Islam di Korea Selatan, Tampak Damai Tapi Hadapi Islamofobia

Muslim di Korea Selatan sebagiannya juga kerap hadapi Islamofobia.

Dok, Andhika Respati
Muslim di Korea Selatan sebagiannya juga kerap hadapi Islamofobia. Ilustrasi Masjid Itaewon Seoul.
Rep: Rossi Handayani Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL – Menurut profesor di College of Humanities of Seoul National University, Seong Hae-young, Korea Selatan merupakan salah satu negara langka, di mana orang tanpa agama melebihi jumlah orang beragama. 

Baca Juga

Menurut survei terbaru yang dilakukan Kantor Statistik Nasional pada 2015, sebanyak 46 persen orang Korea mengidentifikasi sebagai penganut agama, sementara 54 persennya tidak. 

Muneer Ahmad (47 tahun), yang menjalankan Islamic Book Center di Yongsan, Seoul, jarang mengalami kebencian atau diskriminasi karena agama atau pakaian keagamaannya selama 20 tahun di Korea Selatan (Korsel).  

Bahkan ketika dia berjalan dalam pakaian keagamaan dengan istrinya, yang mengenakan jilbab, kebanyakan orang hanya merasa aneh. Akan tetapi mereka tidak merasa tersinggung. 

"Ketika saya berbicara tentang budaya atau agama saya, pertama-tama, orang Korea tidak terlalu tertarik karena mereka sibuk dengan pekerjaan mereka sendiri. Kedua, ketika mereka mendengarnya, mereka kebanyakan memiliki empati dan kebaikan kepada saya," kata Ahmad, dilansir dari laman Korea Herald pada Senin (4/10). 

Beberapa Muslim lagi yang belajar atau bekerja di sini mengatakan bahwa orang Korea Selatan cukup toleran terhadap agama lain. Masyarakat jarang tersinggung, marah atau terluka dalam kehidupan sehari-hari, karena diskriminasi terhadap keyakinan mereka. 

Namun, ketika melihat lebih dekat, orang Korea Selatan umumnya terpapar media dan budaya Amerika yang didominasi Kristen, masih memiliki bias psikologis terhadap Islam, yang dianut secara luas di Timur Tengah. 

Gambaran paling kuat tentang Arab dan Islam bagi orang Korea Selatan adalah terorisme, perang, konflik, dan bahaya. Hal ini berdasarkan survei yang dirilis profesor Kim Su-wan dari Interpretasi dan Terjemahan Arab di Hankuk University of Foreign Studies. Survei ini dirilis pada 2016, tetapi persepsi tersebut tidak banyak berubah bagi banyak orang Korea Selatan. 

Kim Jae-han (30) yang masuk Islam dari Katolik sekitar dua tahun lalu, tidak pernah diserang secara verbal karena agamanya. Tapi dia bingung setiap kali dia melihat komentar jahat tentang Muslim secara daring. 

"Ketika saya memberi tahu orang tua saya (bahwa saya menjadi Muslim), mereka khawatir pada awalnya.  Mereka bertanya apakah saya terlibat dengan beberapa teroris," kata Kim. 

Namun ketika dia terus berbicara tentang agamanya secara terbuka di saluran YouTube-nya, orang tuanya mulai memahaminya sedikit demi sedikit. 

"Teman-teman saya juga awalnya berpikir itu (agama saya) aneh, tetapi mereka tidak membencinya atau apa pun. Saya tidak pernah benar-benar melihat orang bermusuhan ketika saya mengatakan saya seorang Muslim," kata Kim. 

Kendati demikian apa yang dia lihat secara daring berbeda. "Di internet, saya melihat banyak kata-kata umpatan dan mereka mengatakan Islam itu jahat dan kelompok teroris. Sejujurnya, saya tidak tahu mengapa ada perbedaan besar (antara daring dan secara langsung)," ucap Kim.  

Sementara beberapa Muslim Korea lainnya...

Sementara beberapa Muslim Korea lainnya menolak untuk diwawancarai. Mereka mengatakan dirinya dan keluarga telah menderita akibat komentar kebencian daring setelah wawancara sebelumnya dengan media lokal.  

Ketika umat Islam mulai meningkatkan kehadiran mereka di sini, konflik mulai muncul di dunia fisik juga. 

Dua Muslim, Imtiaz Mahmud (31) dari Bangladesh, dan Asad Ullah (37) dari Pakistan, keduanya adalah peneliti pascadoktoral di Kyungpook National University di Daegu. Mereka juga jarang menghadapi diskriminasi selama tujuh tahun tinggal di Korea. 

Namun tahun ini, mereka menghadapi konflik seputar pembangunan masjid mereka di kawasan pemukiman di Daegu. 

Masjid itu digunakan sebagai tempat di mana lebih dari 100 mahasiswa Muslim yang belajar di Universitas Nasional Kyungpook untuk sholat. Dan sekarang sedang dibangun dengan izin untuk memperpanjang bangunan karena kekurangan ruang. 

"Kami sudah tujuh tahun di sini. Kami membeli tempat ini pada tahun 2014 dan memulai ibadah kami di gedung yang ada. Kami memiliki hubungan yang sangat baik dengan tetangga, dan pada beberapa kesempatan, kami berbagi hadiah," kata Ullah. 

"Sampai 5 Februari, semuanya berjalan lancar. Saat tiang besi dipasang, tiba-tiba tetangga berkumpul di depan masjid dan mulai protes, mengeluh tentang kebisingan dan bau," lanjutnya. 

Ratusan warga di dekat masjid mengajukan petisi yang menyerukan penangguhan pembangunan. Sementara Kantor regional menerima permintaan tersebut, dan memerintahkan pembangunan dihentikan pada 16 Februari. 

"Sekarang mereka hanya mengatakan bahwa jika kita membangun masjid, orang-orang di seluruh wilayah mungkin menjadi Muslim, dan harga properti di wilayah itu bisa turun. Yah, tetap saja, kami tidak menemukan alasan yang sah di balik ini. Sebaliknya kami percaya itu hanya bagian dari Islamofobia," ucapnya. 

Bulan lalu, pengadilan menangguhkan sementara perintah untuk menghentikan pembangunan masjid.  Dan ini kembali menuai reaksi dari warga. 

"Siapa yang akan suka jika fasilitas keagamaan, apakah itu gereja atau masjid, datang ke tengah-tengah pemukiman penduduk?" kata perwakilan dari warga yang menentang pembangunan tersebut, Seo Jae-won. 

"Ini berisik dan wanita khawatir keluar di malam hari.  Saya menerima lebih dari seribu tanda tangan yang berlawanan," lanjutnya. 

Pada awal September, sebuah petisi berjudul "Lindungi Korea Selatan" telah diposting di situs web Cheong Wa Dae. Di mana seorang pembuat petisi menuntut agar pembangunan masjid dihentikan. Lebih dari 120 ribu orang mendukungnya. 

Penulis mengatakan kekuatan Islam yang besar tampaknya mendukung pembangunan dengan strategi untuk mengubah Korea ke Islam. "Mereka sudah menjadi ancaman bagi warga kami," sebutnya.  

 

Sumber: koreaherald

 
Berita Terpopuler