan lebih lanjut. Pertanggung jawaban dari pelaku harus ditegakkan, sembari mengakhiri penggunaan kebijakan pemerintah yang menargetkan, melecehkan dan mendiskriminasi komunitas Muslim.

Sejak peristiwa bom Paskah 2019 oleh kelompok Islam yang menewaskan 269 orang, permusuhan terhadap umat Islam meningkat secara nyata. Pihak berwenang secara sewenang-wenang menangkap ratusan Muslim sebagai bagian dari tindakan darurat.

 

 

Pada 13 Mei di tahun yang sama, serangan massa terjadi dan menargetkan Muslim di beberapa kota di Provinsi Barat Laut selama bulan suci Ramadhan. Tak hanya itu, masjid di seluruh negeri juga diserang dengan serentetan posting pidato kebencian anti-Islam membanjiri media sosial.

Permusuhan dimulai pada 2013, ketika kelompok nasionalis Sinhala-Buddha berhasil melakukan lobi untuk kampanye anti-halal. Hal ini memaksa pemerintah menghentikan sertifikasi halal makanan, yang memungkinkan umat Islam mengkonsumsi makanan sesuai dengan Alquran dan adat istiadat Islam.

Kampanye ini lantas menjadi pemicu serangkaian serangan terhadap masjid dan bisnis Muslim. Impunitas bagi penyerang membenarkan kekerasan dan mendorong lebih banyak lagi pihak lain untuk mengulangi kejahatan serupa.

Tahun berikutnya, kerusuhan anti-Muslim meletus di kota pesisir selatan Aluthgama, menyusul unjuk rasa oleh kelompok nasionalis Buddha Sinhala. Pihak berwenang gagal memberikan keadilan kepada para korban dan para pelaku menikmati impunitas.

Pada 2017, kekerasan massa terhadap Muslim berkobar di kota pesisir selatan Ginthota, sementara kekerasan serupa meletus di kota Digana dan Ampara di provinsi tengah dan timur pada 2018. Para korban dan saksi menuduh penegak hukum tidak bertindak dengan benar untuk mencegah kekerasan.

 

 

Pemerintah Sri Lanka saat ini juga telah menjadikan umat Islam sebagai kambing hitam untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah politik dan ekonomi. Pemerintah menerapkan kebijakan kremasi bagi korban Covid-19, meskipun kremasi dilarang dalam Islam. Kebijakan tersebut tidak memiliki dasar ilmiah untuk klaim mengubur mayat akan menyebarkan penyakit ini.

Kebijakan kremasi dibatalkan di tengah tekanan internasional, tetapi pemerintah bergerak maju dengan proposal melarang niqab dan madrasah, melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi Sri Lanka dan hukum hak asasi manusia internasional.

Di sisi lain, pihak berwenang telah mengeksploitasi undang-undang yang ada, termasuk Undang-Undang Pencegahan Terorisme, menargetkan dan menahan Muslim tanpa tuduhan.

Kovenan Internasional tentang Undang-Undang Hak Sipil dan Politik, yang melarang penyebaran kebencian rasial atau agama yang mengarah pada diskriminasi, permusuhan atau kekerasan, juga telah disalahgunakan untuk menargetkan individu termasuk Hizbullah Hizbullah, seorang pengacara dan aktivis, serta Ahnaf Jazeem, seorang penyair dan guru.

Kyle Ward lantas menyebut dari undang-undang anti-terorisme dan kremasi paksa, hingga niqab dan madrasah, pemerintah Sri Lanka telah mengejar agenda kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap Muslim.

 

"Kami mendesak pihak berwenang mempertimbangkan kembali proposal yang saat ini sedang dipertimbangkan. Bagi masyarakat internasional diharapkan memantau dan mengambil langkah-langkah untuk memastikan kebebasan dan perlindungan komunitas minoritas di Sri Lanka,” lanjutnya. 

 
Berita Terpopuler