Founder Drone Emprit: Hoaks 6 Kali Lebih Cepat Menyebar

Founder Drone Emprit mengingatkan perlunya upaya mengkonter hoaks.

Republika
Hoaks soal vaksin Covid-19 (Ilustrasi). Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, menyebut, kelompok masyarakat yang netral terhadap vaksin dekat dengan grup antivaksin.
Rep: Umi Nur Fadhilah Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar algoritma media sosial Ismail Fahmi menjelaskan informasi kontroversial yang terkadang isinya hoaks enam kali lebih cepat menyebarnya. Ia menjelaskan, algoritma yang ada di di media sosial membuat seseorang terus menggulir unggahan yang menarik.

"Biasanya yang membuat senang (menarik) itu karena ada teori konspirasi, pertempuran. (Padahal) Algoritma ini membuat kita terpolarisasi," kata Ismail dalam acara virtual "Kontroversi Hoaks dan Pseudosains Kesehatan di Media Sosial" yang diselenggarakan Islamic Medical Association and Network of Indonesia (Imani)-Perhimpunan Profesional Kesehatan Muslim Indonesia (Prokami), Ahad (3/10).

Untuk mengilustrasikan pentingnya mengkonter hoaks, Ismail membagikan data yang menunjukkan bahwa kelompok yang netral terhadap vaksin itu dekat dengan grup antivaksin. Kelompok antivaksin itu rajin mendekati grup netral.
 
Sementara itu, kelompok provaksin sudah lelah berhadapan dengan antivaksin. Mereka kurang agresif menyebarkan informasi kepada kelompok netral.

Baca Juga

"Prediksinya, jumlah provaksin akan kalah dengan yang aktivaksin jika kita tidak aktif mendekati yang netral," ujar founder Drone Emprit ini.

Hoaks seperti berita yang isinya diulang-ulang. Hoaks dibuat bisa masuk ke logika banyak orang.

 
Kenapa orang membuat hoaks? Menurut Ismail, itu karena ada keuntungan yang dipetik pembuatnya. Hoaks akan berhenti jika berurusan dengan penegak hukum.

Lalu, bagaimana cara mendeteksi hoaks? Ismail merekomendasikan untuk melihat siapa penulisnya, tulisan/konten itu dibuat untuk siapa, apa yang mau disampaikan, mengapa sebuah cerita dibuat, sumbernya dari mana, videonya autentik atau tidak.

Ismail pun menyarankan orang yang menyebarkan berita benar harus membuat informasi yang mudah diakses masyarakat. Dengan begitu, mereka bisa membantu meluruskan informasi keliru yang beredar di luas.

"Imani punya tim, buat video benar, kirim ke WhatsApp, sehingga publik yang percaya (hoaks), dapat alternatif informasi benar dari kita. Bikin saja katanya, faktanya, mitosnya, faktanya," kata Ismail.

 

 

 

 

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dr. Ede Surya Darmawan SKM MDM mengatakan, masyarakat mudah memercayai hoaks kesehatan karena mencari rujukan di media sosial. Tak jarang, orang tidak menelusuri latar belakang keilmuan dari pihak yang menjadi sumber informasinya.

Tiga hoaks terbaru soal vaksinasi Covid-19 - (Republika)

Di samping itu, orang cenderung memiliki emosi untuk segera menyebarkannya ketika informasi itu sesuai dengan kebutuhannya. Ede mengatakan, penguatan peran edukasi itu harus didukung semua pihak dengan konsisten dan komitmen.

"Kalau pemerintah tak jelas, maka masyarakat akan mengatakan, ‘Ini kita berpegangan kemana'. Mereka akan berpegangan ke yang terdekat memberi informasi (yang ternyata hoaks)," kata Ede.

Berdasarkan data Hoax Buster, Ede mengatakan, hampir setiap hari ada empat hoaks Covid-19 yang beredar di media sosial. Dia menyarankan semua tenaga kesehatan dan pihak terkait harus mendukung edukasi kepada masyarakat.

 
Berita Terpopuler